Althea membuka matanya. Perlahan, sinar mentari masuk melewati jendela kamarnya, suara-suara burung mulai terdengar di indra pendengaran. Setelah pandangannya jelas, ia langsung mengetahui tempat ini di mana. Ya, sekarang gadis itu sedang berada di kamarnya sendiri.
Althea meringis ketika ia mengangkat sebelah tangannya untuk mengambil air minum di nakas sebelah tempat tidur. Gadis itu melirik perban yang telah melekat di lengannya.Tak butuh waktu lama, ingatannya kembali pada waktu itu saat ia berusaha melawan seseorang yang ingin menculiknya, tapi diselamatkan oleh pria bertudung coklat yang disangkanya Pangeran Helio yang tengah diperbincangkan oleh orang-orang akhir-akhir ini karena ketampanannya. Althea menghela napas pelan, kejadian itu masih terasa nyata baginya."Nona Althea, syukurlah Anda telah bangun, apa masih ada bagian yang sakit?" Tanya seorang pelayan muda yang baru memasuki kamarnya yang dijawab gelengan oleh Althea. Gadis itu membawa baskom untuk majikannya mencuci muka di pagi hari.Althea membasuh wajahnya, lalu tiba-tiba teringat hal yang menurutnya ganjal, "siapa yang membawaku ke sini?"Pelayan muda itu tampak mengingat, "kemarin ada seorang pria bertudung coklat, bermata biru gelap, dan berambut hitam keunguan yang membawa nona menggunakan kuda miliknya. Ia juga mengatakan kalau kereta kuda nona diserang dan seluruh pengawal beserta kusir yang ada di sana telah tewas," jawab pelayan itu sembari mengingat ciri-ciri dan perkataan pria tempo hari.Althea terdiam. Sebelumnya, tidak banyak yang mengetahui ciri dari keturunan ratu dan raja, yakni rambut biru keunguan dan mata berwarna biru gelap. Makanya, saat ini gadis itu tak heran jika pelayannya tidak mengenali bahwa itu adalah pangeran. Lelaki itu lagi-lagi kembali menolongnya, padahal ia bisa saja bersikap cuek dan tidak peduli. "Tapi, nona.." perkataan pelayan muda itu kembali menginterupsi atensinya."Kemarin pria itu benar-benar seperti pangeran berkuda putih pada nona," ucapnya dengan semangat, mata pelayan muda itu berbinar-binar membuat Althea menarik senyum kecil."Ternyata kamu memikirkan hal-hal yang luar biasa ya," decak Althea yang dibalas ringisan pelan oleh pelayan tersebut.Satu jam kemudian, Althea telah membersihkan diri dan duduk di meja belajarnya untuk menulis beberapa surat. Tadi pagi sempat ada cekcok diantaranya dan para pelayan yang menemaninya. Ia berulang kali bilang bahwa dirinya sudah tidak merasa sakit lagi, tapi para pelayan terus menyuruhnya untuk kembali istirahat dan memulihkan diri terlebih dahulu."Marie, siapkan kereta kuda, aku akan ikut menghadiri upacara pemakaman para kesatria pengawal yang kemarin meninggal," pinta Althea, ia melipat kertas yang sudah ditulisnya lalu mengirim beberapa surat ke istana."Nyonya sudah datang untuk mewakili nona, jadi Anda tidak perlu khawatir," jawab Marie, ia membawakan teh beserta camilan untuk Althea, dan tak lupa obat herbal yang semalam diberikan oleh Helio yang mengantarkan Althea semalam.Tenang saja, sebelumnya obat itu sudah diteliti oleh dokter kediaman duke dan dia berkata bahwa obat ini sangat manjur untuk orang yang banyak kehilangan darah."Ibu? Baiklah kalau begitu. Marie tolong antar ini ke istana," ucap Althea menyerahkan tiga surat.Marie mengangguk, lalu berpamitan pada Althea untuk mengantarkan surat ini. "Tunggu, Marie. Semalam apa kau yakin ciri-ciri lelaki itu memakai jubah coklat, mata biru gelap, dan rambut hitam keunguan?"Marie menganggukkan kepalanya, "ada satu tambahan lagi, nona."Althea mengerutkan dahinya, "apa itu?""Dia tampan."Althea hanya mendengus.***Helio menutup kepalanya menggunakan selimut saat cahaya matahari terus menerus memasuki kamarnya melewati celah-celah jendela.Lelaki itu baru sampai ke istana dini hari tadi, lalu membersihkan tubuhnya dan memasukkan baju-baju yang dipakainya ke dalam satu tempat. Ia bahkan belum lama tertidur, dan pagi telah datang dengan cepat."Pangeran, ini sudah siang, Anda sudah melewatkan sarapan, setidaknya Anda harus makan siang," ucap pelayan yang masih berada di depan pintu kamarnya. Sejauh ini tidak ada yang berani langsung masuk ke kamar Helio lantaran lelaki itu sendiri yang bilang bahwa dirinya merasa tidak nyaman.Karena ada banyak gangguan membuat lelaki itu kesal, dan bangun dari tidurnya. Lelaki itu terduduk di tempat tidur sembari menguap lebar. 'Aku bahkan belum bisa benar-benar tertidur,' batinnya gusar.Setengah jam kemudian, Helio mengizinkan para pelayan masuk dan meletakkan makanannya di atas meja kecil di dekat jendela. Sembari memakan makanannya, Helio melirik pohon yang menjadi jalur tempat dia keluar masuk istana. "Omong-omong, apa putri itu sudah sadar? Yah, seharusnya dia sudah sadar kalau sudah diberi obat itu." Helio mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mencelupkan potongan roti ke dalam sup kesukaannya.Saat lelaki itu sedang memakan dessert, pintu kamarnya dibuka dan terlihat Mikhail sedang berjalan ke arahnya. "Apa bisa kau mengetuk pintunya lebih dulu?"Mikhail neringis pelan, "maaf, adikku. Aku tidak terbiasa dengan hal yang seperti itu," tuturnya lalu duduk di hadapan Helio dan mengambil sepotong kue yang ada di meja.Helio berdecak pelan melihat kelakuan kakaknya. Walaupun mereka hanya bertemu waktu kecil, tapi mereka tidak canggung dikarenakan sifat Mikhail yang sangat supel dan mudah bergaul dan Helio yang tidak mau ambil pusing dalam hal apapun."Ada urusan apa kau ke sini? Bukannya kau kemari jika hanya ingin memerlukan sesuatu saja?"Mikhail terkekeh, "kau bicara begitu seakan-akan aku ini benar-benar orang yang seperti itu, tap---," ucapan Mikhail terputus ketika melihat tatapan Helio seakan-akan mengatakan bahwa perkataannya memang benar adanya."Baiklah-baiklah, aku ke sini ingin berterima kasih kepadamu," ucap Mikhail, ia mengembuskan napas ketika tatapan Helio sudah tidak menatapnya seperti tadi dan malah mengerutkan dahinya."Buat apa kau berterima kasih padaku?"Mikhail berdeham sebentar, "kau sudah menyelamatkan Hera, maksudku Putri Althea dari Duke Foster.""Tuan putri yang semalam terluka? Kau tau dari mana kalau orang itu aku?""Tadi pagi aku datang ke kediaman Duke Foster. Para pelayan yang ada di sana bilang kalau Hera diselamatkan oleh pemuda yang memakai jubah coklat, mata biru gelap, dan rambut hitam keunguan. Memangnya siapa lagi disini yang punya mata dan rambut itu selain keturunan raja dan ratu?" jelas Mikhail membuat Helio bergumam."Wah, jadi kau datang ke rumah seorang putri yang belum dewasa pagi-pagi buta begini, ckckck," ucap Helio memandang Mikhail dari bawah sampai atas dengan kedua tangan yang terlipat.Mikhail melotot mendengarnya, "hey! Memangnya aku lelaki mesum apa, ini tidak sesuai dengan yang kau duga, aku sudah sering datang ke sana, jadi tidak ada yang berpikiran macam-macam sepertimu!"Helio bertepuk tangan sekali, "nah justru itu! Kau sangat sering ke sana sehingga kewaspadaan mereka menurun, tapi siapa yang tau kan, tidak ada yang bisa menduganya kau akan melakukan hal yang macam-macam," ejek Helio. Sebenarnya ia tidak ada niatan untuk meladeni Mikhail dengan seperti ini, tapi melihat reaksi kakaknya yang salah tingkah dengan telinga yang memerah membuat Helio semakin senang menjahilinya.Mikhail sungguh tak habis pikir dengan orang yang ada dihadapannya. Apakah ia benar-benar adik kandungnya? 'Oh Tuhan ini sungguh berat', batinnya terus mengatakan hal itu berulang kali."Terserah kau saja, pokoknya aku ke sini untuk berterima kasih padamu," ucap Mikhail yang telah lelah meladeni Helio."Baiklah, tapi kenapa kau yang berterima kasih? Karena kau temannya putri tadi? Apa itu bisa dijadikan alasan?" kata Helio sambil menaik-turunkan alisnya.Mikhail kembali menepuk jidatnya, "hey, kau jangan mulai lagi ya!" Diakhir kalimatnya ia berdiri dan ingin menggelitiki Helio. Helio yang sadar akan hal itu segera berdiri dan berlari keluar kamar agar tidak tertangkap kakaknya.Para pelayan yang sedang membersihkan lantai di dekat kamar Helio menoleh melihat kedua pangeran yang saling mengejar sambil tertawa dengan riang. Mereka tersenyum kecil melihatnya, "sudah lama aku tidak melihat pemandangan seperti ini," ucap kepala pelayan yang baru datang ke lantai ini sambil membawa amplop untuk diberikan kepada Helio."Terakhir sekitar belasan tahun lalu, aku melihat Pangeran Helio dan Putra Mahkota bisa bermain sebebas ini, sekarang biarkan mereka bebas bermain dulu sebelum mereka banyak diberikan kewajiban dan tekanan oleh banyak pihak," kata kepala pelayan membuat para pelayan tersebut menunduk untuk mematuhi ucapannya."Sudahlah, aku capek!" Dengus Helio, lalu ia membaringkan badannya di taman belakang istana. Mikhail juga ikut membaringkan badannya."Gara-gara kau aku kembali seperti anak kecil," rutuk Mikhail, tapi ia tetap terenyum tipis, sudah lama ia tidak merasakan ini di istana. Kehidupan di sini selalu membuatnya tertekan dan tak jarang ia kabur pergi ke kediaman Duke Foster.Helio tidak meladeni Mikhail, ia sibuk memandangi langit yang berwarna biru muda disertai awan yang perlahan bergerak. "Mikhail," panggil Helio."Hm.""Jika kau terlahir kembali, kau mau menjadi apa?"Mikhail mengerutkan keningnya, ia merasa pertanyaan yang dilontarkan Helio sangat random. "Tumben kau menanyakan pertanyaan yang aneh."Helio berdecak, "jawab saja."Mikhail mengangkat bahunya, "aku tidak tau, aku tidak pernah memikirkannya. Tapi kalau memang ada kesempatan seperti itu, aku ingin terlahir di keluarga yang biasa saja tanpa ada banyak tuntutan dan kewajiban," jawabnya pelan.Keduanya terdiam."Apa ini? Tumben kau merasa mellow, aku merinding," ucap Helio mencairkan suasana, ia mengusap-usap tangannya yang merinding.Mikhail yang melihat itu mendelikkan matanya, "masih untung yah aku menjawab pertanyaanmu, bocah. Kalau kau? Kau mau menjadi apa?"Helio kembali menatap langit, kedua tangannya bertumpu di belakang kepala sebagai bantal, "aku ingin jadi langit.""Diatas sana bisa melihat semua hal dari berbagai sudut pandang. Dengan itu, pasti tidak akan ada kesalahpahaman yang terjadi," lanjutnya."Yah, menjadi langit juga tidak terlalu buruk," komentar Mikhail."Kau bisa melihat orang-orang yang kau sayangi tanpa perlu khawatir akan hal apapun." Ucapan Mikhail membuat Helio melirik."Kau," tunjuk Helio.Mikhail mengangkat salah satu alis, "apa?""Apa kau sedang menyukai seseorang?""...""Tidak, aku ubah pertanyaanku, apa kau menyukai putri dari Duke Foster itu?"...To be continued.Mikhail berjalan dengan gontai menuju istananya. Bukan karena ia malas mengikuti segala kegiatan yang banyak menguras tenaga dan pikirannya, tapi karena sepenggal pertanyaan Helio. Pertanyaan yang masih terpatri dalam ingatannya. "Suka? Aku?" Sembari berjalan, Mikhail terus melontarkan tanya atas apa yang ada di pikirannya. Langkah kakinya terhenti. Kepalanya menatap sisi kanan, dan pemandangan taman istana putra mahkota terpampang indah seluas mata memandang. Mikhail tidak pernah lupa, bahwa tempat itu adalah pertemuan pertamanya bersama Althea. Lelaki itu tanpa sadar tersenyum ketika memori itu terputar dalam kepalanya. "MIHAEEEL!!" Teriak Althea dengan keras, mata anak perempuan kecil itu sudah berkaca-kaca, bibirnya melengkung ke bawah, dan kedua tangannya terkepal, serta kaki yang menghentakkan tanah berkali-kali. Anak lelaki yang ada di hadapannya malah tertawa, bukannya menenangkan orang yang ada di hadapannya, Mikhail justru semakin mendekat ke arah anak itu sambil menakut
"...apa kau menyukai putri dari Duke Foster itu?" Mikhail memejamkan matanya sejenak. Jantungnya berdetak kencang, udara malam hari sangat menusuk kulit, seharusnya ia tidak berada di balkon utama. "Haah, kenapa aku merasa gelisah," gumamnya. Mata biru gelapnya menatap lurus ke depan, telinganya tanpa sadar mendengar suara-suara orang berpesta, walau hanya samar-samar. "Mikhail! Kenapa kau di sini?" David, salah satu sahabat Mikhail menepuk bahu lelaki itu. Di pesta ini, banyak juga bangsawan muda yang turut hadir walaupun usia mereka sudah lewat dari tujuh belas tahun, seperti Mikhail dan sahabat-sahabatnya. Cukup diketahui, tujuan mereka datang ke pesta untuk melihat gadis yang sekiranya cocok di mata mereka. "Ada apa? Apa kau sudah menemukan gadis yang cocok untukmu?" Tanya Mikhail sambil mendengus. David terkekeh, lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang spesial, omong-omong aku melihat Pangeran Helio dan Putri Althea sedang berdansa. Kau tau, mereka sekarang sedang menj
Althea terbangun dari tidurnya. Matanya terbuka, dan menatap langit-langit kamar yang berwarna biru muda. Napasnya tersengal, wajahnya dipenuhi oleh keringat dingin akibat mimpi tadi. Gadis itu bangun dari tempat tidur yang tadinya berbaring kini duduk di kasur. 'Tadi itu... Apa? Seperti kejadian nyata,' batinnya gelisah. Cukup lama Althea berdiam diri memikirkan itu, hingga tak sadar bahwa ia kehausan. Althea melirik teko dan gelas yang ada di meja dekat tempat tidurnya. Biasanya, para pelayan tidak meletakkan kedua benda itu. Namun, karena kondisinya saat ini dalam keadaan sakit, para pelayan meletakkan segala kebutuhan yang ada. Setelah menenggak minuman hingga tandas, Althea meletakkan gelas kembali ke meja, lalu bersiap untuk kembali tidur. 1 menit... 3 menit... 10 menit... 30 menit... Mata Althea tak kunjung tertutup, ia sudah berusaha untuk memejamkan mata dan tidur, tapi tidak bisa juga. Gadis itu menghela napas, lalu bangun dari tidurnya, kembali dalam posisi duduk sepe
Helio terdiam cukup lama mendengar pertanyaan Althea. Jujur, dari sekian banyaknya pertanyaan yang gadis itu lontarkan, Helio tidak akan mengira jika hal yang ditanya Althea tentang ini. Dari mana gadis itu mengetahui masa kecilnya? Bukannya Ratu telah menutup semua mulut orang-orang yang menyaksikan atau bahkan mengetahui tentang masa kelamnya? Namun untuk sekarang lebih baik ia cari tahu lebih dahulu daripada langsung menjawabnya. Helio mengatupkan kedua tangannya diatas meja, badannya condong ke depan, dan matanya menatap lurus pada Putri Althea yang tampaknya sudah mulai mabuk. "Dari mana Anda mengetahuinya, Putri?" Althea yang menunggu jawaban dari Helio, terus meminum bir dan tanpa sadar ia sudah mabuk. "Hm? Putri? Tidak, bukannya kita telah sepakat jika hanya memanggil nama satu sama lain?" Dahi Althea mengerut dan telunjuk jari kanannya membentuk angka satu lalu menggoyangnya ke kanan dan kiri. Helio menghela napas. Seharusnya gadis itu meminum bir dengan kadar alkohol yang
Althea terdiam. Menatap tulisan tangan Mikhail lamat-lamat. Entah kenapa ia sekarang merasa sedang tertangkap basah karena berbohong, padahal sedang tidak menyembunyikan apapun. Hanya saja jika Mikhail mengetahui kejadian saat ia mabuk rasanya sangat malu untuk gadis itu ceritakan. Althea menghela napas, memijat kepalanya pelan. Setelah termenung beberapa menit, akhirnya gadis itu kembali menghabiskan sup yang diberikan Mikhail. Biarpun begitu, sup ini rasanya sangat enak, sayang jika dilewatkan begitu saja. Setelah menghabiskan sup, ia membunyikan lonceng, memberitahu kepada pelayan untuk membawa troli makanan kembali ke dapur. Setelah pintu ditutup, Althea membaringkan badannya di kasur. Gadis itu memandangi langit-langit kamar yang putih polos. Ia sering berpikir, coba saja jika ada benda berbentuk bintang serta bulan yang bisa ditempel di langit-langit kamarnya, lalu saat lampu dimatikan, benda-benda tersebut akan mengeluarkan cahaya, pasti ia akan menempeli banyak. Sayangnya itu
Dahulu kala, sebelum benua ini dibangun dan menjadi kerajaan yang menguasai pusat perdagangan, benua Hymnea hanyalah sebuah pulau dengan hutan yang rimbun serta banyak pepohonan tinggi menjulang. Tidak ada siapapun yang tinggal di sana kecuali hewan buas. Hingga pada suatu hari, ada seorang pendatang baru yang datang dari benua lain. Ia mendatangi pulau itu dengan sebuah kapal yang terbuat dari besi. Pendatang baru itulah yang pertama kali menyadari bahwa pulau itu memiliki banyak makanan serta kebutuhan pokok yang memadai jika orang-orang memutuskan untuk tinggal di sana. Dari situ, ia mulai mencari dan mengajak orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal, pulau yang dihuninya dijajah, dan yang mengungsi di tempat tinggal orang lain untuk tinggal di dalam pulau itu. Sehingga para nenek moyang terdahulu di benua Hymnea merupakan orang-orang dengan beragam ras dan perbedaan. Saat para pendatang baru di pulau itu tengah membuat sebuah rumah dan mengump
Mikhail berjalan dengan cepat menuju istana selir pertama, Livia. Setelah banyak mengumpulkan bukti, kini ia dapat menekan selir itu agar tidak mengganggu Althea lagi. Sudah cukup ulahnya untuk melukai keluarganya, jangan ada orang lain lagi yang akan terluka karenanya.Pintu istana dibuka oleh para pelayan yang ada di sana ketika Mikhail baru saja sampai ke istana selir. seakan-akan kedatangannya telah ditunggu oleh Livia, Perempuan paruh baya itu duduk dengan tenang di ruangannya."Ada apa seorang Putra Mahkota jauh-jauh datang dari sini?" ucapnya tenang sembari meletakkan teh yang baru saja diminumnya. Livia mengisyaratkan Mikhail untuk duduk di hadapannya. Setelah Mikhail duduk, pelayan Livia menuangkan teh pada cangkir Mikhail."Jangan khawatir, Yang Mulia. Teh saya dan Anda sama, jadi sangat aman untuk meminumnya." Livia memandang tehnya sekilas, lalu tersenyum tipis, "lagi pula, saya masih menyayangi nyawa untuk tidak melukai Putra Mahkota."Mikhail terkekeh sinis, ia memandang
Althea terdiam di tempatnya. Ia sudah memikirkan kemungkinan hal ini, tapi nama itu berada di urutan terakhir dalam prasangkanya. Sebab, setahu Althea selir Livia dan kedua orang tuanya merupakan sahabat dekat sejak dulu. Agaknya mustahil jika ini semua adalah ulah wanita paruh baya itu. Namun, Althea juga bisa memahami alasannya karena gadis itu dekat dengan Mikhail, orang yang paling Livia benci di kerajaan ini."Aku sudah menduganya, Mik. Sekarang kepalaku rasanya mau pecah untuk memikirkannya," lelah Althea. Sungguh, dari kejadian mimpi yang dialaminya tiba-tiba dan Helio ada di sana, hal-hal yang berhubungan sihir dan mengapa ia bisa mendapatkan mimpi itu, dan kini orang yang tidak dia duga merupakan dalang dari penyerangannya tempo hari lalu membuat kepala Althea serasa seperti ingin meledak dibuatnya. Ia hanya ingin... sedikit istirahat tanpa memikirkan semua masalah itu, dan menarik satu persatu benang merah yang kusut dalam pikirannya.Mikhail menatap Althea yang memijit pelan