Share

Bab 6

Lingerie Untuk Siapa

Part 6

Wulan

Waktu terasa berjalan sangat lambat. Dengan perasaan tidak menentu, aku menunggu Mas Haris pulang. Aku ingin menanyakan kebenaran soal janin yang dikandung Sarah. Meskipun ragu, tapi aku juga takut, seandainya apa yang dikatakan perempuan itu benar. Entah apa yang akan terjadi dengan rumah tanggaku nanti. 

Suara mobil Mas Haris memasuki halaman rumah. Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Tubuh ini juga seolah kehilangan daya, bahkan sekedar untuk berdiri menyambut kedatangan suamiku. 

Mas Haris memasuki rumah, wajahnya terlihat lelah. Melihatnya seperti itu, aku tak tega jika harus menceritakan soal pertemuanku dengan Sarah. Almarhum ibuku pernah mengajari, sebesar apapun masalah yang terjadi, jangan pernah membahasnya saat suami baru pulang dari bekerja atau sedang capek. Hasilnya tidak akan baik. Teringat almarhumah ibu, air mataku merebak. Dada rasanya semakin sesak. 

Aku menarik napas, berharap sesak ini sedikit berkurang. 

"Kamu, sakit, Lan?" tanya Mas Haris lembut, ia menyentuh keningku. 

"Nggak, Mas. Cuma akhir-akhir ini cepet capek."

"Jangan terlalu memaksakan diri melakukan semua pekerjaan rumah. Kalo capek, istirahat aja." 

"Iya, Mas. Maaf aku nggak masak. Tadi, pusing banget.

Mas Haris tersenyum, ngga apa-apa, beli aja. Kamu mau makan apa? Aku pesan sekalian."

Aku berpikir sebentar, pusing begini aku ingin makan sesuatu yang berkuah dan pedas. "Soto aja, Mas."

Mas Haris mengangguk, kemudian mengambil ponsel dari saku celananya dan mengutak atik layarnya. Dia memang tidak pernah menuntutku melakukan semua pekerjaan rumah termasuk memasak. Hanya, akunya yang memang tidak bisa berdiam diri. Soal makanan dia juga tak rewel. Sesekali kami beli di luar dalam keadaan tertentu. 

"Kamu mau diantar ke dokter?" 

"Ngga usah, Mas. Mungkin aku cuma masuk angin atau kecapekan aja. Besok juga sembuh."

"Ya udah, aku mandi dulu."

Mas Haris berlalu. Sementara aku bingung harus memulai bercerita dari mana soal Sarah. 

***

Hari belum begitu malam, saat kami berdua memasuki kamar untuk beristirahat. Mungkin, inilah waktu yang tepat untuk membahas tentang pengakuan Sarah. Mas Haris duduk di tepi ranjang, dan aku memilih duduk di sampingnya. 

"Em, Mas, aku mau cerita tentang sesuatu, boleh?" 

Dahi Mas Haris berkerut, "soal apa?" 

"Em, tapi, janji jangan marah." Mas Haris mengangguk. Kemudian dengan hati-hati aku menceritakan pertemuan dengan Sarah, juga tentang pengakuan perempuan itu. 

Wajah Mas Haris yang semula tenang, berubah menjadi pucat dan tegang saat mendengar Sarah hamil. Juga tentang kemungkinan bahwa janin yang bersemayam di rahim Sarah adalah calon anaknya. Mas Haris mengusap wajahnya dengan kasar, ia juga menjambak rambutnya. Sementara aku, tak tahu harus berbuat apa. Hatiku sudah kebas. Tak ada lagi air mata. 

"Maafkan aku, Wulan, maaf," bisiknya. Aku mengusap punggung Mas Haris. Mas Haris meraih tanganku dan menggenggamnya lembut. 

"Maaf, Mas, bukannya aku lancang. Apa, kamu yakin kalo itu anakmu?" 

Mas Haris mengangkat wajahnya, ia menatapku tajam. "Maksudmu?"

"Ya, dia dengan mudahnya menyerahkan tubuhnya padamu, jadi, bisa aja dia juga berhubungan dengan pria lain."

"Sarah bukan perempuan seperti itu."

Hatiku mencelos mendengar pembelaan Mas Haris untuk Sarah. Entah kenapa, keraguan tentang pengakuan Sarah tiba-tiba lenyap. Aku menarik tanganku dari genggaman Mas Haris. Kemudian beranjak ke tempat tidur dan berbaring membelakangi Mas Haris. Aku kecewa. 

"Maaf, besok aku akan menemui Sarah," bisik Mas Haris sambil berbaring dan memelukku dari belakang. 

"Terserah!" Aku berusaha melepaskan pelukan Mas Haris. Entah kenapa bayangan Mas Haris tengah memeluk Sarah, muncul tiba-tiba, membuatku merasa jijik dan muak. Aku bangun dari tempat tidur, mengambil bantal dan selimut, berniat keluar kamar. 

"Mau ke mana, Lan?"

"Mau tidur di depan tivi! Tak sudi aku tidur dengan pria yang memeluk istrinya tapi sambil memikirkan perempuan lain!" 

"Jangan gitu, Lan. Kamu kan, lagi nggak enak badan. Ntar, tambah parah."

Mas Haris bangun dan menarikku agar masuk lagi ke dalam kamar. 

"Lepas! Kamu yang membuat sakitku tambah parah!" 

"Oke! Kalo kamu ngga mau tidur sama aku, biar aku yang tidur di luar!" 

Mas Haris mengambil paksa bantal dan selimut dari tanganku. Kemudian dia keluar dari kamar kami. Aku terpaku di tempatku berdiri, menatap punggungnya yang semakin menjauh. Entahlah, aku merasa, mungkin aku akan benar-benar kehilangan dia. 

***

Hampir semalaman aku tak bisa memejamkan mata. Kurasa Mas Haris juga sama. Semalam beberapa kali, kudengar suara langkah menuju kamar ini. Tapi, menjauh lagi. Mungkin Mas Haris ingin masuk, tapi ragu. Begitu terus hingga akhirnya aku terlelap. Dan, bangun saat hari sudah siang. 

Jam setengah enam lebih lima menit. Bergegas aku menuju kamar mandi, berniat membersihkan badan dan berwudhu. Meskipun telat, aku tetap berusaha menunaikan ibadah Sholat Subuh. Kulihat Mas Haris juga sudah bangun. Tapi aku cuek saja, tidak menyapa atau menanyakan mau sarapan apa. 

Mas Haris juga memilih diam. Ia bersiap berangkat kerja tanpa memintaku menyiapkan sarapan. Kami melakukan aktivitas masing-masing dalam diam. Tak ada tegur sapa. Lagi-lagi, aku teringat pesan ibu, agar tidak melepas suami bekerja dalam keadaan marah. Karena itu akan membuat suami tak konsentrasi dalam bekerja. Ah, Ibu, seandainya beliau masih ada, pasti aku punya tempat untuk mengadu. Tak terasa, air mataku menetes, teringat sosok ibu. 

Aku terpaksa mencium tangan Mas Haris saat ia berpamitan. Mas Haris mengusap kepalaku, lembut sebelum masuk mobil.

"Maaf, aku janji akan menyelesaikan masalah ini. Kamu istirahat aja, jangan terlalu banyak pikiran." 

'Kamu yang membuatku banyak berpikir, Mas,' gerutuku dalam hati. 

Kutatap mobil Mas Haris hingga menjauhi pekarangan rumah kami. Mas Haris hanya pegawai biasa di kantornya. Kehidupan kami juga biasa saja, tak terlalu mewah dan tidak juga susah. Selama ini kami saling terbuka tentang semuanya. Aku pikir semuanya baik-baik saja. Ternyata aku salah. 

Tiba-tiba aku merasa mual dan pusing. Mungkin karena semalam kurang tidur. Aku terpaksa duduk di kursi yang ada di teras. Rasa pusing dan mual semakin tak bisa ditahan. Akan tetapi, untuk masuk ke dalam rumah, rasanya aku tak punya tenaga. Kulihat Teh Yuyun yang baru pulang entah dari mana, setengah berlari menghampiriku. 

"Ya Allah, Wulan! Kamu kenapa?" teriaknya panik. Teh Yuyun menyentuh keningku. "Kamu pucat banget, ayo kita ke dalam." 

Teh Yuyun memapahku ke dalam rumah. "Kamu udah sarapan?" 

Aku menggeleng lemah. "Ya sudah, aku bikinin teh manis panas, ya."

Teh Yuyun berlalu menuju dapur. Tak lama kemudian ia kembali dengan segelas teh panas di tangannya. 

"Ayo, minum pelan-pelan." Teh Yuyun membantuku meminum teh buatannya. Rasa hangat menjalari tenggorokan dan lambungku. 

"Makasih, Teh." 

"Sama-sama. Udah ke dokter?" 

Aku menggeleng lemah. 

"Ya Allah, Wulan! Bandel banget sih, sakit kok dibiarin. Ayo aku anter ke dokter. Tapi, suamiku udah berangkat, kalo naik motor, kamu kuat?" 

Aku mengangguk. 

"Ya udah, habisin tehnya, kita ke dokter, tapi tunggu sebentar." Teh Yuyun meninggalkanku. Sekitar sepuluh menit kemudian, dia kembali. 

"Ayo." Teh Yuyun membantuku berdiri, dan menuntunku keluar rumah. Motor matic warna merah milik Teh Yuyun sudah menunggu di depan rumahku. 

Sekitar sepuluh menit, kami tiba di klinik terdekat. Setelah mengantri beberapa saat, akhirnya tiba giliranku. Didampingi Teh Yuyun aku memasuki ruang periksa. Seorang dokter perempuan menyambut kami dengan ramah. Setelah ditimbang berat badan dan dicek tekanan darah, dokter memintaku berbaring sambil menanyakan beberapa hal. Termasuk kapan terakhir kali datang bulan. 

Aku mencoba mengingat, ya, sudah dua bulan aku tak mendapatkan tamu bulanan. Dokter memintaku untuk tes urine. Aku menurut saja. Dengan hati berdebar tak karuan, aku mencelupkan alat tes kehamilan. Mataku terpejam beberapa saat, menunggu garis yang akan muncul pada alat tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status