🍁🍁🍁🍁🍁Two Month later🍀🍀🍀"Nduk, sini, biar Ibu saja yang bereskan jualanmu, kamu Istirahat sana!" perintah Ibuku. Ia baru saja datang menghampiriku, saat para pembeli sudah pada mulai pergi dan hanya tersisa aku di sini dengan perkakas jualan yang kotor. Sudah hampir dua minggu ini aku berjualan nasi uduk, gado-gado serta gorengan dan membuat pondok kecil di depan rumah Ibu. Semenjak resmi bercerai dari mas Dito, aku harus berjuang sendiri mencari nafkah untuk anakku. Karena aku hanya bisa masak, jadi kuputuskan berjualan sarapan pagi di kampung ini. Berbekal uang yang kupinjam dari Ibu sebagai modal awal jualanku.Alhamdulillah tuhan merestui langkahku, memberikanku kemudahan dalam mencari rezeki untuk buah hatiku."Ndak usah, Bu. Biar Indah saja yang bereskan semua ini, Ibu pasti sudah capek ngasuh Naira dari tadi. Maaf ya, Bu. Jika Indah merepotkan Ibu terus," ucapku sambil membereskan jualanku siang ini. Mata ini rasanya mulai memanas, andai tidak kutahan, mungkin sud
"Apa kabar, Indah? Gimana keadaanmu sekarang?" ujar Mas Dito berbasa-basi di hadapanku. Ia memindai penampilanku dari atas ke bawah, dengan senyum mengejek. Kuakui tampilanku saat ini begitu lecek dan dekil, dengan rambut yang dijepit keatas persis seperti pembantu. Berbeda jauh dengan istrinya saat ini yang memakai pakaian bagus, bersih, dengan perhiasan yang lengkap di tubuhnya, membuat dandanannya tampak begitu cetar dan glowing.Bak langit dan bumi denganku saat ini. Sebenarnya ada sedikit rasa iri di hati ini, tapi sebisa mungkin kutekan ekspresiku, agar tampak biasa saja di hadapan mereka."Seperti yang kamu lihat saat ini, Mas. Sangat baik!" jawabku santai. Mata ini menangkap ada yang berbeda dari penampilan wanita di sebelah mantan suamiku itu. Tubuhnya yang jauh lebih berisi dari terakhir aku bertemu dengannya, serta perut yang membukit tampak seperti sedang mengandung lima bulan.Hal itu membuatku tersentak kaget, bukankah mereka menikah baru dua bulan yang lalu?Astagfirul
"Mas, mantan istrimu itu benar-benar kurang ajar! Berani-beraninya dia menghinaku di depan orang banyak. Pokoknya kamu harus kasih mantan istrimu itu perhitungan, Mas!" oceh Retno penuh emosi.Kami sudah sampai di rumah beberapa menit yang lalu, tapi Retno masih saja mengoceh tentang apa yang terjadi di pasar tadi. Membuat kepalaku menjadi pusing saja."Sudahlah, gak usah dipikirkan lagi, manusia tak penting itu! Ingat, kamu itu sedang hamil, jadi jaga sedikit emosimu!" jawabku padanya."Tapi Mas ...""Tak ada tapi ... tapian, Retno! Cepat masuk kamar, istirahat! Aku gak mau terjadi apa-apa sama anakku yang ada di kandunganmu," perintahku tegas. Dengan langkah kasar, Retno masuk kedalam kamar kami. Retno Dwi Astuti adalah wanita yang aku temui saat pesta perayaan perusahaan. Untuk merayakan keberhasilan kami yang telah berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan tender besar. Itu sebabnya kami merayakannya di tempat karaoke dengan memesan beberapa LC.Di sanalah aku bertemu dengan
"Nak, Indah gado-gadonya masih ada? Ibu pesan gado-gadonya dua, dibungkus, ya! Dan jangan terlalu pedas, juga!" ujar Bu'de Narmi, tetanggaku yang rumahnya berada di ujung gang sana."Masih, Bu, tunggu sebentar Indah buatkan," Bu Narmi mengangguk dan mengambil posisi, duduk di bangku panjang yang sudah kusediakan untuk para pembeliku. Jika mereka ingin makan di tempatku.Kebetulan hari ini, Alhamdulillah jualanku laris manis. Hari masih pagi, jam juga baru menunjukkan pukul sembilan, tapi jualanku sudah hampir habis.Tanganku dengan lihai menggoyang batu giling untuk menghaluskan kacang goreng, dan meraciknya menjadi bumbu gado-gado yang enak. Dari sudut mataku, aku menangkap pandangan mata Bu Narmi fokus menatapku.Sambil sekali-sekali senyum terukir diwajahnya, entah apa yang sedang ia pikirkan tentangku saat ini."Indah, Ibu boleh nanya sesuatu sama kamu? Tapi jika kamu gak mau jawab, juga gak apa-apa, Nak." ujar Bu Narmi dengan raut wajah segan. Mungkin ia takut pertanyaan yang aka
"Seratus ... dua ratus ... tiga ratus ..." jemari ini lincah menghitung lembaran-lembaran rupiah yang berwarna-warni itu. Merah, biru, hijau, ungu, coklat, serta abu-abu. Makin kebawah, semakin gelap warna lembaran uang kertas di tanganku ini, seakan gambar Bapak Mohammad Husni Thamrin itu merengut padaku, padahal apa salahku padanya? "Ah ... hanya satu juta dua ratus enam ribu," gumamku lirih, aku menghembus napas berat. Bukannya tak bersyukur, hanya saja, aku merasa sedih. Uang yang kukumpulkan dari hasil jualan selama dua bulan ini, hanya satu juta dua ratusan saja. Itu belum termasuk untuk beli susu dan keperluan Naira yang lainnya, jikaku belanjakan mungkin uang yang tersisa tidak akan sampai satu juta. Dengan lemas kumasukkan kembali uang yang ada di tanganku kedalam dompet, lalu meletakkannya kedalam laci nakas yang ada di sebelah ranjangku.Aku jadi teringat dengan apa yang ditawarkan Bu Narmi tadi pagi, apa aku terima saja tawaran itu, ya? Siapa tahu itu memang jalan rezeki
🍀🍀🍀🍀🍀Sehabis jualan, aku bersiap untuk pergi kerumah Bu Narmi. Juragan kontrakan di kampung ini. Dengan pakaian seadanya yang cukup layak dan bersih, aku melangkahkan kaki dengan santai hingga kerumahnya. Sebenarnya jarak tempuh yang kulalui cukup jauh, sekitar dua puluh menit perjalanan. Tidak ada ojek atau angkot yang lewat di sini, sedangkan motor atau sepeda aku tak punya. Jadi hanya bisa mengandalkan kakiku saja.Dengan tubuh yang sedikit berkeringat karena panasnya cuaca, aku memasuki gerbang yang menjulang tinggi ini. Sebagai juragan kontrakan, tentu rumah Bu Narmi adalah rumah yang paling mewah di kampung ini. Bangunan tingkat dua yang berdiri kokoh, itu membuat siapa saja yang melihat sudah mengetahui jika yang memilikinya adalah orang kaya.Ahh ... beruntung sekali nasib Nina, menikah dengan anak orang kaya, dan memiliki mertua yang baik seperti Bu Narmi. Aku tidak kebayang jika aku berada di posisinya, pasti hidupku akan sangat bahagia saat ini.Setelah berbicara pada
Tak terasa sudah satu Minggu waktu berlalu sejak grend opening restoran ini. Jenggalu Resto namanya, karena terletak di Jl. Jenggalu. Suasana resto saat ini begitu ramai, membuat aku sangat bahagia, atas respon dan antusias para pengunjung yang tak henti-hentinya datang ke restoran ini.Semoga saja menjadi berkah untuk keluarga kecilku. Semoga pengorbananku membangun resto ini nanti, hingga jauh dari anakku dan meninggalkannya bersama ibu tidak akan sia-sia. Aku yakin selalu ada pelangi habis terang, dan untuk Mas Dito, aku tidak tahu kabarnya dan tidak mau tahu.Semoga saja ia bisa hidup bahagia dengan keluarganya, agar tidak mengganggu hidupku dan Naira nantinya. Aku masih asik berkutat dengan kuali dan kompor, karena resto ini masih baru, dan semua karyawan tentunya belum pada paham. Jadi akulah yang harus turun tangan langsung ke dapur untuk menyiapkan masakan. Walaupun badanku terasa lelah, tapi aku ikhlas demi masa depan anakku nanti. Beberapa menu sudah kusiapkan dengan cepa
Dengan kecepatan sedang aku mengendarai mobilku membelah keramaian kota, menuju rumah sakit Ibu dan Anak. Beberapa menit yang lalu, Mama meneleponku dan mengatakan, jika Retno mengalami kontraksi lebih cepat dari perkiraan dokter. Sesampainya mobilku di parkiran rumah sakit, aku memarkirkan mobilku lalu turun dengan cepat dari mobil, melangkahkan kaki dengan tergesa-gesa. Aku sudah tidak sabar menyambut kehadiran bayi laki-lakiku ke dunia ini. Aku yakin kali ini aku akan mendapatkan bayi laki-laki, karena beberapa kali USG, dokternya selalu mengatakan jika bayi kami laki-laki. Sungguh aku sangat bahagia mendengarnya.Setelah mendapat informasi dari resepsionis, aku langsung menuju tempat di mana Retno ditangani oleh dokter, dari kejauhan aku melihat Mama dan Mbak Rini sedang duduk dengan gelisah di depan sebuah ruangan. Melihat dari raut wajahnya, sepertinya bayi lelakiku belum lahir."Ma, Mbak, bagaimana keadaan Retno? Apa bayiku sudah lahir?" tanyaku tak sabar.Mama dan Mbak Rin