Di tempat yang berbeda, Jason berkali-kali berdecak dan mengumpat karena Alex tidak kunjung datang. Ke mana laki-laki itu, apakah menuntaskan hajat sampai harus bermenit-menit. Jason curiga kalau sebenarnya Alex bukannya ke kamar mandi untuk buang air, tetapi justru bertapa. Jason melihat jam berwarna hitam yang melingkar di tangannya. Jarum panjang jam sudah berganti ke angka empat. Itu artinya sudah lebih dari dua puluh menit laki-laki itu di apartemennya.“Ke mana dia?” gumam Jason.Jason memeriksa ponselnya. Tadi, ponselnya mati jadi tidak bisa digunakan untuk menghubungi Alex. Setelah dicharger di dalam mobil, akhirnya ponselnya menyala. Jason buru-buru mencari kontak nama Alex. Begitu ingin dihubungi, ada tiga pesan muncul dari orang yang ditunggu. Jason membukanya. Ada satu video sedikit panjang di sana. Sedikit curiga, akhirnya Jason memutarnya. Di dalam video itu, ia hanya melihat gambar berwarna putih. Jason mendengus kesal. “Apa yang dilakukan dia sebenarnya.” Baru saja
Jason dan Emily sedang dalam perjalanan. Di dalam mobil, Emily terus menangis karena tidak menyangka bahwa anaknya masih hidup. Berkali-kali ia menanyakan hal yang sama kepada Jason mengenai Liam dan dijawab dengan jawaban yang sama pula oleh laki-laki itu. Jason mengerti bagaimana keadaan Emily. Dirinya juga rindu dengan Liam, darah dagingnya. Namun, setidaknya ia lega karena Liam sudah berada di tangan yang tepat saat ini. Mobil Jason berhenti di halaman rumah kediaman Charles dan Emma. Langsung saja mereka masuk. Di ruang tamu, semua orang berkumpul. Charles, Emma, Alex, Shila, bahkan Jared—kakaknya ada di sana. Emily lantas menghampiri Emma yang sedang menggendong bayi. Emma yang tahu perasaan Emily pun menyerahkan bayi itu. Dengan perasaan yang sulit dijelaskan serta air mata yang mewakili kebahagiaannya, Emily akhirnya kembali menggendong Liam. Anaknya yang sudah menghilang beberapa waktu. Emily menangis. Shila pun mendekat ke arah sahabatnya dan memeluknya. “Sekarang, Liam
“Emily, aku akan menikahkanmu dengan putraku,” ucap seorang pria pada salah satu perempuan yang berada di sana.Gadis bernama Emily menegakkan tubuh, menyimak dengan saksama apa yang disampaikan oleh pria yang merupakan ayah angkat sekaligus pemilik perusahaan tempat ia bekerja.Wajah Emily semringah, membayangkan pernikahan yang telah lama ia impikan bersama putra sulung keluarga McKennel.Sesungguhnya mereka belum resmi menjalin hubungan. Hanya saja, lelaki yang Emily sukai itu sudah menunjukkan ketertarikan padanya.Wajar saja jika keduanya terlihat saling memandang dengan ekor mata mereka, menanti putusan pasti dari pria yang memiliki otoritas penuh dalam perusahaan dan keluarga besar McKennel.“Kau akan kunikahkan dengan Jason, putra bungsuku. Dan jabatan sebagai manajer pemasaran juga kuserahkan padamu.”Seperti mendapat vonis mati, mata kedua orang yang semula begitu bersemangat, akhirnya meredup. Ada kesedihan yang tak mampu terucap di sana. Di sisi lain, Jason sang putra kedua
Makan malam hari ini tak lagi hangat seperti sebelumnya. Pria nomor satu di keluarga McKennel itu menikmati makanannya dalam diam, begitu pula Jason. Tak ada suara berbincang seperti yang biasa mereka lakukan di meja makan. Kali ini, hanya denting alat makan yang terdengar mengisi keheningan ruangan yang berisi lima orang itu.“Untuk pernikahan kalian nanti—“ Ayah Jason tampaknya mulai tak tahan dan ingin memulai obrolan, yang paling ia nantikan sepertinya adalah pernikahan putra kesayangan dengan anak angkatnya yang juga merupakan favoritnya.Sayang sekali, belum selesai sang pemegang otoritas tertinggi itu mengutarakan semua unek-uneknya, Jason sudah memotong pembicaraan.“Ayah, apakah harus sekarang? Tak bisakah kau bicarakan nanti?” tukas Jason, tak suka dengan bahasan yang baru saja dimulai oleh sang ayah.Memangnya apa yang akan mereka lakukan saat pernikahan? Mengapa menjadi topik hangat yang harus dibicarakan di meja makan?Pria paruh baya itu kembali terdiam. Namun, bukan kare
Emily tepekur di kamarnya, seperti orang yang kerasukan. Hanya bengong dan tidak melakukan apa pun. Kejadian yang baru saja ia saksikan beberapa jam lalu sungguh membuat jantungnya seperti akan mencelus, tetapi tak bisa.Bayangkan saja, ia terpaksa menyaksikan dua sejoli yang tengah memadu kasih, mulai awal hingga akhir. Itu sungguh hal gila yang tak pernah terbayangkan oleh Emily sama sekali.Dan pria yang melakukannya adalah pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Sekujur tubuhnya bahkan masih gemetaran saat ini.Ia bisa saja lari dari ruangan itu, memang. Namun, ia tak tahu mengapa kedua kakinya justru makin menancap kokoh di sana dan tak mampu digerakkan. Meski ia telah memejamkan mata agar tak perlu melihat secara langsung, tetap saja bayangan pergumulan Jason dan perempuan itu masih terus terbayang.Emily masih mendengar desah dan erangan dua sejoli itu, bahkan meski ia sudah menutup kedua telinganya, seolah kejadian itu tengah terjadi saat ini.Ia tak kuasa bertahan, hing
Emily tak ingin meladeni perkataan Jared yang bisa saja menimbulkan masalah baru baginya. Ia hanya menggeleng, sebagai bukti tegas bahwa ia tak menerima ide konyol yang diajukan Jared sebagai solusi. Itu bukan solusi, melainkan jalan pintas, dan ia tak mau menempuh jalan semacam itu. Alasannya masih sama, karena rasa hormat dan terima kasih yang besar terhadap keluarga McKennel. Selain dari perkataan dua orang tua angkatnya, Emily akan berusaha untuk abaikan. Sekalipun jika itu mengenai kebahagiaannya. Dan hari ini merupakan hari yang sakral bagi Emily dan Jason—andaikan keduanya merupakan sepasang kekasih. sayangnya, tidak seperti itu. Senyum yang ditampakkan oleh Emily sejak awal mula acara hingga selesai bukanlah senyum yang berasal dari hatinya. Emily bahagia, tentu saja, kala melihat ibu angkatnya menitikkan air mata kebahagiaan, juga sang ayah angkat yang kini telah menjadi ayah mertua yang berulang kali mengecupi pucuk kepalanya saat mengucapkan selamat. Namun, dalam batin
Emily sudah mengemasi barang-barang yang ia butuhkan untuk dibawanya ke Maldives untuk berbulan madu. Ayah mertuanya yang mengatur segala rencana bulan madu ini untuk mereka. Kegiatan ini sungguh ia takutkan, karena pernikahannya saja merupakan sebuah kepalsuan, entah apa yang akan terjadi dengan bulan madunya nanti.Terlebih Jason sejak awal sangat menolak ide bulan madu yang diutarakan oleh kedua orang tuanya. Lalu ketika baru saja mengungkapkan persetujuannya, ia sudah bergegas menghubungi kekasihnya.Bayangkan saja menjadi Emily yang kini harus dengan terpaksa mendengarkan kehebohan dua sejoli yang saling mengungkapkan kasih sayang melalui sambungan telepon, seolah dunia hanya milik mereka berdua.Memangnya apa yang diharapkan oleh Emily? Ia dan Jason berada di satu kamar pun tidak tidur satu ranjang.Jason kadang memilih tidur di sofa, atau di lantai.“Iya, sayang. Aku sudah siapkan tiket untukmu. Aku berharap kita akan bertemu di sana nanti. Atau bagaimana kalau di hotel saja? A
Ini sungguh bulan madu terkonyol yang pernah dijalani oleh Emily. Saat Jason berada di vila milik Tamara yang entah berada di mana, Emily justru menikmati kesendirian di Maldives hanya karena ia tak ingin mengecewakan ayah mertuanya.Charles dan Emma hanya tahu kalau Emily berdua bersama Jason telah tiba di Maldives, karena begitulah yang dikatakan oleh kolega bisnis Charles.Padahal kenyataannya tidak demikian.“Apa? Itu gila, Em! Dan kau tidak mengatakan apa pun pada Jason?” tanya sahabat Emily dari sambungan seberang. Emily menggeleng yang kemudian sadar kalau sahabatnya tak akan bisa melihat apa pun yang ia lakukan saat ini.Ingin, tentu saja ia ingin mengatakan sesuatu. Berada di pulau lain hanya seorang diri di hari bulan madu bukanlah hal yang keren. Emily bahkan ingin sekali menangis saat ini juga, tetapi ia tak bisa. Air matanya seolah telah mengering.“Entahlah, Shila. Aku mungkin sudah gila karena setuju dengan ide ini. Namun, apakah aku salah jika berharap Jason tetap bers