Share

Lelaki Berengsek Yang Ternyata Ku Cinta
Lelaki Berengsek Yang Ternyata Ku Cinta
Author: Diny Nia

Bab 1 Di Paksa Jadi Kekasih

Melody Cinta, gadis berusia dua puluh tahun yang masih berstatus mahasiswi semester enam di sebuah perguruan tinggi swasta terkemuka di kotanya. Terbiasa di manja dan di sayang karena merupakan anak tunggal.

Seperti pagi ini, jam dinding sudah menunjuk angka hampir delapan nol-nol, namun dia masih bergelung malas berteman mimpi. Tiba-tiba matanya terpaksa mengerjap silau ketika seseorang membuka tirai jendela kamar tanpa aba-aba atau dengan permisi sebelumnya.

“Pagi sayang, ayo segera bangun dan segera mandi,” suara lembut itu mengusik mata sipitnya untuk berusaha keras mengerjap lagi supaya indera penglihatannya itu bisa terbuka lebar.

“Ini kan hari minggu, Ma. Mel pengin bangun siang dong sekali-sekali,” suara serak khas pagi hari itu menjawab sapaan sayang mamanya yang tengah mengusap lembut pipi mulusnya bersamaan dengan terjatuhnya kembali kepala mungil itu di bantal dengan mata kembali terpejam.

Meira, mama Melody hanya tersenyum mendengar suara putri manjanya yang menawar ingin bangun siang. Di tatapnya wajah putih nan cantik dengan mata yang terpejam itu. Wajah oriental khas Manado yang sebenarnya justru lebih mirip wajah-wajah cantik artis Korea pemeran drakor yang sering Meira pantengin di waktu senggangnya.

“Sayang, kan semalam kamu udah di bilangin kalau hari ini bakalan ada tamu sahabat mama dan papa yang mau datang ke rumah,” Meira tetap berusaha membangunkan putrinya dengan penuh kelembutan.

Melody putri tunggalnya, meskipun tidak semanja putri-putri tunggal pada umumnya, dalam prosentase kecil tetap saja sifat itu ada pada diri gadis cantiknya. Apalagi ketika situasi dan cuaca mendukung seperti hari ini. Hari minggu yang identik dengan hari istirahat dan bermalas-malasan.

Mendengar penjelasan mamanya, gadis itu kembali berusaha membuka mata. Benar, dia ingat betul pesan mama dan papa tadi malam. Hari minggu ini, dia harus bangun pagi, harus rapi, dandan cantik mengesankan karena sahabat kedua orang tuanya akan bertandang ke rumah, reuni kecil-kecilan sekaligus mengenalkan putra mereka pada Melody.

Ah … mengingat hal itu mata yang sudah terbuka kembali meredup. Betapa malasnya dia melakukan itu semua. Tapi apalah dayanya, jika mama yang meminta mungkin masih bisa dia tundukkan hatinya, tapi kalau papa yang berkehendak hanya Tuhan yang bisa menolak dan menghentikannya.

“Ma, Mel males banget. Buat apa sih di kenal-kenalin gitu, pasti ujung-ujungnya di jodoh-jodohin kayak Siti Nurbaya dan Datuk Maringgih,” kedumel Melody dengan mata yang baru terbuka sekian inchi.

“Datuk Maringgih yang ini muda dan ganteng, ayo bangun atau harus papa siram kamu pake air es seember,” tiba-tiba suara tegas itu terdengar begitu mengintimidasi di kamar Melody.

Entah kapan pria tampan bernama Fendy dan berusia 44 tahun itu ikut masuk ke kamar putri semata wayangnya.

Meira mendongak menatap suaminya sambil menahan senyum. Sedangkan Melody sudah langsung terduduk dengan mata terbuka lebar.

“Mel nggak enak badan, Pa,” alasan tak masuk akal keluar dari bibir Melody.

“Mau kamu nggak enak badan, nggak enak hati, nggak enak makan, intinya segera bangun, segera mandi dan rapikan diri buat nemuin Datuk Maringgih cakep. Jangan sampai kamu keluar menemui mereka dengan nggak enak bau badan,” hardik papa yang sesungguhnya bikin Melody pengin ketawa, tapi nyatanya rasa segan dan takutnya pada papa lebih mendominasi hingga membuatnya beranjak malas-malasan menuju kamar mandi yang kebetulan satu ruang dengan kamar tidurnya.

“Papa itu sebenarnya papa aku atau komandan militer, sih, bikin ngeri kalau ngeluarin suara,” keluh Melody pelan namun masih terdengar oleh kedua orang tuanya yang kali ini membuat mereka hampir saja menyemburkan suara tawa. Apalagi Meira yang sejak tadi sudah merasakan mulas di perutnya akibat menahan tawa mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir suaminya.

Begitu terdengar suara gemericik air shower dari kamar mandi Melody, Meira segera menarik tangan suaminya keluar kamar.

“Jangan lama-lama show di kamar mandi, Mel. Tamu bakal datang tiga puluh menit lagi,” teriak Fendy sebelum beranjak mengikuti istrinya yang menyeret tangannya dengan penuh paksaan.

“Bodoh amat,” kedumel Melody tanpa menjawab teriakan papa yang terdengar cukup lantang bagai komandan upacara di lapangan istana merdeka.

***

Dua puluh lima menit kemudian.

Melody duduk santai di ruang keluarga depan televisi melihat tingkah lucu Doraemon dan Nobita. Di tangannya tergenggam segelas susu cokelat yang tadi belum sempat dia habiskan pada saat sarapan pagi. Bukan penampilan cantik seperti harapan orang tua yang dia tampilkan sekarang, tapi penampilan sangat kasual dengan hanya menggunakan baby doll lucu bergambar Mickey Mouse.

Tiba-tiba bel pintu berbunyi. Menyeret langkahnya penuh malas Melody berjalan menuju pintu karena dia ingat betul Bi Iyah barusan pamit ke pasar mau belanja. Langkah Melody belum mencapai pintu ketika bel berhenti berdering, saat suara bel kedua menyambung, tangan Melody sudah bersiap memutar kunci dan menarik handle pintu, namun sebuah hentakan mengejutkan menghentikan gerakan tangannya. Dengan linglung gadis itu merasa terseret menjauhi pintu rumah hingga akhirnya jalan terseok-seok mengikuti langkah kaki panjang papa yang memegang erat pergelangan tangannya setengah menarik paksa.

“Papa tunggu sepuluh menit, kamu harus sudah keluar dengan baju dan dandanan yang pantas untuk menemui tamu,” hardik papa begitu Melody berhasil di masukkan kembali ke dalam kamarnya.

Tanpa menjawab, hanya dengan bersungut manyun Melody segera menuju ke almari pakaiannya. Sesekali menoleh ke arah pintu tempat papa berdiri bersedekap bak mandor pabrik mengawasi pekerjanya.

Tanpa fikir panjang Melody menarik sebuah dress pendek selutut berwarna coklat muda. Dia sama sekali nggak berselera mematut diri sehingga terlihat lebih cantik.

“Papa,” panggil Melody singkat menyadarkan penjaga pintunya.

“Ngapain panggil-panggil, buruan ganti baju. Udah berkurang empat menit ini waktunya,” sahut Fendy dengan tampang garang ke arah putrinya yang dia rasa lelet hanya untuk sekedar berganti baju.

“Lah, papa mau tetap di situ liatin Mel ganti baju? Umur Mel udah 20 tahun, pa, malu dong di liatin papa meskipun aslinya aku jago malu-maluin.”

Fendy terpaksa mengulum senyum mendengar seloroh putrinya, kemudian keluar dan menutup pintu kamar Melody. Waktu sepuluh menit yang di berikan benar di hitung dengan seksama. Lima menit kemudian Fendy sudah mengetuk pintu, beberapa saat di ketuk tapi tak ada sahutan. Takut anaknya kabur lewat lubang angin-angin, pintu segera dia buka paksa tanpa permisi. Kepala lelaki itu segera mundur dengan mimik terkejut. Sesosok barbie dewasa dengan wajah cantiknya tengah berdiri tegak tepat di depannya. Barbie berbaju dress warna coklat muda model sederhana kekinian yang panjangnya sedikit di atas lutut. Seraut wajah cantik berbalut bedak tipis, bibir mungil yang hanya di pulas lipgloss natural plus rambut sebahu lurus dengan warna kecoklatan berponi pendek menghias manis wajah berbentuk oval cantik proporsional. Mau tak mau si papa harus memuji kalau gadis tunggalnya ini sangat cantik.

“Jangan terpesona jangan sombong, putri papa ini emang cantik dari lahir,” cibir Melody menggoda papanya, membuat lelaki itu tertawa kemudian mengusap sayang kepala gadis kesayangannya.

“Ayo bersiap ketemu Datuk Maringgih, papa nggak sabar pengin punya cucu sebelas,” balas papa menggoda membuat Melody kembali mendelik gemas.

“Emang ketemu aja udah bisa menghasilkan cucu sebelas?” omel Melody sambil berjalan.

“Ya bisa aja, asal ketemunya di atas tempat tidur atas ijin Allah setelah di sahkan oleh penghulu.”

“Papa mesummmmm …” teriak Melody sambil mencubit lengan papanya yang tertawa terbahak-bahak.

“Biar kamu sadar, Nak. Usia kamu udah mulai dewasa sedangkan mama sama papa udah semakin tua.”

Mendengar itu Melody segera menggelayut manja di lengan papa, semenjengkelkan apapun papa, beliau adalah kesayangan dan cinta pertama baginya.

“Jangan tua dulu, pa, tunggu Melody bisa ngasih cucu sejumlah sebelas.”

Papa hanya menoleh sambil tersenyum menatap wajah cantik putrinya.

Di ruang tamu, nampak Meira sedang berbincang akrab dengan tamu mereka. Seorang perempuan cantik sepantaran mama Melody dengan dua lelaki yang duduk memunggungi arah Melody dan Fendy yang baru datang bergabung sehingga tak bisa langsung melihat rupa mereka.

“Selamat pagi semua, maaf baru bergabung karena harus nungguin si putri cantik bingung nyari baju yang cocok buat ketemu tamunya,” basa basi Fendy menyapa semua penghuni ruang tamu yang membuat perut Melody mual seketika mendengar bualan receh itu. Milih baju apaan? orang tadi cuma asal tarik saja dari gantungan baju di almari, dumel batin Melody.

“Wah, hebat ya, bukan mama yang nemenin putri dandan, tapi justru papanya,” komentar Tante Nela, tamu hari itu yang merupakan sahabat orang tua Melody semasa sekolah dulu.

“Mbak Nela masih inget kan, Mas Fendy ini cerewet banget soal penampilan, jadinya tadi aku persilahkan aja dia yang nemenin putrinya berdandan biar bisa tampil oke,” tambah Meira yang bikin Melody semakin mual.

“Iya nggak salah, kok, ini siapa namanya, Melody, ya? cantik banget, gaya penampilannya. Ayo Alfa segera kenalin putri dari sahabat mama dan papa ini,” ujar Tante Nela sambil menepuk bahu putranya yang sejak tadi hanya cuek memainkan handphone, padahal Rudi -papanya- sudah berdiri sejak tadi dan berbagi pelukan sahabat dengan papa Melody.

Cowok itu memasukkan handphone ke saku bajunya, kemudian berdiri dan menghadap ke arah Melody.

Jeder! jantung Melody berdegup kencang sangking terkejutnya seolah mendengar petir menggelegar di siang bolong demi melihat cowok yang kini berdiri di depannya.

“Nggak salah tante? ini putranya tante beneran?” seloroh Melody spontan. Tante Nela tersenyum, mengira Melody langsung jatuh cinta pada pandangan pertama kepada putra sulungnya itu.

“Iya Mel, ini putra tante, ganteng kan? cocok sama kamu yang cantik ini.”

Alfa, si cowok itu, hanya mengernyit dan memainkan alisnya. Dia pun tak menyangka jika anak gadis teman orang tuanya adalah Melody.

“Iya emang ganteng, Tante, tapi dingin kayak es batu,” celetuk Melody yang membuat Meira segera menutup mulutnya karena shock dengan komentar ceplas ceplos putrinya. Untungnya Nela dan Rudi justru tertawa menanggapi celetuk polos barusan.

“Ah iya, Alfa emang begitu, Mel. Nanti bantu tante untuk menghangatkan hatinya. Tante suka sama kamu, semoga segera sah jadi menantu.”

Uhuk, Melody terbatuk karena terkejut, tak menyangka sahabat orang tuanya ini sama selebornya dengan papa dan mamanya.

“Alfa kok diem aja, sih, segera kenalan dong,” perintah Rudi yang melihat putranya semenjak tadi hanya berdiri diam tanpa ekspresi.

“Udah kenal, Pa.”

“Udah kenal, Om.”

Alfa dan Melody bersuara hampir bersamaan.

“Wow, mulus dong jalannya kalau udah saling kenal,” tepuk riuh Fendy yang kesenengan.

“Bukan mulus, Pa, tapi males ketemu dia yang jutek dan selalu bikin Melody kesel harus bersaing dan kalah nilai terus di kelas kuliah.”

“Wah … jadi kalian sekelas di kampus?  bravo, dunia emang selebar daun bayam,” seloroh Tante Nela.

“Daun kelor, Mbak Nela,” koreksi Meira yang membuat para orang tua tertawa namun tidak begitu dengan putra putri mereka.

“Itu karena elo dodol makanya nggak pernah bisa ngalahin gue,” cetus Alfa masih tanpa ekspresi.

“Elo yang curang dan sok cool karena suka deketin dosen-dosen cewek yang genit-genit itu,” balas Melody.

“Bukan gue yang deketin, tapi mereka yang suka deketin gue.”

“Stop-stop, Melody, Alfa, pokoknya karena kalian sudah saling kenal jadi tinggal di sahkan saja. Hari ini, detik ini, dengan di saksikan bumi langit dan kita semua yang disini kalian sah menjadi sepasang kekasih, titik,” Fendy bak wasit menghentikan perdebatan dua anak muda itu.

“Gue nggak mau,” tolak Melody to the point. Namun kebalikannya, suara Alfa tak terdengar saat ini.

“Heh, elo, juga nggak mau kan?” tanya Melody memastikan jawaban Alfa. Empat pasang mata orang tua dengan tatapan awas melihat ke arah Alfa.

“Gue anak yang berbakti pada orang tua, elo harus nerima gue sebagai kekasih elo karena gue nggak bisa nolak keinginan mereka,” jawab Alfa dengan nada datar bikin kepala Melody tiba-tiba terasa berat dan mata berkunang-kunang.

“Yess,” masih terdengar suara-suara itu sebelum Melody menutup matanya dengan badan lemas kemudian ambruk dan entah siapa yang menahan dan menangkap tubuhnya. Pingsan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status