Susana rumah sore itu terasa mencekam bagi Hagan. Berjalan dengan langkah pelan dan hati-hati, laki-laki itu berharap semoga dirinya bisa lolos dari ini.
Ruang tamu aman. Hanya ada Nia yang menyambutnya di sana.
"Tuan, di ruang TV." Nia memberitahu dengan suara pelan.
Hagan menarik napas, membuangnya perlahan. Ia mengangguk lalu menuju ruangan yang Nia sebutkan tadi. Jantungnya mulai bertalu-talu. Perasaan cemas menyergap seketika. Tidak habis melakukan kejahatan, tetapi ia seolah akan menerima hukuman mati.
Semua ini bermula tadi pagi. Liara yang resmi ia persunting dua minggu lalu meminta izin untuk jalan-jalan sendirian. Kebetulan, perempuan itu sudah mahir mengendarai motor. Hagan mengizinkan.
Tanpa Liara ketahui, Hagan mengirim dua pengawal. Mengikuti Liara dan menjaga perempuan itu dari jauh. Sialnya, pengawal yang Hagan suruh terlalu ceroboh. Mungkin, karena takut melakukan kesalahan dan mendapat hukuman, mereka
Liara tidak sengaja terjaga saat melihat Hagan akhirnya masuk ke ruangan mereka. Entah siapa yang memberikan ide agar ia dan si lelaki disatukan seperti ini. Benar kata Max, seolah mereka punya ikatan batin yang kuat, hingga sakit saja harus bersamaan. Hagan berjalan tertatih, membuat Liara mau tak mau menatap pria itu agak lama. Di saat itu ia melihat luka memar di sekitar wajah suaminya. Tadi, Hagan diajak keluar oleh Red, 'kan? Apa dua saudara beda ibu itu bertengkar? Karena apa? Penasaran, tapi Liara ingat dirinya sedang marah. Berusaha tidak peduli, Liara spontan turun dari ranjang rawatnya demi mencegah Hagan yang terhuyung jatuh ke lantai. Menopang tubuh pria itu, Liara bisa merasakan suhu di sana sedikit lebih tinggi dari harusnya. Mereka berpandangan. Entah apa arti sorot mata pria di sampingnya, Liara mengabaikan itu dan mulai memapah. membantu Hagan hingga naik ke atas ranjang. Berdiri di sana, Liara be
Warn! 18+Mata Hagan melotot pada perempuan yang berlutut di depannya. Gegas lelaki bertubuh tinggi itu memundurkan langkah, menjauhkan asetnya dari wajah si perempuan. Lelaki itu hampir mati karena sebuah gigitan."Kau mau membunuhku?!"Bentakan itu dibalas cengiran kaku oleh si perempuan. Ia mengusap mulut. "Biar kucoba lagi. Aku ini berpengalaman. Tadi itu aku cuma sedang ... gugup?"Hagan berseringai. Mau coba menipuku sejauh apa lagi, pikirnya. Dilihat sekali saja, dari cara berjalannya di kelab tadi, perempuan itu sama sekali belum berpengalaman. Hagan bisa jamin."Dengar." Perempuan itu berdiri. Mengusap wajah frustrasi.Di tempatnya, Hagan menelan saliva, tetapi mata tak mau berhenti menelusuri tiap lekuk di sana. Di kamar ini, pendingin ruangan menyala di pengaturan paling rendah. Satu-satunya yang menjadi sumber panas adalah perempuan di hadapan."Aku jamin bisa membuatmu senang malam ini.
"Kita sudah sampai." Hagan berucap sedetik sebelum mobilnya berhenti di depan sebuah rumah megah.Di samping pria itu, Liara mendongak setelah beberapa saat lalu pandangan terpaku pada kartu identitas Hagan yang dipegang."Silakan turun, Nyonya Hagan Arsenio."Bibirnya menipis, tangan pria itu meremas jemari Liara. Senang? Mungkin bisa dibilang begitu. Kalau pun Hagan senang, itu wajar. Hari ini ia dan Liara resmi menjadi suami istri.Terlalu nekat? Menggebu-gebu? Sepertinya begitu. Sekarang saja, pikiran lelaki itu sudah berkelana jauh. Liara dalam balutan gaun sederhana berwarna putih itu benar-benar cantik di matanya."Kau serius dengan ini?" Dari kaca jendela, Liara menatap rumah megah di depannya. Empat pilar besar di bagian depan rumah itu tiba-tiba saja membuat nyalinya menciut.Kepala Hagan mengangguk satu kali. "Turunlah duluan, Pak Rayi," ucapnya pada si supir.Suara pintu ditutup te
Di ruang tamu, Liara menatapi dua asisten rumah tangga yang sedang menangis. Dua wanita berusia 30 tahun itu terancam di pecat.Bersandar di salah satu pilar, Liara menggigit ibu jari. Dirinya iba dan juga bingung. Pegawai Hagan itu terancam kehilangan pekerjaan karena dirinya.Tadi, Liara hanya ingin membantu dua wanita yang bertugas mencuci pakaian itu. Seprei yang ia dan suaminya pakai kemarin, Liara cuci sendiri. Belum sempat kain lebar itu keluar dari mesin, Hagan pulang."Apa yang kau lakukan di sini, Liara?" Pria itu bertanya dengan dua tangan bertumpu di pinggang. Menatap Liara seolah perempuan itu sedang melakukan sesuatu yang salah."Mencuci seprei," jawab Liara kala itu seraya menarik keluar seprei putih tadi. Di luar dugaan, benda itu diambil Hagan."Kalian kubayar untuk apa?!" Membentak, Hagan melempar kain tebal itu ke arah dua pegawainya. "Kalian berdua, tunggu aku di ruang tamu."Saat itula
"Pilih saja yang kau suka." Hagan memegangi dua bahu Liara dari belakang. Menghadapkan perempuan itu pada rak sepatu.Hari ini, sebagai suami yang baik, Hagan mengajak Liara pergi belanja. Kebetulan jadwal Hagan mengontrol toko-toko cake-nya sudah selesai sore tadi.Menatapi jejeran high heels cantik dan terlihat mahal itu sebentar, Liara menoleh ke belakang. Tepat di luar toko yang ia dan si lelaki datangi, berdiri lebih dari lima orang bertubuh tegap dengan seragam hitam.Mereka itu bodyguardnya Hagan. Liara baru tahu jika lelaki itu menggunakan jasa pengamanan jika akan keluar rumah."Kenapa kau berlebihan sekali? Haruskah mereka menjagamu? Kau ini siapa? Katamu kau itu hanya pemilik beberapa toko roti, kafe dan makanan pinggir jalan. Pengamananmu melebih pejabat negara." Liara menyuarakan rasa tidak nyamannya."Mereka di sana untuk menjagamu. Kalau kau hilang, aku yang susah." Hagan membalas dengan candaan. P
"Sebenarnya aku ini sepupunya Hagan."Sore itu, Max berhasil memanfaatkan kesempatan--Hagan pulang untuk berganti pakaian.Selama Liara dirawat, tiga hari penuh Hagan tak meninggalkan perempuan itu barang sedetik. Membuat Max kelimpungan untuk mencari celah demi bisa melampiaskan rasa penasaran."Sepupu?" Di atas ranjangnya, Liara mengernyitkan dahi. "Kata Hagan kalian kenalan." Ia juga ingat perjumpaan pertama dengan Max kemarin. Pria itu juga menyebut diri sebagai kenalan.Pria berambut abu-abu itu mengangguk. "Jadi, biarkan aku bertanya beberapa hal padamu."Max memulai. Pertama ia ingin memvalidasi bahwa benar Liara adalah istri Hagan. Si perempuan mengamini, Max terperangah."Kenapa bisa?" tanya pria itu dengan suara tidak santai.Mana bisa Max bersikap tenang. Selama yang ia kenal, Hagan bukanlah pria seperti pada umumnya. Maksudnya, lelaki itu norma
"Dari mana kau tahu Max sepupuku?" Pertanyaan itu terlontar saat Hagan sedang menyiapkan makan makan untuk Liara di meja."Dia yang memberitahu. Kenapa kau menyebut sepupumu kenalan? kau memang tidak ingin mengenalkan kerabatmu padaku?" Liara menatap senang pada hidangan di depan mata. Sesuai permintaannya, hari ini menu santapan sederhana, sup ikan dan telur dadar.Hagan meletakkan sendok. Ini sedikit rumit.""Tidak masalah jika tak ingin cerita," kata Liara sebelum mengunyah."Hubunganku dengan mereka, keluargaku, tidak begitu baik." Hagan memulai. Entah kenapa ia merasa bukan masalah untuk bercerita sedikit pada Liara.Si perempuan mengangguk. Menanti cerita selanjutnya."Satu-satunya yang dekat denganku adalah Max. Karena itu aku lebih suka menyebutnya kenalan."Ada kerutan samar di dahi Liara. Tidak paham."Terkadang, orang yang kita pikir bisa dipercaya, kerabat sendiri, ada
"Aku nyaris mati hanya karena kau salah paham? Bajingan, kau Hagan." Memegangi pipinya yang bengkak, di sofa ruang tamu, Max menatap si sepupu frustrasi.Tebakan Hagan salah. Max tidak bersekutu dengan Redrick. Setidaknya bukan sekarang. Pria itu bisa muncul bersamaan dengan Liara, karena mereka tak sengaja bertemu di jalan."Kau yakin tidak perlu dokter, Max?" Liara yang duduk di samping Hagan bertanya cemas."Aku dokter, Sayang." Ucapan barusan dihadiahi lemparan gunting oleh Hagan. Max kembali sibuk merawat lukanya sendiri dengan bantuan cermin."Salah siapa aku tidak bisa menghubungimu?" Hagan protes kala sikapnya barusan dilempari pelototan oleh Liara."Aku sudah bilang, baterai ponselku habis." Inilah sebab utama petaka malam ini.Liara pergi menemui adiknya. Karena itu tak ingin diantar supir, takut Tatiana curiga. Ia tidak bisa memberitahu Hagan akan pulang t