Axelle membuka pintu kamar dengan perasaan lesu. Bayangan wajah Stela, gadis muda yang secara tak sengaja harus terlibat dalam kemelut masalah keluarganya. Dia masih ingat benar wajah pasrah tak berdaya sang gadis. Zeroun, ayah terlalu menekan gadis tersebut. Bahkan beliau menghubungi pihak kampus tempat Stela kuliah. Dengan kekuasaannya, Zeroun meminta pada mereka untuk mengeluarkan gadis tersebut. Peringatan kecil bagi Stela lantaran menolak keinginannya. Gadis tersebut terdiam tanpa sepatah kata, tatapannya kosong, buliran air menggenang di pelupuk matanya. Stela berusaha tenang dan menahan semuanya. Napasnya sesekali terdengar berat. Betapa terpukulnya gadis tersebut. Axelle merasa sangat bersalah pada Stela, dia merangkum wajahnya dengan kedua tangan, menghilangkan semua bayangan wajah gadis lugu itu. Ditarik dasi, dan melepas jas yang ia kenakan. Berulang kali Axelle menghela napas berat. Jemari tangannya sibuk mengutak-atik kancing ujung kedua lengan hem yang dia kenakan. Dada bidangnya terlihat mempesona, sixpack, menggoda hati para kaum wanita untuk menggerayangi. Diletakkan kemeja dan jas tersebut di atas ranjang. Baru Axelle tersadar, Freya sang istri tak berada di peraduan mereka. Axelle menyipitkan mata, membuat keningnya berkerut. Baru ia ingin berkomentar, pintu sudah terbuka terlebih dahulu. Sang istri menyembul masuk, wanita tersebut basah kuyup, dia tengah mengenakan mantel handuk.
"Hay, Sayang," sapa Freya, berlari menghambur ke pelukan sang suami. Memeluk badan sixpack tersebut.
"Kau," ucap Axelle terhenti.
"Aku baru saja berenang menghilangkan gerah," seru Freya sebelum suaminya bertanya.
"Oh," kata Axelle singkat. "Aku tidak melihat motor Mirza di parkiran?" tanya Axelle ingat sang putra.
"Mirza ada kerja kelompok katanya, dia akan pulang larut malam," ujar Freya dengan sexy. Wanita tersebut melingkarkan tangan ke leher sang suami.
Axelle menyambut dan semakin menarik tubuh sintal tersebut mendekat. Tanpa persetujuan, Axelle melumat bibir ranum sang istri. Meski tanpa polesan lipstik maupun make up. Wajahnya tetap cantik dan menggoda. Axelle menarik mantel handuk sang istri, membuatnya polos tanpa sehelai benang menutupi. Tangan berototnya mulai menggerayangi punggung Freya. Bibirnya masih membalut bibir sang istri, lidahnya menyeruak masuk, bermain, saling membalas dengan luapan asmara, saling bertukar saliva masing-masing. Menuntut, merengkuh rasa yang ingin lebih. Dihempaskan tubuh polos istrinya ke atas ranjang. Axelle penuh semangat mengeksplor leher putih bersih tersebut. Memberikan tanda merah di beberapa tempat. Mulut dan lidahnya menari sangat lincah. Tak kalah, tangan berotot Axelle meraih bukit kembar sang istri. Meremas dan menyentuh ujungnya.
"Sayang!" pekik Freya. Mulutnya mulai mengeluarkan suara sexy nan menggodanya. Axelle semakin bersemangat, lidahnya menggelitik turun, bibirnya meraih bukit kembar Freya secara bergantian, badan wanita tersebut melonjak. Sensasi kenikmatan menjalar ke seluruh badan. Rasa nikmat tak tertahankan. Jari jemari Axelle mulai menelusup masuk ke dalam kewanitaan Freya yang mulai basah. Gerakannya cepat keluar masuk. Membuat Freya semakin hilang kendali.
"Hei, Sayang, kau berhentilah menyiksaku," keluh Freya dalam desahannya. Bukannya berhenti, Axelle malah semakin menggodanya. Bibirnya mulai gencar bermain, memberi tanda merah pada payudara Freya yang naik turun lantaran napasnya mulai tersengal. Ia merasakan sensasi luar biasa di dua tempat berbeda, antara payudara dan lubang kenikmatannya.
"Axelle!" desah Freya, tubuhnya melengkung. Kedua tangannya mencengkeram sprei, kepalanya mendongak menahan sensasi nikmat yang menjalar di sekujur badan. Cairan panas meleleh ke luar dari kewanitaannya. Badannya lemas seketika.
"Aku datang sayang," ujar Axelle. Lelaki tersebut telah melucuti sisa pakaian yang tadi ia kenakan rupanya.
Freya menatap sang suami, dia mengamati milik sang suami, terlihat panjang, besar untuk ukuran orang normal. Benda itulah yang membuat Freya tergila-gila pada Axelle. Lelaki tersebut memposisikan diri di antara kedua paha sang istri. Dia menggesek ujung miliknya pada bibir kewanitaan Freya.
"Sayang, sampai kapan kau akan menyiksaku," keluh Freya, badannya kelojotan tak menentu, mirip cacing kepanasan.
"Baiklah, maafkan aku," ucap Axelle terkekeh.
"Iya," lenguh Freya. Sekali gerakan menekan, milik sang suami telah amblas masuk seluruhnya.
"Nikmat?" tanya Axelle, menatap wajah sang istri yang masih terpejam tapi bibir mengulas senyum. Axelle tahu itu senyum kepuasan.
Gerakannya diawali dengan perlahan, untuk kemudian semakin cepat dan menuntut. Tubuhnya melengkung, bibir Axelle melumat bibir sang istri, menghentikan lenguhan sexynya. Cukup lama mereka saling memacu, hingga peluh membasahi badan. Axelle meracau, menggila dan semakin gencar bergerak. Freya terdengar menjerit-jerit hingga suaranya serak. Antara lelah namun tetap terasa memabukkan seperti candu.
"Oh, aku keluar, Sayang," ucap Axelle. Cairan hangatnya menyembur beberapa kali di dalam rahim sang istri. Dia meremas lembut payudara di depannya, membuat Freya terkejut.
Mungkin memang benar adanya. Surga pelipur masalah adalah berhubungan badan dengan sang istri. Axelle merasa beban yang menumpuk lenyap seketika. Kegelisahannya menghilang, lenyap. Dia kemudian ambruk, membaringkan badan di samping sang istri. Kepuasan terpancar di mata bening keduanya. Namun, Axelle lebih berharap melakukannya lagi. Dia masih bisa bermain sekali lagi sebelum tidur. Terkadang ia juga masih bisa bermain lima kali dalam semalam bersama Freya. Akan tetapi, akhir-akhir ini berbeda, Freya seperti sangat kelelahan. Dia akan langsung terlelap usai sekali bermain. Axelle tak tega rasanya membangunkan lagi. Dia hanya dapat menahan hasrat yang masih menggelora. Axelle mendekat kan badan memeluk sang istri yang berbaring membelakanginya.
"Sayang, hari ini sudah dulu ya, aku capek," keluh Freya.
"Iya, aku tau. Aku hanya ingin memelukmu saja, tidurlah," ucap Axelle lembut.
******
Malam menggairahkan bagi sepasang suami istri tersebut tapi, tidak bagi Auristela. Gadis tersebut masih menghayati sakit hati. Dia merasakan dirinya seperti tawanan sekarang ini. Kali ini ia meringkuk di atas kasur. Awalnya dia sangat mengagumi rumah mewah tersebut. Namun, sekarang tidak lagi, saat ini dirinya merasa sesak. Semua orang kaya berbuat seenaknya. Ia bahkan mendapat ancaman. Air matanya kini mulai meleleh, sebagai rasa menyakitkan. Bagaimana bisa mereka mempermainkan sebuah pernikahan. Hal yang bersifat sakral. Rasanya masa depan runtuh seketika. Impian yang dengan susah payah ia rangkai, hancur berantakan. Stela menangis sejadi-jadinya. Di dalam sebuah kamar rumah mewah. Ia seperti tawanan Zeroun. Tak bisa bergerak bebas, banyak mata memandang. Nasib malang yang tak sengaja ia raih.
Malam semakin larut, sayup angin dan gemerisik pepohonan adalah nyanyian malam yang hanya terasa nyata. Entah sejak kapan gadis tersebut berhenti menangis. Mata lelahnya mulai mengantuk. Hembusan angin malam terasa dingin. Stela mulai terlelap. Dia telah membalut dirinya dalam buaian mimpi. Setidaknya luka hati tersebut tak ia bawa ke alam mimpi. Berharap kejadian sebelumnya adalah mimpi, bunga tidur yang akan terlupa saat bangun.
Sepasang mata mengawasi Stela dengan jeli. Gadis yang lupa mengunci pintunya, membuat orang asing dapat masuk begitu saja ke kamar. Puas menilik lelaki tersebut ke luar kamar.
Bersambung….
Axelle nampak gagah dalam balutan set tuxedo warna putih yang ia kenakan. Rambut klimisnya tersisir rapi ke belakang. Dia memandang cermin di dalam kamar. Rasa bersalah melanda, tak pernah terpikir dia akan menduakan sang istri. Terlebih lagi pernikahan kali ini secara resmi. Axelle begitu diliputi ketidak berdayaan, di sisi lain dia melakukan demi anak. Di satu sisi lagi Axelle pasti melukai Freya pada akhirnya. Wanita itu selama ini menguatkannya, selalu di samping mendukung dalam setiap langkah. Axelle menghela napas panjang. "Sayang, kau belum berangkat?" tanya Freya saat keluar dari kamar mandi. Axelle menoleh ke arahnya. Wanita tersebut tersenyum manis sembari menggosok rambut basah dengan handuk kecil. Freya melepas mantel handuk, mengganti dengan dress setinggi lutut, berwarna biru nampak sintal. Payudara bagian atasnya menyembul seperti meluber keluar. "Freya, kau yakin akan mengizinkan aku menikahi gadis itu?"
Masih ada beberapa kerabat yang tengah sibuk membukakan kado, pemberian sahabat maupun relasi bisnis sebagai ucapan selamat kepada pernikahan Axelle dan Stela. Zeroun memandang gadis manis yang kini menjadi menantunya tersebut. Ada rasa bersalah bercampur rasa lega. Lelaki tua itu mengingat kembali malam hari sebelum acara pernikahan berlangsung. Sang gadis kecil marah besar dan menolak. Namun, Zeroun membuatnya tak berkutik. Dengan kekuasaannya, lelaki tua itu menghubungi pihak kampus. Alhasil Stela dikeluarkan dengan paksa. Mata bening gadis tersebut berkaca, air mata meleleh, Stela terdiam seribu bahasa tak berkomentar lagi. Dia akhirnya berjalan gontai menuju kamar yang telah Zeroun persiapkan. Gadis itu meringkuk di tengah ranjang. Hidungnya memerah, matanya sembab dalam kelelahan. Zeroun mengurut dada berpikir perbuatannya terlalu kejam. Lelaki tua itu sempat ingin membatalkan niatnya. Dia melangkah keluar kamar tersebut dengan hati g
Axelle masih tertegun mendapati tubuh mungil tersebut. Stela nampak menggoda dalam balutan lingerie hitam yang terkesan menerawang, memperlihatkan lekuk ramping tubuhnya. Seharusnya ia tidak menarik selimut. Akan tetapi ia tidak bermaksud kurang ajar, dia hanya ingin berbicara dengan bertatap muka. Tidak pernah terbayang Stela berpakaian sesexy itu. Jiwa lelakinya berkobar, sebagai lelaki normal dirinya tidak dapat memungkiri ketertarikan yang membelenggunya kini. Wajah Axelle memerah, dia memalingkan wajah, menelan ludah membuat jakunnya bergerak naik turun. Dihela napas panjang berat. Stela langsung menarik kembali selimut di tangan Axelle. Lelaki itu sadar seketika dari lamunan sesaatnya. Stela beringsut duduk, membalutkan selimut ke tubuh. Kali ini kepala sampai badan tertutup rapat, hanya bagian wajah yang terlihat. "Sudah saya katakan jangan tarik selimutnya," dengkus Stela. "Maa
Angin dingin di pagi hari berhembus mesra, menelusup masuk dari sela-sela ventilasi. Tangan nakal Axelle masih mengelus mesra pipi istri barunya. Stela sendiri mendelik saking terkejut. Gadis tersebut tengah menahan kantuk di sela doanya dan tiba-tiba dikejutkan dengan adanya tangan hangat berotot membelai pipi. Tubuh Stela melonjak, netra keduanya saling bertemu pandang. Debaran jantung masih terasa bergejolak. Rasa terkejut Stela perlahan menghilang, pandang masih tertuju pada mata bening suami barunya. Tidak ingin terlalu terhanyut akan pesona tampan yang tak mampu Stela elak. Gadis tersebut menutup mata, menghela napas panjang. Dia mengelus dada berulang kali, mencoba berpikir jernih. "Ada yang bisa Stela bantu, Om?" tanyanya. "Ah, maaf," kata Axelle, lelaki itu celingukan. Dia merasa malu akan tingkah spont
Hari pertama sebagai pasangan suami istri yang baru menikah, dilalui Axelle dan Stela dengan cukup berat namun, ledekan demi ledekan berakhir dengan perginya para kerabat yang berpamitan pulang. Saat itu Axelle berencana untuk kembali ke kediamannya. Akan tetapi ada saja alasan yang membuat ia tak dapat beranjak. Mulai dari Zeroun yang tiba-tiba pingsan mendadak. Saking terkejutnya Axelle panik, Stela yang melihat suaminya kelabakan berusaha menenangkan dengan kata-kata yang terdengar manja. Kepala pengurus rumah tangga, seorang wanita bertubuh gempal dengan tinggi hanya 155 cm, berusaha tenang di antara kerusuhan yang terjadi. Dia menghubungi dokter pribadi keluarga. Di usia tuanya Zeroun masih saja mengkhawatirkan banyak hal. Dia hanya butuh istirahat lantaran kelelahan dan banyak pikiran. Kata dokter yang memeriksa. Seorang lelaki tampan, maskulin mirip aktor korea yang sering wara-wiri di saluran tv.
Sudah hampir satu minggu Axelle melakukan pekerjaan di rumah utama keluarga Zeroun. Zeroun tidak memperbolehkan Axelle berangkat ke kantor, lelaki tua tersebut menyuruh anaknya istirahat selama seminggu. Untuk sementara pekerjaan di lakukan di rumahnya jika ingin. Kali ini dia menuruti titah sang ayah. Seperti yang dokter katakan, demi kesehatannya. Bukan hanya itu, Axelle merasa seperti tersihir menikmati waktu di ruang kerja bersama Stela. Ia tak sabar mendengar cerita-cerita yang selalu ada saja untuk dibahas. Ruang kerja yang biasanya senyap berubah ramai. Namun, ada kala keduanya saling diam, fokus pada pekerjaan masing-masing. Stela sibuk menggambar di kertas, karena penasaran Axelle mendekat. Dia mendapati banyak coret-coretan gambar komik. Gambar yang sangat bagus, Axelle mengingat masa kecilnya. Dahulu ia sering meminta buku komik pada almarhum sang ibu. Axelle tersenyum dan mengambil satu lembar kertas hvs. Gadis itu masih sibuk dengan pe
Marvel menatap sang sahabat dalam. Ia tahu benar apa yang dipikirkan Axelle, di satu sisi dia merindukan istri beserta anaknya. Di sisi lain ia mengkhawatirkan sang ayah. Angin berhembus masuk lewat jendela kaca besar dengan ukiran indah, yang terbuka lebar. Kain gorden berwarna hijau botol motif bunga mawar merah besar, berkelebatan tersapu angin. Hari sudah mulai sore, namun panas sang surya masih mengusik. "Axelle, jangan terlalu ketus dengan Ayahmu. Walau bagaimanapun dia orang tua satu-satunya yang masih kau miliki. Jangan sampai kau menyesal setelah kehilangan dia," keluh Marvel. "Aku paham benar Marvel, berhentilah menceramahi, kepalaku pening," keluhnya. "Mau aku buat pening kamu menghilang?" tanya Marvel cengengesan. "Bagaimana kalau kita minum wine. Lama kita tak minum bersama. Stok wine di rumah kamu pasti banyakkan?" kata Marvel tersenyum lebar. Kerlingan matanya me
Axelle semakin mendekatkan tubuh. Napasnya menyapu pipi Stela, membuat gadis tersebut merinding. Jarak mereka hanya tinggal satu inci saja. Dia masih syok terkejut tak percaya, mendapat kecupan-kecupan mesra pada pipi dan bibir dari sang suami. Ia mencoba mendorong jauh tubuh suaminya, tapi gagal. Tangan berotot tersebut melingkar di pinggang. Axelle sendiri seperti kehilangan akal. Dia begitu terpedaya akan bibir Stela yang sedari tadi menganggu pikirannya. Semenjak adegan ciuman yang tak ia sengaja lihat, bayangan Stela seakan menari di pikiran. "Om, tolong lepaskan saya," ketus Stela memasang raut khawatir. "Kenapa, kau bahkan memperbolehkan Mirza mencium bibirmu," celetuk Axelle. "Saya tidak membiarkannya, dia yang menarik saya," jelas Stela semakin gusar. "Kalau begitu, bagaimana jika aku yang suami kamu ini," kata Axelle meracau. "Menarikmu dan meminta bi