Aku mengelus dada, ternyata orang yang berada di layar CCTV adalah Fikri. Ia benar-benar keterlaluan. Laki-laki itu harus rela dendamnya berakhir di jeruji besi, dan yang akan melaporkannya saudaranya sendiri. Tanganku mengepal, lalu mengembuskan napas perlahan. Sisi burukku cuma satu, menolak cintanya pada saat itu tanpa meminta maaf bahkan menganggap Fikri. Jadi, ia menilaiku benar-benar musuhnya. Seandainya pada waktu itu aku memilih Fikri pun rumah tangga takkan awet jika hatinya diselimuti dendam. "Mon, kita mau gimana?" tanya Alan mengejutkan aku. Seketika lamunanku tentang Fikri buyar, bukan menyesal, tapi aku sangat menyayangkan kalau hari-harinya akan menjadi kelam selamanya. "Kita ketemuan sama Rinta, tunjukkan CCTV ini," ajak Mona pada Alan."Jam berapa kamu janjian?" tanya Alan lagi."Tadi bilang jam 5 sore," timpalku padanya. "Coba telepon Rinta lagi, ketemu sekarang saja," saran Alan. Namun, aku tidak langsung mengindahkan ucapannya. Sebab, kalau kami keluar kantor
Setelah kami menghampirinya, ternyata darah segar sudah mengalir di kening Rinta. Tidak ada satu pun yang berani membawanya ke rumah sakit. "Alan, kita bawa Rinta ke rumah sakit," ajakku setelah menyeruak di kerumunan. "Pak tolong bantu kami bawa dia ke rumah sakit," kata Alan juga."Kata orang sini tabrak lari, Bu. Kami takut nyentuhnya. Nanti polisi jadiin kami saksi," jawab salah seorang warga.Tabrak lari lagi? Mungkinkah ini Fikri lagi? Kalau benar, berati laki-laki itu sudah gila.Darahnya terus mengalir, Rinta terlihat meringis kesakitan. Kemudian menarik telapak tanganku."Mon, tadi Fikri, tolong cari dia ...." Ucapan Rinta terhenti napasnya tampak sulit diatur. Seketika itu juga ia pingsan tergeletak di jalan."Lan, ayo cepat kita bawa saja!" suruhku berteriak. Setelah melihat ia tergeletak, barulah yang lain ikut membantu. Tiba-tiba suara sirine ambulance terdengar. Ternyata ada yang sudah menghubungi ambulance. Petugas langsung membawa Rinta yang sudah terkapar ke dalam
"Tante, itu semua salah paham," terangku padanya."Salah paham apanya? Fikri itu keponakan aku, dia anak baik-baik yang telah kamu sia-siakan," balasnya dengan percaya diri. Terkadang seperti itu, orang mengira yang baik di depan kita akan baik juga di belakangnya, padahal banyak yang baik di depan dan jahat di belakang. "Tante, ini saya sudah memiliki bukti bahwa mobil Fikri yang menabraknya, dan ini juga ada surat laporan yang sudah saya laporkan ke polisi," kataku sambil menyodorkan handphone dan secarik kertas.Tante Ambar meraihnya, lalu membacanya, sesekali mata Tante Ambar melirik ke arahku. Terlihat di sudut matanya ada air mata yang mengembun.Sesekali bibirnya dibasahi oleh lidahnya, lalu terlihat Tante Ambar menghela napasnya. Kemudian, pipi wanita yang memiliki dua anak itu terlihat basah. Kini air mata pun banjir setelah tahu semuanya. "Fikri," isak Tante Ambar. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Aku pun menghampiri dan menuntunnya untuk duduk."Tante yang sabar
"Mbak Mona, baru pulang dari luar kota ya?" tanya tetanggaku, Bu Susi. Ia melakukan kegiatan pagi seperti ibu-ibu kompleks biasanya, menyapu halaman rumah. Aku yang baru saja memarkirkan mobil Honda Freed warna putih kesayanganku sontak mengeluarkan kepala dari kaca."Ya, Bu, sebentar ya ngobrolnya, saya matikan mesin mobil dulu," jawabku sambil cabut kunci mobil.Kemudian, aku lepaskan seat belt yang masih kukenakan, lalu turun dari mobil dan menghampirinya, sekalian memberikan oleh-oleh dari kota Bandung.Sebelum pulang, aku membeli mochi untuk Rinta, pembantuku yang bekerja di rumah hanya setengah hari. Ya, aku hanya memintanya bekerja setengah hari, mencuci dan masak untuk suamiku. Setelah itu kupastikan ia pulang. Sebab, kami memiliki perjanjian khusus di atas materai. Aku mendekatinya, lalu menyodorkan mochi ke tangannya. "Ini oleh-oleh untuk Bu Susi," ucapku sambil menyunggingkan senyuman. "Loh ini buat Rinta ada nggak?" tanya Bu Susi balik."Ada, aku sudah beli lebih," jawa
"Ibu, sejak kapan berdiri di belakangku?" tanya Rinta. Ia mendekap ponselnya, lalu mundur ke belakang sambil menatapku. "Lingerie apa, Rinta? Barusan kamu bicara dengan siapa?" cecarku dengan kaki terus melangkah maju. Mata ini menyorotnya sambil terus melangkah, sedangkan Rinta terus mundur hingga mentok di ujung wastafel. "Bu, maafkan saya, kemarin sewaktu masak, baju saya kesiram minyak, jadi pinjam baju Ibu sekenanya yang di lemari," sanggah Rinta masih berdiri tegak. Ia menggigit bibirnya sambil sesekali terlihat menelan ludah."Oh begitu," ucapku sambil mengangguk. Tapi terus mendekati wanita yang terbilang masih muda itu. Aku sudah yakin bahwa orang yang ia hubungi barusan adalah Mas Ari, tapi sebaiknya tidak sekarang membongkar semuanya. "Boleh lihat ponsel kamu?" tanyaku penasaran juga. Ingin menyudahi menyecar Rinta, tapi rasa penasaranku justru menggebu-gebu. Rinta menatapku, tapi perlahan ponselnya pun ia berikan sambil menatapku dengan wajah sendu. Setelah ponselnya
Saat ketukan ketiga, tiba-tiba saja lengan ini ditarik paksa oleh seseorang hingga diseretnya ke tempat sampah. Kami bersembunyi di balik tempat sampah. "Fikri," celetukku ketika melihat sosok laki-laki yang ternyata adalah mantan kekasihku saat di bangku sekolah menengah kejuruan. Kami pacaran cukup lama, nyaris menikah tapi aku lebih memilih Mas Ari. "Sttt, jangan berisik," timpalnya. Kami masih bersembunyi, karena dipastikan setelah ini akan ada yang keluar.Benar saja, Mas Ari keluar dengan sudah mengenakan kolor dan kaos oblong saja. Ia tengak-tengok mencari orang yang mengetuk pintu, lalu menutupnya kembali. Hatiku menjerit melihat ia keluar lalu masuk lagi. Ya, itu suamiku yang berani melamar dan mempersuntingku beberapa tahun yang lalu."Sabar ya," ucap Fikri. Aku baru tersadar bahwa apa laki-laki lain di hadapanku yang menyaksikan kepiluanku. "Kamu kok ada di sini?" tanyaku penasaran. "Jangan keras-keras, kamu mau dengar suamimu sedang bercinta nggak? Dia di kamar belaka
Langkah Fikri tiba-tiba terhenti, ketika melihat dari sudut depan banyak segerombolan ibu-ibu membawa alat perangnya di dapur. Tangan Fikri dibentangkan seraya mencegahku untuk melanjutkan ke arah rumah yang kini sedang dibuat gelut oleh pasangan yang dimabuk asmara. "Mona, kamu ikut aku," suruh Fikri kini meraih tanganku. "Pak RT gabung sama ibu-ibu yang sudah siap membawa panci dan centong," tambah Fikri lagi.Pak RT dan istrinya mengangguk. Namun, langkah Fikri kembali terhenti lalu menyapa Pak RT kembali. "Pak, jangan bilang istrinya ada di sini, ya!" teriak Fikri lagi. Kata Fikri kamar mereka ada di belakang, jadi takkan mendengar teriakan Fikri barusan.Entahlah apa yang ingin dilakukan Fikri kepadaku, ia hanya menarikku dan meminta mengikuti saja perintahnya. Saat ini di otakku hanya ada bayangan Mas Ari yang sedang bercinta dengan wanita tak tahu malu itu.Terlintas bagaimana Fikri dan ibu-ibu yang bergosip tadi bilang bahwa mereka sering menunjukkan kemesraannya di depan umu
Aku mengangkat lengan baju dan menyuruhnya turun dari mobil sekali lagi. "Turun sekarang nggak!" teriakku sekali lagi dengan mata membulat. Namun, Mas Ari malah membunyikan klakson. Ibu-ibu yang mendengar dan melihatnya pun sontak mengepung area mobil. Tak segan-segan, ada beberapa orang yang memukul kaca mobil dengan keras.Reaksi Rinta hanya menutup wajahnya. Beberapa orang terus membantuku meneriakinya untuk keluar. Kulihat area rumah Mas Ari semakin ramai. Orang yang berlalu lalang di jalan pun singgah dan ikut menyaksikan kehebohan ini. Setelah beberapa menit dalam kepungan, Mas Ari menautkan kedua tangannya di hadapanku seraya memohon.Aku membentangkan tangan ini dan menyuruh semua yang ada di sini diam."Tolong diam dulu, kita dengarkan laki-laki itu mau bicara apa," suruhku untuk menghentikan aksi. "Jangan lupa dishoot, ya, supaya mereka tak bisa macam-macam," suruhku pada beberapa yang megang ponsel termasuk Fikri. Mas Ari membuka kaca mobilnya sedikit, ia takut dipukul