Laki-laki adalah makhluk terpintar saat merayu perempuan demi harta. Kami akan berusaha melalui jalan apa saja asal harta yang sudah berada di depan mata bisa berada dalam genggaman. Bahkan kami tidak perlu bahkan peduli dengan apa itu cinta. Minaki merona malu dan tersenyum bahagia saat aku menawarkan diri mencium pipinya. Jelas terpancar kebahagiaan itu dari tatapan matanya. "Boleh." Ucapnya lirih. Aku mendekatkan wajah ke pipinya yang putih halus dan wangi, lalu mengecupnya sekilas. Tidak masalah bagiku. "Terimakasih cantik." Bisikku. Aku memang perayu gila harta!!! Pintar sekali berakting di depan perempuan malang seperti Minaki demi meraih uangnya. Minaki mengangguk lalu mengusap lembut pipinya bekas ciumanku. "Aku sangat bahagia Jayka. Terimakasih banyak kamu mau belajar banyak demi aku." "Akan kulakukan apapun itu demi kamu." "Ini ciuman pipi pertama dalam hidupku Jayka." Aku terkekeh. "Aku bahagia karena menjadi yang pertama mencium pipi ranum ini." Ketika jarum
Begitu sampai di asrama setelah makan malam yang benar-benar malam dengan Minaki, kusembunyikan dengan cepat ransel berisi uang 120.000 Yen itu ke dalam lemari. Lalu kutumpuki dengan baju-baju agar lebih aman kemudian kukunci rapat. Aku kembali keluar kamar dengan cepat memakai sepatu. Saking tergesa-gesanya kakiku sampai sulit masuk. "Sialan!!" Andai ini bukan Jepang, aku pasti sudah berlari menggunakan sandal jepit keluar asrama. Tapi di musim gugur seperti ini, cuaca di Jepang mencapai 10 derajat. Sudah cukup dingin sekali bagi manusia tropis sepertiku. "Kemana Jak?" Tanya Rinto baru pulang entah dari mana. "Keluar bentar." Ucapku sambil memakai sepatu dengan benar. "Jam segini?" Aku mengangguk. "Aku berangkat." Jaket tebal yang kupakai cukup menghangatkan tubuh. Ditambah aktivitas berlarian menuju halte bis terakhir yang menuju Nichinan, tempat asrama Harumi berada. Kemarin aku sudah berjanji akan menemaninya di asrama namun aku lebih memilih menemani Minaki di resto
Sepulang dari pabrik, aku langsung mandi di asrama dan berganti pakaian. Malam ini tidak ada jadwal manggung karena belum jadwalku. Jadi aku berpakaian biasa saja menuju Yokoha Club. "Kemana lagi Jak?" Tanya Rinto begitu melihatku mengambil sepatu. "Setiap hari keluar terus. Nggak capek?" Nama asliku Jaka Prayoga, teman-teman TKI memanggilku Jaka. Sedang saat menjadi DJ aku memiliki nama panggung DJ Jayka. "Ke club Rin. Ada urusan bentar." "Aku heran deh Jak. Setiap hari kamu sibuuuk melulu. Biasanya kamu nggak serepot ini." Aku hanya tersenyum. "Nanti aku traktir kalau gaji DJ-ku udah keluar." "Naaah gitu dong." Jika sudah berhubungan dengan makanan atau traktir mentraktir, sesi interogasi Rinto pasti akan berakhir dengan sendirinya. Aku tidak mau teman-teman asrama sesama TKI tahu profesi baruku sebagai surrogate partner Minaki. Bagaimana pun juga, hal itu masih belum terlalu diterima dengan baik oleh lingkungan Jepang meski yayasan Blue Hands telah berdiri sejak tujuh t
Aku mengajak Matshusima pergi ke Fukuoka, salah satu kota besar yang ada di Jepang. Bersebelahan dengan prefektur Miyazaki, tempatku bekerja sebagai TKI. Kebetulan sekarang hari minggu, pabrik sedang libur. Ini kesempatan bagiku untuk segera mengirim uang 120.000 Yen itu pada bapak di Indonesia. Di Fukuoka, ada sebuah bank yang menawarkan jasa penukaran mata uang dan melayani pengiriman uang ke luar negeri. Berhubung nominal yang harus kutransfer sangat banyak, jadi aku mengunjungi bank ini. Namanya Travelout Japan. Jarak Kiyotake menuju Fukuoka yang lumayan jauh, jadi kami menaiki bis tujuan Stasiun Besar Shin-Yatsushiro yang menghubungkan prefektur Miyazaki dan Fukuoka. Lalu menaiki Kyusu Shinkansen Sakura 550 Sakura Shin-Osaka. Total lama perjalanan darat menggunakan transportasi umum mencapai 4,5 jam. Sebenarnya Matshusima enggan kuajak ke Fukuoka, mengingat semalam dia baru saja berolahraga malam dengan gadis belianya hingga menjelang pagi. Matshusima sinting! Aku tetap
Aku turun dari bis lalu menuju lobby hotel dengan mengeratkan jaket tebal yang membalut tubuh gagahku. Suhu sedang sangat dingin malam ini karena berada di angka 8 derajat. Itu artinya musim gugur akan segera berakhir dan berpindah ke musim dingin. Sama seperti perjalanan hidupku, yang sebentar lagi akan memasuki babak baru dengan profesi sampingan baru pula. Hotel yang dipesan Minaki adalah hotel berbintang empat dengan lapis kenyamanan dan keamanan yang terjaga. "Silahkan, tuan. Mari ikuti saya." Aku mengikuti petugas hotel. Setelah aku masuk lift sendirian, penjaga menekan angka lantai tujuanku dan mengangguk sopan. "Selamat menikmati malam terbaik anda di hotel kami." Aku sedikit ambigu dengan ucapannya. "Malam terbaik?" Aku mengangkat kedua alis lalu menggeleng. "Dia pikir aku mau begituan?" Setelah pintu lift terbuka, aku melangkah menuju kamar 2502 yang berada di dekat lift. Mengetuk pintunya perlahan, lalu menampilkan Minaki yang lain dari biasanya. Duduk di atas
Banyak yang berucap janji setia namun akhirnya dikhianati, sama sepertiku yang mengkhianati Harumi demi uang Minaki. Lalu mengenai pertanyaan Minaki barusan, aku tidak bisa menjawabnya lagi. Hanya pelukan erat yang bisa kuberikan saat Minaki masih menangis meratapi kesedihannya. Tubuh kurusnya yang berada dalam pelukanku ini cukup memberitahu bahwa sang pemilik raga terlalu larut dalam kesedihan. Hingga tubuhnya kering kurang berisi. Bisa jadi Minaki mengalami stres yang tidak berkesudahan. "Semua orang juga bilang begitu Jayka. Tapi nyatanya itu tidak akan merubah masa depanku jadi lebih baik." Isaknya dalam. "Aku tidak bisa membanggakan siapapun dengan keterbatasan ini. Malah aku membebani keluarga." Imbuhnya. "Itu tidak benar Minaki. Kalau kamu adalah beban mana mungkin orang tuamu datang padaku dengan bersimbah air mata? Membujukku untuk menjadi partnermu." Ia menggeleng lalu tangisnya berubah menjadi isakan. Syukurlah itu artinya Minaki mulai bisa dikendalikan. Buku meng
Aku masih mendekap tubuh ringkih Minaki yang tertidur dengan bersandar di dadaku. Sudah satu jam ia tertidur dengan nyenyak. Wajahnya terlihat begitu damai. Namun aku mulai bergerak tidak nyaman saat kakiku terasa kesemutan. Mau tidak mau aku memindahkan tubuh Minaki perlahan lalu kubaringkan di atas ranjang atau kakiku akan mati rasa. Setelah berhasil memindahkannya dengan baik, aku meregangkan tubuh perlahan tanpa bersuara. Memijat kaki agar kesemutan ini mereda. "Melelahkan sekali mengurusi perempuan baper seperti Minaki. Pakai drama ngantuk segala." Tiba tiba saja jiwa sinisku terhadap Minaki keluar karena tidak sengaja melihat kedua kakinya yang mengecil. "Ck....ganggu pemandangan." Aku beranjak menarik selimut dan menutup kakinya asal. Kuambil ponsel yang bergetar di dalam saku. Begitu melihat nama pengirim pesan itu senyumku mengembang. 'Harumi.' Sambil duduk santai di sofa, aku membalas pesan romantis untuk kekasihku itu. Harumi Cintaku Besok
Setelah keluar dari gerbang pabrik, aku berlari menuju bis yang hampir berjalan. Mengetuk keras pintunya agar dibukakan kembali. Aku menunduk dan mengucapkan terima kasih pada sopir baik hati itu. Pabrik agak ramai karena pesanan meningkat. Walhasil aku pulang setengah jam lebih lama. Tapi itu sama saja dengan menabuh genderang perang dengan Matsushima. Karena aku akan terlambat sampai di club. Jika aku terlambat maka pengunjung akan terlantar tanpa musik RnB andalan Yokoha Club. Matsushima tidak mau itu terjadi karena club itu adalah tanggung jawab besarnya. Juga mata pencaharian satu satunya. Secepat kilat aku mandi dan memakai baju terbaik. Memasukkan make up maskulinku ke dalam tas dan pergi lagi menuju Yokoha Club menggunakan bis. Aku menepuk jidat karena terlambat lima belas menit. Dengan nafas ngos-ngosan aku segera menekan tombol absen. "Sial!! Aku telat." Aku segera menaiki panggung, menghidupkan DJ Player dan mengatur segala sesuatunya. Lalu mengeluarkan flashdisk