Setelah kapal ini mulai menjauh, aku dan Daffa memasuki kapal mewah ini. Sementara Edgar dan Carel sudah menghilang entah kemana.
Aku baru tahu kalau kapal pesiar ini memiliki banyak lantai atau dek layaknya gedung bertingkat. Kamar kami tepat berada di dek tujuh, sedangkan tempat kami memasuki kapal adalah dek sepuluh, jadi kami harus menaiki lift untuk dapat turun ke dek tujuh.
Setelah kami sampai di dek tujuh, kami melewati sebuah lorong. Tepat di sisi kiri dan kanan kami terdapat pintu yang berjejer sampai ujung lorong. Ruangan di dalam pintu itu adalah sebuah kamar.
“Kamar nomor 725,” ucapku ketika menemukan nomor kamarku.
Aku menoleh ke sebelahku, ternyata kamar Daffa tepat berada di depan kamarku.
“Nanti ketemuan di dek sepuluh aja ya. Gue mau mandi dulu, belom mandi, nih,” ucap Daffa yang sudah membuka pintu kamarnya. Aku hanya mengangguk.
Kubuka pintu kamar setelah kutempelkan sebuah kartu di dekat kenop pintu, lalu p
Tubuhku tercebur ke dalam kolam. Tanganku berusaha meraih-raih ke atas namun tidak bisa. Kurasakan tubuhku semakin masuk ke dasar kolam, rasanya seperti ada sesuatu yang menarik tubuhku. Kucoba untuk menghentak-hentakan kaki, dan menggerakkan tanganku sekuat tenaga untuk dapat kembali ke permukaan. Pasokan oksigenku habis, kurasakan air dari kolam ini memasuki hidung dan mulutku. Karena terlalu banyak bergerak, hal itu membuat tubuhku menjadi lemas. Tuhan, mungkinkah ini saatnya aku pergi? Kurasakan tubuhku sudah tak bisa digerakkan lagi, namun, samar-samar kulihat seseorang di dalam air. Ia langsung meraih tubuhku ke dalam dekapannya. Sebelum kami sampai ke permukaan, kurasakan semuanya menjadi gelap. *** “Uhuk-uhuk!” aku terbatuk kala seseorang menekan dadaku. Lalu kumuntahkan semua air yang masuk ke dalam tubuhku. Dan, saat kumembuka mata, yang pertama kulihat adalah wajah Edgar. Ia menatapku dengan khawatir sambil menepuk-nepuk pip
“Pffft ...” Tepat setelah kupejamkan mata, aku mendengar suara seseorang tertawa. Sontak aku langsung membuka mata, dan kulihat Edgar sedang tertawa di hadapanku. “Lo, kenapa nutup mata? Haha!” tawanya nyaring sambil memegangi perutnya sendiri. Mendengar hal itu, membuatku begitu malu. Tidak! Apa yang sudah kulakukan tadi? Kenapa aku menutup mata? Ah, aku pasti sudah gila sekarang! Rasanya malu setengah mati, bodoh! Kutendang lututnya dengan keras, ia merintih kesakitan. Namun aku tidak peduli, biar saja ia rasakan itu karena sudah mengerjaiku! Kulangkahkan kakiku meninggalkannya, ia berteriak-teriak memanggil namaku, namun tak kuhiraukan. Sadarlah Hulya, kenapa kau harus berpikir bahwa si mesum itu mau menciummu? Kenapa juga kau memejamkan mata? Akal sehatku pasti sudah hilang sekarang! Sesampainya di kamarku, aku mendapat pesan dari Feza. Ia mengajakku untuk menonton film di bioskop. Aku yang memang penasaran dengan sensasi m
Aku terdiam ketika Carel mengatakan hal itu. Kemudian, dengan sedikit senyum terukir di bibirnya, ia melanjutkan. “Nggak usah takut, gue nggak bakal ngapa-ngapain lo, kok.” Carel menarik lenganku. Aku coba memberontak, tapi cengkeraman tangannya terlalu kuat. Dan, akhirnya aku hanya bisa pasrah mengikuti ajakannya. Carel membawaku ke suatu tempat, aku tahu tempat apa itu. Karena samar-samar kudengar hentakan musik yang keras dari dalam ruangan. Kutarik lenganku dengan kasar, lalu menatapnya dengan tajam. “Ngapain bawa gue ke tempat beginian?!” teriakku. Ia kembali meraih pergelangan tanganku, namun dengan cepat aku menghindar. “Nggak ada yang aneh kok di dalem. Gue tau lo pasti bakal suka masuk ke sana!” jawabnya. Dia mencoba meyakinkanku, akhirnya aku mengalah dan menurutinya. Lagipula, tidak mungkin kan dia mengajakku ke tempat yang tidak-tidak? Begitu sampai di dalam ruangan aku terkejut karena dugaanku ternyata sala
Setelah kami hampiri ternyata itu Carel yang tengah bertengkar dengan salah satu penumpang kapal. Carel memegangi kerah baju pria itu, bersiap untuk melayangkan pukulannya. Namun dengan cepat Daffa menahannya, dan langsung membawa Carel pergi. Sebelumnya Daffa meminta maaf pada orang itu. Carel melepas tarikan tangan Daffa dengan kasar. Daffa menatapnya tajam. “Di sini gue yang diberi tanggung jawab. Kalo lo nggak mau nurut sama perkataan gue, mending lo nggak usah ikut aja sekalian!” bentak Daffa marah. Sementara kulihat Carel hanya menunduk. Ini pertama kalinya aku melihat Daffa marah, karena biasanya jika ia sedang memisahkan perkelahian antara adiknya itu, ia hanya diam dan membiarkan Papa atau Zayn yang menasehati mereka. Namun kali ini berbeda, mungkin ia juga merasa yang paling tua di antara kami, jadi ia merasa harus menjaga kami. “Udah, Kak. Jangan marah-marah di sini, malu diliatin banyak orang,” ucapku pada Daffa sambil mene
Aku segera berlari ke tempat terakhir kali, rasanya tadi mereka ke arah sini. Kuturuni sebuah tangga, makin ke bawah suasananya semakin sepi, tak ada orang di sini. “Gue kayanya kesasar, deh.” Aku terus berjalan memasuki tiap pintu, namun tak kutemukan siapa pun di sini. "Tenang, Hulya. Mereka pasti akan menyadari kalau aku hilang. Mereka pasti akan langsung mencariku!" Kuambil ponselku dari dalam tas, berniat menelepon Daffa atau siapa pun itu. Namun sialnya, tidak ada sinyal di sini! Aku terus berjalan melewati lorong. Semakin dalam semakin sunyi dan mencekam. Ruangan di sini sangat minim cahaya. Hawa dingin mulai terasa di sekitarku. Aku tak berani menoleh ke belakang, karena aku merasakan seperti ada orang yang mengikutiku. Aku berjalan dan terus berjalan, jika kutemukan tangga aku naiki, jika kutemukan pintu aku masuki. Namun, semuanya percuma karena aku seperti kembali ke tempat semula. Aku tahu kalau ini hanya perasaanku
Kulihat Edgar terkekeh, aku balas mempelototinya. “Jangan bilang, lo semalem nyuri kesempatan?” tanyaku seduktif. “Haha, lo tuh gampang banget dibohongin ya! Mana ada gue nyuri kesempatan sama lo, ada juga lo tuh yang kesem-sem sama gue, kan?” tukasnya. Aku mengangkat alis mendengar perkataannya yang sungguh sangat percaya diri itu. “Kesem-sem? Sama lo? Sorry ya! Nggak akan!” hardikku. Ia terkekeh geli mendengar jawabanku. Ini orang kenapa ketawa terus, sih?! “Hati-hati jilat ludah sendiri, haha!” ejeknya. Sementara aku hanya mendengus kesal mendengarnya. Lalu kudorong tubuhnya untuk keluar dari kamarku. “Eh, tunggu! Jangan mar ...” BRUK! Sebelum ia sempat melanjutkan bicara, langsung kubanting pintu tepat di depan wajahnya. Ia menggedor-gedor pintuku dengan keras, namun kudiamkan. Huh! Biar saja, dia harus menerima ini karena sudah membuatku kesal! “Kalo udah selesai mandi, temuin gue di dek enam belas
Aku terkejut ketika mendengar pertanyaan Carel yang begitu pribadi. Nampak Edgar dan Daffa juga tak kalah terkejutnya sepertiku. “K-kenapa nanya kaya gitu, Kak?” tanyaku yang merasa agak risih dengan pertanyaannya, sesekali aku melirik ke arah Edgar yang tampak gelisah. “Haha, engga, kok. Gue cuma pengen tau aja,” sahut Carel disertai tawa renyah. Aku menatapnya nanar. Tanpa rasa bersalah ia menanyakan hal itu, lalu ia tertawa begitu saja? Memangnya ini lucu? “Bisa nggak, sih. Lo nggak usah nanya hal pribadi kayak gitu?!” hardik Edgar. “Hak gue, lah, mau nanya apa juga! Mulut-mulut gue!” tukas Carel tak mau kalah. “Sini, lo! Biar gue ajarin apa itu sopan santun!” Edgar berdiri sambil menunjuk-nunjuk Carel. Sementara Daffa sibuk menenangkan adik bungsunya itu. “Udah, Gar, udah! Jangan kepancing emosi di sini. Lo juga Carel! Maksud lo apa nanya kaya gitu ke Hulya?!” sahut Daffa. Ia melotot ke arah Carel yang hanya cengengesan. Br
Aku membelalakkan mata mendengar permintaannya.“Lo mau gue?” tukasku yang sudah mulai berpikiran aneh-aneh.Dia tertawa kecil mendengar perkataanku. Lalu kemudian ia berkata. “Gue mau lo jadi asisten pribadi gue selama di Bali.”“A-asisten pribadi?” tanyaku terkejut bercampur kesal. Ia mengangguk penuh kemenangan.Harus kuakui, aku telah masuk ke dalam perangkapnya. Aku tak bisa mengelak lagi, karena aku sudah berjanji! Sial! Kenapa aku bisa sebodoh ini dan mempercayai perkataannya itu! Edgar Mahendra, lihat saja, akan kubalas kau!***Perjalanan dari Semarang ke Bali membutuhkan waktu kurang lebih dua puluh jam. Lebih lama dari pada melalui jalur darat, bukan? Tentu saja, karena kapal pesiar ini bergerak tidak terlalu cepat, juga agar penumpang bisa berlama-lama di atas kapal untuk menikmati semua fasilitasnya.Tepat pukul empat sore, kapal sudah sampai di Pelabuhan Benoa, Bali. Pelabuhan yang keb