Marvel menatap sang sahabat dalam. Ia tahu benar apa yang dipikirkan Axelle, di satu sisi dia merindukan istri beserta anaknya. Di sisi lain ia mengkhawatirkan sang ayah. Angin berhembus masuk lewat jendela kaca besar dengan ukiran indah, yang terbuka lebar. Kain gorden berwarna hijau botol motif bunga mawar merah besar, berkelebatan tersapu angin. Hari sudah mulai sore, namun panas sang surya masih mengusik.
"Axelle, jangan terlalu ketus dengan Ayahmu. Walau bagaimanapun dia orang tua satu-satunya yang masih kau miliki. Jangan sampai kau menyesal setelah kehilangan dia," keluh Marvel.
"Aku paham benar Marvel, berhentilah menceramahi, kepalaku pening," keluhnya.
"Mau aku buat pening kamu menghilang?" tanya Marvel cengengesan.
"Bagaimana kalau kita minum wine. Lama kita tak minum bersama. Stok wine di rumah kamu pasti banyakkan?" kata Marvel tersenyum lebar. Kerlingan matanya me
Axelle semakin mendekatkan tubuh. Napasnya menyapu pipi Stela, membuat gadis tersebut merinding. Jarak mereka hanya tinggal satu inci saja. Dia masih syok terkejut tak percaya, mendapat kecupan-kecupan mesra pada pipi dan bibir dari sang suami. Ia mencoba mendorong jauh tubuh suaminya, tapi gagal. Tangan berotot tersebut melingkar di pinggang. Axelle sendiri seperti kehilangan akal. Dia begitu terpedaya akan bibir Stela yang sedari tadi menganggu pikirannya. Semenjak adegan ciuman yang tak ia sengaja lihat, bayangan Stela seakan menari di pikiran. "Om, tolong lepaskan saya," ketus Stela memasang raut khawatir. "Kenapa, kau bahkan memperbolehkan Mirza mencium bibirmu," celetuk Axelle. "Saya tidak membiarkannya, dia yang menarik saya," jelas Stela semakin gusar. "Kalau begitu, bagaimana jika aku yang suami kamu ini," kata Axelle meracau. "Menarikmu dan meminta bi
Sunyi, gambaran keheningan di antara sepasang suami istri tersebut. Keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing. Axelle merasa bersalah pada gadis muda tersebut. Ingin ia mengelus punggung yang ada di hadapannya. Antara ragu dan tidak, terbesit dalam pikiran konyolnya. Walau bagaimanapun mereka telah sah menjadi sepasang suami istri. Tak ada yang salah ia menyentuhnya. Lelaki mana yang tak akan tergoda ketika secara terus menerus mendapat kesempatan. Menyesal atau tidak pada akhirnya Axelle tidak perduli, wine membuatnya semakin hilang akal. Dia meraih tubuh mungil itu dalam dekapan. Stela sedikit melonjak saking terkejut. Gadis itu akhirnya mendiamkan saja, melawan pun sepertinya tidak akan berhasil. Asal tidak melebihi batas, dia akan mencoba menerima. Tangan berotot Axelle terasa hangat mendekapnya. Membuat jantung Stela berdebar kencang tak beraturan. Ia tidak pernah membayangkan, tidur dalam dekapan seseorang akan sedamai ini. Stela merasa a
Tatapan mata tua itu menelisik ke depan sana. Menatap sepasang pengantin baru yang tengah berpelukan di koridor tersebut. Senyumnya tersungging membuat guratan wajahnya yang keriput nampak jelas. Zeroun, lelaki tua itu kemudian berjalan pelan ke tempat yang berlawanan dari mereka. Ada perasaan lega, bersyukur. Ia berharap sang putra kelak dapat hidup bahagia. Putra semata wayang yang masih tersesat dalam cinta butanya. Harapan tak pernah pudar, begitu pula dengan kasih sayangnya. Perasaan Zeroun tepat, menjadikan Stela sang menantu. Gadis muda yang karismatik, memiliki pesona tersendiri. Dalam langkah kaki tuanya, Zeroun selalu memanjatkan do'a, agar tidak ada hambatan pada hubungan rumah tangga sang putra. Dia jua sangat berharap agar Axelle putranya segera meninggalkan Freya. Perempuan yang tak seharusnya masuk ke dalam kehidupan sang putra. Di sisi lain Axelle masih memeluk tubuh sang istri kecil Dalam hatinya terbesit rasa bersalah terama
Hati siapa yang tidak hancur kala mendengar tentang perselingkuhan yang dilakukan sahabat dan istrinya sendiri. Sekuat apapun seorang lelaki, sesabar apapun dia pasti akan langsung murka. Saat ini Axelle ingin sekali memukuli Marvel, hingga lelaki itu babak belur. Axelle berada di ambang kemarahannya, beruntung ponselnya berdering. Dengan cepat Axelle mengangkat telepon tersebut. Ada nama Stela terpampang di sana. Lelaki itu menghela napas panjang. "Iya Stela, ada apa?" tanya Axelle menahan amarah. "Maaf Om, Stella menganganggu. Apa nanti Om Axelle pulang ke rumah kakek?" tanyanya. Axelle terdiam sejenak, "Iya aku akan pulang. Aku tidak akan lama di sini, kenapa?" tanyanya kemudian. "Kakek lupa membawa obatnya, apa nanti biar Stela suruh sopir mengantar saja?" tanya sang istri. "Tidak perlu, biar aku yang mengantarkan, aku akan pulang sekarang. Kau siapkan
Axelle pulang dalam keadaan murka. Dia merasa jijik harus berakting mesra. Di lepas jas yang ia kenakan beserta dasi lalu melemparnya ke lantai. Ibu Olivia datang dengan kening mengkerut melihat tuannya menghempaskan tubuh ke sofa dengan kasar. Ingin dia mengumpat, mengucapkan sumpah serapah kepada Marvel dan Freya. Kedua penghianat yang hanya ingin kekayaannya. Axelle meremas rambutnya Frustrasi. "Ibu, buatkan aku minuman dingin," keluh Axelle. "Baik Tuan," ujar Ibu Olivia untuk kemudian wanita tersebut berjalan menuju dapur. Tak lama ia kembali membawakan jus lemon kesukaan Axelle. Wanita tua itu meletakkannya di atas meja. Untuk kemudian pergi undur diri meninggalkan tuannya yang sedang galau. Bukan kawasan ia untuk ikut campur dalam masalah sang majikan. Meski telah lama ia dipercaya bekerja di rumah mewah tersebutn ia cukup diam, mengamati. Axelle meneguk minuman tersebu
Lelaki tersebut menatap sayu tubuh telanjang menggoda di bawah, dalam kendalinya. Tangan berotot Axelle meghapus pelan buliran air mata sang istri kecil. Dapat ia rasakan sesuatu yang luar biasa di bawah sana. Lebih indah dari yang ia duga. Kejantanannya seperti di remas oleh denyutan bagian kewanitaan sang istri. Ada rasa bersalah ketika Axelle merasakan miliknya merobek, menelusup masuk paksa ke dalam liang kenikmatan Stela. Axelle memeluk tubuh kecil yang melengkung tersebut. Harusnya dia lebih lembut dalam bertindak, harusnya ia memilih momen yang romantis, bukan dalam kubangan emosi yang meluap. Sapuan angin yang menyapa tubuh bugilnya mengingatkan posisi mereka yang tengah berada di ruang terbuka, ruang yang seharusnya tak ia gunakan untuk merenggut keperawanan Stela. "Apa masih sakit?" bisik Axelle. Stela tak menjawab, tapi ia tak menangis lagi. Rasa perih menyergap di bawah sana. Terasa benda tumpul
Sudah hampir satu jam lamanya Stella termenung di depan meja kerjanya. Kertas yang seharusnya berisi gambar-gambar, masih kosong putih bersih. Tangan Stela masih gemetaran, ia bahkan tak ingat bagaimana caranya ia mandi tadi. Rambutnya basah kuyup, dan bajunya terlihat berubah menjadi piyama dengan motif kotak-kotak lengan panjang warna navy serasi dengan piyama yang Axelle, suaminya kenakan. Gadis itu mendongakkan kepala, melihat langit-langit kamar. Bayangan Axelle muncul lagi, dia mengingat sedikit, tangan berotot Axelle mengangkat tubuhnya ke kamar mandi. Axelle memandikan Stela dengan lembut. Suaminya begitu telaten, tangan berotot itu terlihat lembut menyentuh kulit, menyabuni badannya. Stela hanya duduk terbengong di sebuah kursi kecil. Itulah yang membuat Stela semakin linglung. Dia benar-benar tak dapat lagi berpikir dengan jernih. Sisa-sisa sensai menggetarkan luar biasa, masih terlihat jelas dalam ingatan. Ditambah sentuhan tangan yang terasa halus saat meman
Ada rasa berdebar di hati Stela, dadanya bergemuruh, sapuan napas sang suami yang menggelitik ke telinganya memberi sensasi luar biasa. Jantungnya berdegub kencang. Stela menundukkan kepala, rasa malu menyergap. Untaian kata tak bisa ia ucap, tangan yang menggenggam pensil bergetar hebat. Tanpa menunggu persetujuan Axelle mulai mencium tengkuk sang istri. Dia menyibakkan rambut panjang itu ke samping. Mengeksplore leher bagian belakang. Tangan berototnya tak tinggal diam. Meraba, dan sedikit meremas payudara sang istri yang masih terbalut piyama lengan panjangnya. Stela menjatuhkan pensil yang dia genggam. Pikirannya kalut, dia mulai fokus pada sentuhan-sentuhan nakal sang suami. Tangan berotot itu mulai menelusup masuk, merayapi setiap inci perut yang membuat Stela mengepalkan tangan. Menahan geli dan rasa yang tidak karuan. Bibir sang suami mulai mencium, memberikan cupangan di leher bagian belakang. Tangan Axelle merayapi punggung sang istri, dengan sekali sentuhan