Aku memarkirkan taksiku di parkiran khusus rumah sakit. Rumah sakit Citra Medika, rumah sakit bersalin terbaik di kota ini. Aku tidak tahu kenapa aku membuntuti mobil mereka hingga sampai di sini.
Perlu waktu yang lama untukku menimbang dan memutuskan untuk turun atau pulang. Aku merasa aku tak punya hak untuk datang ke sini. Tapi di sini lain, hati kecil ini begitu ingin menemuinya di saat-saat seperti ini.Dengan langkah gontai aku masuk kedalam rumah sakit, menanyakan ruangan Indah pada resepsionis. Setelah mendapatkan informasi aku langsung menuju ke tempat yang di beritahukan padaku.Setelah melewati 2 kali belokan dan lorong panjang, akhirnya kau sampai di tempat yang di tunjukan perawat tadi. Dari kejauhan aku melihat Arman dan Nina yang menunggu di depan ruangan. Mata Arman menatap kedatanganku dengan nanar. Ku kuatkan tekad untuk melangkah. Apapun yang terjadi, aku hanya ingin meliat Indah dan bayinya baik-baik saja. Lalu pergi.Perutku mulai terasa pedih, apa lagi efek obat bius yang mulai menghilang. Aku meringis menahan sakit saat jempol ini bergeser saja sakitnya sudah terasa sampai keubun-ubun. Dengan lembut Mas Arman memperbaiki letak bantal yang ada di punggungku. Tiba-tiba bayi yang ada di dalam box menangis kencang. Lengkingannya memekak telinga, Mas Arman meraih bayinya. Mencoba menenangkan.Aku merentangkan tanganku menyambutnya. "Sini, Mas! Mungkin dia haus, aku akan menyusuinya,""Apa kamu baik-baik saja, sayang. Perutnya masih nyeri?" tanyanya khawatir."Gak apa-apa, Mas. Mungkin dengan menyusuinya rasa nyeriku dapat sedikit berkurang. Kasihan dia, pasti sudah lapar," Ragu-ragu Mas Arman menghampiriku, Lalu menyerahkan bayi merah yang sedang menangis itu. Setelah terlebih dahulu mencium pipi anaknya dengan sayang.Aku mengambil alih bayi mungil itu, memasukkan puting susuku ke dalam mulut kecilnya. Mas Arman beralih duduk di seb
pov. NinaAku menatap kebahagiaan dua anak manusia dari balik jendela. Awalnya aku ingin masuk, tapi melihat kebahagian dan keromantisan mereka berdua membuatku mengurungkan niat.Dari balik jendela ini aku melihat gurat-gurat bahagia itu begitu terpancar dari wajah Arman. Tentu saja ia bahagia, penantian panjangnya akan cinta Indah membuahkan hasil serta hadirnya seorang putra diantara mereka. Arman mengecup kening Indah lembut, penuh sayang.Membuat rasa iri ini kembali hadir di kalbu. Andai aku juga bisa seperti itu bersama Mas Rio. Namun sayangnya hanya bisa berandai, karena kenyatannya kini. Suamiku sedang berbahagia bersama istri mudanya. Tak kuat melihat kemesraan yang di tunjukkan mereka berdua, aku memilih pergi. Mungkin aku akan menemui Indah dan bayinya besok saja, setelah hati ini sudah mulai tenang.Jam batu menunjukkan jam sepuluh malam. Namun, lorong rumah sakit ini tampak begitu lenggang, bukan berarti tak ada orang
"Tidak! Aku tidak mau dimadu, Mas!" teriakku lantang pada lelaki yang bergelar suami itu. Kutekan dada ini yang terasa begitu sakit, sambil mengendong buah hati kami yang baru berumur satu bulan. Dengan air mata yang jatuh bergulir dengan sendirinya.Yah ... baru satu bulan yang lalu aku merasakan dinginnya meja operasi, bertaruh nyawa untuk menghadirkan buah cinta yang hampir selama satu tahun kami dambakan. Namun kenyataanya ... apa yang kudapatkan? Bukannya ucapan terima kasih yang kudapat, melainkan rasa sakit hati. Aku tatap perempuan yang berdiri di luar kamarku itu dengan rasa benci. Perempuan itu ... perempuan yang Mas Dito perkenalkan sebagai calon istri keduanya."Keputusanku sudah bulat, Indah! Aku akan menikah dengan Retno," ujar Mas Dito tegas. Membuat batin ini semakin meringis sakit."Kamu tega sama aku, Mas? Aku baru saja melahirkan anak kita, bahkan luka bekas operasiku saja belum mengering, tapi kamu ... kamu sudah membawa perempuan lain ke rumah ini sebagai maduku!
"Apa-apaan ini?" tiba-tiba terdengar suara Ibu. Membuat aku dan Mas Dito terkejut, aku menoleh ke arah malaikat pelindungku itu. Entah sejak kapan, wanita yang telah melahirkanku itu, sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah terkejut. Apa Ibu sudah mendengar semuanya?"Oh ... Ibu sudah pulang dari pasar? Bagus kalau gitu, jadi ... Ibu bisa jadi saksi di sini!" ujar Mas Dito seakan tak berdosa. Entah terbuat dari apa hati pria yang kupilih sebagai imamku ini."Saksi? Saksi bahwa kamu telah menceraikan putriku? Tega sekali kamu Dito! Apa kesalahan Indah, sehingga kamu menceraikannya? Apalagi disaat bayi kalian baru saja lahir?" tanya Ibu dengan suara lantang dan keras.Deghh!Aku sedikit terkejut mendengar suara Ibu yang begitu lantang. Selama menjadi anaknya, baru kali ini aku mendengar Ibu berbicara dengan nada tinggi seperti itu."Putri Ibu itu tidak becus menjadi seorang Istri! Dia tidak bisa memberikan aku anak laki-laki. Dan sekarang ia justru tidak dapat mengandung lagi, jadi a
Sudah seminggu waktu berlalu sejak pertengkaranku dan mas Dito. Tidak ada sekalipun ia menghubungiku, walau hanya untuk sekedar bertanya tentang putrinya ini. Walau kami sudah bukan suami istri lagi, tapi anak ini tetaplah anaknya, apa sebagai seorang Ayah, tidak adakah rindunya sedikitpun pada Putri kecilnya ini?Akan tetapi, apa yang bisa aku harapkan dari lelaki yang tak punya hati sepertinya. Setelah menyusui putriku hingga ia terlelap, aku memilih duduk di teras, menghirup udara untuk menata hatiku yang masih hancur remuk ini. Sedangkan Ibu pergi ke rumah tetangga, membantu masak untuk pengajian malam jum'at nanti. Hal itu biasa diadakan di kampungku ini. Para Ibu-Ibu bergantian membantu masak di rumah yang mendapat jatah giliran, membuat acara doa wirid untuk bapak-bapak yang diselenggarakan pada malam harinya.Saat sedang memikirkan kelanjutan hidupku dan putriku saat ini, tiba-tiba sebuah motor masuk kedalam pekarangan rumah ini. Aku mengerutkan kening melihat kedatangan per
"Keputusanku sudah bulat Mbak, aku lebih baik menjanda asal batinku tenang, dari pada hidup dimadu!"Mbak Rini menatapku dengan seringai kecut, seolah mengejekku. Kutarik lagi napas ini dan menghembusnya secara perlahan. Berusaha untuk tenang dan berpikir jernih."Yakin batinmu akan tenang, jika untuk makan saja kamu susah? Seharusnya kamu itu sadar, Indah! Kamu itu sekarang mandul, mana ada lelaki yang mau dengan janda satu anak tapi tidak bisa memberikan mereka anak lagi. Ya ... walau kuakui kamu cantik, tapi cantikmu itu tidak ada gunanya. Jika kamu tidak bisa memberikan mereka anak, ibaratnya kamu itu ladang yang gersang," ucap Mbak Rini menghinaku. Mulutnya seakan tak di filter oleh otaknya terlebih dahulu. Menambah luka di hati ini."Biarlah itu menjadi urusanku nantinya, Mbak! Mbak gak usah khawatir tentang nasibku kedepannya. Lebih baik Mbak urus saja hidup Mbak! Semoga Mbak tidak bernasib lebih buruk dari pada diriku saat ini," ucapku. Dada ini sudah naik turun sebenarnya, t
🍁🍁🍁🍁🍁Two Month later🍀🍀🍀"Nduk, sini, biar Ibu saja yang bereskan jualanmu, kamu Istirahat sana!" perintah Ibuku. Ia baru saja datang menghampiriku, saat para pembeli sudah pada mulai pergi dan hanya tersisa aku di sini dengan perkakas jualan yang kotor. Sudah hampir dua minggu ini aku berjualan nasi uduk, gado-gado serta gorengan dan membuat pondok kecil di depan rumah Ibu. Semenjak resmi bercerai dari mas Dito, aku harus berjuang sendiri mencari nafkah untuk anakku. Karena aku hanya bisa masak, jadi kuputuskan berjualan sarapan pagi di kampung ini. Berbekal uang yang kupinjam dari Ibu sebagai modal awal jualanku.Alhamdulillah tuhan merestui langkahku, memberikanku kemudahan dalam mencari rezeki untuk buah hatiku."Ndak usah, Bu. Biar Indah saja yang bereskan semua ini, Ibu pasti sudah capek ngasuh Naira dari tadi. Maaf ya, Bu. Jika Indah merepotkan Ibu terus," ucapku sambil membereskan jualanku siang ini. Mata ini rasanya mulai memanas, andai tidak kutahan, mungkin sud
"Apa kabar, Indah? Gimana keadaanmu sekarang?" ujar Mas Dito berbasa-basi di hadapanku. Ia memindai penampilanku dari atas ke bawah, dengan senyum mengejek. Kuakui tampilanku saat ini begitu lecek dan dekil, dengan rambut yang dijepit keatas persis seperti pembantu. Berbeda jauh dengan istrinya saat ini yang memakai pakaian bagus, bersih, dengan perhiasan yang lengkap di tubuhnya, membuat dandanannya tampak begitu cetar dan glowing.Bak langit dan bumi denganku saat ini. Sebenarnya ada sedikit rasa iri di hati ini, tapi sebisa mungkin kutekan ekspresiku, agar tampak biasa saja di hadapan mereka."Seperti yang kamu lihat saat ini, Mas. Sangat baik!" jawabku santai. Mata ini menangkap ada yang berbeda dari penampilan wanita di sebelah mantan suamiku itu. Tubuhnya yang jauh lebih berisi dari terakhir aku bertemu dengannya, serta perut yang membukit tampak seperti sedang mengandung lima bulan.Hal itu membuatku tersentak kaget, bukankah mereka menikah baru dua bulan yang lalu?Astagfirul