EVAN mendengarkan isi percakapan itu dengan mata terpejam. Dia membayangkan gadis itu mengucapkan semuanya dengan baik, bagaimana ekspresinya pun ia bisa membayangkannya dengan jelas.
Dia gadis yang baik, batinnya.
"Tuan?"
"Hm."
"Apa Anda yakin, akan melaksanakan pernikahan ini minggu depan?" tanya Chris yang tidak percaya, mengingat Evan baru saja bertengkar dengan sepupunya dan kini wajahnya dihiasi luka lebam yang cukup banyak.
"Kenapa? Apa kamu meragukan keputusanku?"
Chris menggelengkan kepala. "Tidak, Tuan."
"Persiapkan saja semuanya, Chris, semuanya sudah diatur, tidak ada alasan lagi untuk mundur."
"Baik, Tuan."
Benar, tidak ada alasan lagi untuk mundur.
Evan mengambil kesempatan ini agar dia bisa menikah, mendapatkan seorang istri yang mungkin bisa mengurusnya sampai di kemudian hari.
Namun, dia juga tidak tahu, akankah istrinya nanti bisa mengurusnya atau tidak, karena dia masih pelajar.
Chris pamit dari kamarnya menyusul seorang perempuan yang kini masuk ke kamarnya. "Kak Evan beneran mau nikah, ya?"
"Hm, kenapa, kamu cemburu?"
Perempuan itu berdecak kesal. "Bukannya gitu, tapi aneh aja. Abisnya, Kak Evan nikahnya sama bocah, sih."
Evan mendengkus. "Dia bukan bocah lagi, Syil."
"Tetap aja. Coba deh, sepuluh tahun lagi kalian jalan bareng, lihat aja, dia bakal kelihatan kayak anak Kak Evan, bukannya istri Kak Evan."
Evan mendengkus. "Lalu, kamu lebih suka lihat Kak Evan nikah sama mama kamu gitu?"
Syila melotot tajam. "Kakak ... masih suka sama Mama?"
Evan tersenyum tipis. "Masih."
"Tapi, Papa bilang, Kak Evan suka sama Mama waktu masih umur lima tahun, kan?"
"Terus, masalahnya di mana? Mama kamu juga nggak nambah tua, Syil." Evan tersenyum tipis. "Jadi, sebelum papa kamu ngamuk, mendingan Kakak menikah dengan orang lain, bukan?"
"Terserah Kakak ajalah!" teriak Syila yang pasrah dan meninggalkan Evan sendirian.
Dia hanya berharap, Lilya bisa menjadi pasangannya. Seseorang yang bisa mengerti dirinya luar dan dalam. Seseorang ... yang mungkin bisa menemaninya hingga kematiannya datang.
***
"Perhatikan dengan baik kapan tanggalnya dan siap-siap aja lo nikah sama orang tua mesum itu."
Lilya hanya menunduk. Dia sudah ikhlas, dia rela menikahi orang itu demi keluarga kecilnya ini. Agar mereka bahagia, tidak apa-apa.
"Jujur, ya, Li, gue kasihan banget sama hidup lo. Udah anak pungut, dijadiin pembantu, terus nikah sama orang tua gendut kayak badut gitu pula." Kenanga mendengkus. "Emangnya, lo nggak pernah mikir mau hidup bahagia gitu?"
Lilya hanya diam saja. Sebersit keinginan untuk bahagia, menikahi orang yang ia cintai, tentu saja ada. Namun, Lilya sudah melupakannya.
Demi ayah dan ibu yang telah membesarkannya.
Seorang kurir datang dan membawa kotak yang terbungkus pita cantik. "Untuk Nona Lilya," katanya.
Lilya menerimanya dan membuka isinya. Gaun pengantin yang terlihat mewah dan cantik, terlihat sekali kalau gaun itu dipesan khusus untuknya.
Namun, bagaimana bisa? Bukannya mereka baru bertemu Lilya kemarin? Bagaimana gaun ini bisa langsung jadi dalam waktu dua hari?
"Cantik," gumam Kenanga, "gaunnya."
Lilya tersenyum. Yang membuat gaun ini jelas orang yang memiliki kekuasaan dan uang yang banyak. Dia pasti sangat kaya raya. Abaikan rupa dan bagaimana bentuk orang yang memberikannya.
Lilya hanya berpikir, apakah hanya uang bisa membuat seseorang bahagia?
HARI pernikahan akhirnya tiba. Lilya hanya bisa menundukkan wajah dengan banyaknya pikiran yang menghantui isi kepala sejak beberapa lama.Bukan hanya tentang bagaimana rupa calon suaminya, tetapi juga dengan malam pertama.Ini pengalaman pertamanya. Dia tidak punya pengalaman apa pun yang berkaitan dengan asmara. Begitu, dia mendapatkan kesempatan untuk merasakannya, dia akan langsung mendapatkan semuanya.Lilya menelan ludah tanpa sadar. Tatapannya terarah pada Kaisar dan Mawar yang tersenyum bangga karena berhasil menikahkan Lilya dengan orang kaya raya. Sedang Kenanga terlihat tak peduli, dengan satu kaki menyila, dia duduk di kursi."Apa mereka akan terlambat?" Penghulu yang lebih dulu datang mulai melirik jam di tangan.Kaisar tak bisa banyak komentar. Dia hanya berharap seorang Evan tidak sedang mempermainkan dirinya. Memang, mungkin dia tidak akan terlalu malu, karena t
PERNIKAHANNYA tidak meriah, tidak ada banyak tamu yang datang, tidak ada makanan apa pun yang terhidang, hanya ijab singkat, dan bubar. Lilya dibawa pergi oleh suaminya setelah ijab selesai dikumandangkan.Lionel Ervan Gunawan, atau yang dikenal dengan nama Evan. Begitu yang Lilya ingat tentang nama suaminya.Laki-laki mapan itu langsung membawanya ke sebuah rumah besar yang berisikan satpam, penjaga kebun, dan pengurus rumah. Lalu kemudian, Lilya dan Evan akan mulai tinggal di sana."Kuharap kamu bisa terbiasa dengan rumah baru, karena aku tidak mau tinggal bersama keluargamu."Dada Lilya terasa tercubit mendengar penuturan itu. "Mengapa? Mereka orang tuaku, sekarang mereka juga menjadi orang tuamu."Evan menghela napasnya kasar. "Jangan salah sangka, aku hanya ingin menjaga diriku sendiri dari bahaya ular yang ada di dalam sana."
"MEMANG kenapa kalau aku bukan anak kandung mereka?" Lilya mengulang pertanyaannya, karena Evan tidak mengeluarkan balasan apa pun. Laki-laki itu hanya diam, menarik kursi, lalu duduk dengan nyaman. "Kak, memang kenapa kalau aku ....""Diam, jangan banyak bicara di meja makan," potong Evan yang kini membalik piring dan menatap Lilya tajam.Lilya terdiam, dia mulai mengambil piring Evan lalu mengisinya dengan nasi. "Mau lauk apa?" tanyanya, menawarkan pada orang yang tadi pagi resmi menjadi suaminya."Apa pun yang menurutmu enak," balasan Evan membuat Lilya membatu. Dia menatap Evan, lalu piring di tangannya secara bergantian, tapi dia urung bicara lagi karena laki-laki itu tadi menyuruhnya diam.Lilya menghela napas kasar, dia mengambil semua lauk satu per satu hingga piring suaminya penuh. Bahkan lebih banyak dari nasi yang dia tuangkan ke piring.Evan diam, tatapannya datar,
SEKOLAH tidak terlalu menyenangkan untuk Lilya. Karena statusnya hanyalah anak angkat yang diperalat keluarga, dia tidak berani berteman dengan anak-anak lain seusianya. Dia menjadi perangai pendiam dan sulit diajak bicara, karena takut aib keluarganya terbongkar. Dia pun membentengi diri dan fokus belajar.Sama seperti tadi pagi, Evan kali ini datang menjemputnya setelah tadi pagi mengantarnya ke sekolah. Bedanya, kali ini pria itu datang lebih awal, menunggu sembari memainkan ponselnya di mobil.Begitu Lilya sampai dan duduk di sebelah kursi kemudi. Evan mengambil sesuatu dari bawah kemudi, lalu melemparkan sebuah kotak seukuran tangan besar pria itu ke pangkuan Lilya. Lilya hanya memandangi kotak smartphone dengan wajah tidak mengerti."Pakai itu untuk menghubungiku," katanya, sembari menyalakan mesin dan mulai melajukan mobil.Lilya membuka kotak di pangkuannya dan sebuah ponsel baru kini
EVAN tidak tahu apa saja yang tengah Lilya lakukan. Dia lebih memilih beristirahat, walau tidak benar-benar bisa beristirahat.Dikeluarkannya ponsel dari saku kemeja dan ia mulai mengecek perkembangan saham perusahaan atau mengecek email Chris tentang berkas-berkas laporan yang harus dia tanda tangani nanti.Pekerjaannya sangat melelahkan dan membosankan. Satu-satunya alasan yang membuat Evan tidak mau menampakan dirinya sejak lama, karena alasan serupa. Dia tidak mau menambah daftar pekerjaan baru seperti diliput media atau masih banyak perkara lain yang bisa menambah beban di otaknya. Dia hanya ingin bekerja, memastikan semuanya berjalan baik-baik saja, walau dia tidak perlu melihat langsung ke lapangan.Seperti apa yang telah Kaisar lakukan. Dia menipu beberapa investor dan membuat nama perusahaannya buruk. Pria itu dituntut ganti rugi dan Kaisar tidak bisa lari. Terlebih, dengan anak sert
EVAN melirik Lilya dari ekor matanya. Kali ini, eskpresi wajah istrinya terlihat sedikit lebih cerah dan tampak sekali kalau ia sedang bahagia. Entah apa yang membuat Lilya senang hanya karena dia habis bantu-bantu Nayla di restoran, tapi Evan cukup puas melihat Lilya nyaman bersama ibu tirinya."Mommy kamu orangnya baik banget, ya?" Lilya membuka percakapan begitu keduanya sampai rumah."Kamu suka padanya?" tanya Evan, sembari melirik istrinya yang mengangguk-angguk penuh semangat."Entah kenapa dia kelihatan baik banget sama aku, padahal aku cuma——""Masih memikirkan soal kamu yang cuma anak angkat?" Evan mendengkus keras, dia berhenti dan menatap istrinya dengan serius. "Baginya, kamu adalah menantunya, salah satu anaknya juga. Jangan bicara seperti itu di depan Mommy, kalau nanti dia sakit hati, apa yang mau kamu lakukan?"Lilya menundukkan kepala. "Maaf!"
HARI demi hari berlalu, Lilya selalu menghabiskan waktu bersama mama mertuanya dan mulai belajar banyak hal soal memasak serta mengelola restoran. Nayla bahkan memuji Lilya yang begitu rajin belajar dan kerap membantunya jika pengunjung sedang ramai.Hadirnya Lilya banyak membantu Nayla dan Nayla membalasnya dengan memberi tahu Lilya beberapa rahasia kecil mengenai suaminya. Alhasil, Lilya sekarang tahu banyak, soal apa yang disuka dan tidak disukai Evan.Terutama tentang Evan yang aslinya suka makan, terutama makanan manis-manis dan hal itu membuat Lilya memandang mama mertuanya dengan tatapan tidak percaya."Mommy serius? Kak Evan di rumah jarang banget makan. Dia gila kerja, makan sampai lupa."Mendengar balasan menantunya membuat Nayla menghela napas kasar. "Pantas sekarang dia lebih kurus." Nayla menatap Lilya dengan wajah memohon. "Tolong, kamu ingatin Evan buat makan secara teratur, ya?
"BAGAIMANA kabar mereka?" tanya Evan yang duduk di hadapan Chris yang sedang memegangi tabletnya, siap membaca laporan yang ia dapatkan dari orang-orang suruhan Evan."Kedua orang tua angkat Lilya sepertinya pindah ke luar kota, sedangkan Kenanga tetap tinggal di sini." Chris menatap Evan serius. "Sepertinya, dia berencana mencari pekerjaan di sekitar sini, saya punya firasat kalau dia akan mengganggu rumah tangga Anda, Tuan."Evan menghela napas kasar. "Kamu bisa mengurusnya untukku, Chris?"Chris menganggukkan kepala. "Saya berpikir untuk sedikit bermain-main dengannya."Evan tersenyum tipis. "Lakukan sesukamu, jangan lupa kirimkan beberapa orang untuk mengawasi Kaisar dan Mawar di luar kota, jangan sampai mereka kembali dan mengusik Lilya."Chris mengangguk mengerti. Walaupun Evan sebenarnya sangat kejam, tapi pria itu masih punya sedikit hati nurani, terutama untuk sang ist