Share

LOVE YOU MY SUGAR DADDY
LOVE YOU MY SUGAR DADDY
Author: Chrystal Liu

Gadis Burik

Teloleeeettt!

Suara klakson dari bus besar berbunyi sangat nyaring sekali. Suaranya dapat membuat siapa saja atau kendaraan apa pun yang sedang menghalangi jalan menyingkir seketika karena kaget. Ini adalah jalan raya menuju kawasan terminal, di mana banyak bus lalu lalang serta menurunkan dan menaikkan penumpang. Wilayah yang ramai penduduk serta dipenuhi perantau yang bolak-balik dari daerah ke Jakarta dan sebaliknya.

"Om! Telolet lagi, Om!" teriak anak-anak kecil yang umurnya sekitar tujuh tahunan mereka meminta bus yang lewat untuk membunyikan klaksonnya, lalu mengabadikan suara serta tampilan bus dalam bentuk video untuk diunggah di aplikasi Tiktok.

Teloleeett … tet! 

Suara klakson mobil bus kembali dibunyikan. Saking kencangnya, sampai membuat seorang gadis terbangun dari tidur.

"Om keren!" Anak-anak itu mengacungkan kedua jempol mereka. “Lagi Om! Lagi!” teriak mereka antusias.

"Oiii! Berisiiiikk …!" Seorang gadis berteriak dari sebuah rumah kecil di ujung sebuah muara gang kecil. Jendela kamarnya menghadap langsung ke jalan raya.

"Eh si Burik bangun. Ayok kabur ...!" Anak-anak itu panik dan segera menderap menjauh. Mereka dengan sengaja meneriaki mobil bus di area ini agar mengganggu gadis tomboy yang sedang tidur karena sedang libur sekolah. Bocah-bocah itu tidak pernah bosan menjaili gadis bernama Bella yang mereka ejek burik itu.

"Dasar anak-anak nakal. Ganggu aja." Bella keluar dari rumah, tapi anak-anak yang ingin ia marahi sudah kabur. Gadis itu menggaruk kulit kepalanya yang lumayan gatal karena sudah dua hari tidak keramas.

Kriiuuuukkk … kriuuukkk! 

Suara cacing di usus Bella terdengar protes sangat nyaring. Lambungnya sudah minta diisi makanan.

"Aduh, laper banget. Sarapan sama apa, ya? Coba lihat isi dompet dulu, deh." Ia kembali ke dalam rumah yang mungil dan melewati celah yang sempit dan gelap jika malam hari. Ibunya tengah tertidur karena baru pulang saat dini hari. 

Bella kemudian melihat isi dompetnya karena di dapur sama sekali tidak ada makanan. "Eh ada uang cuma dua ribu." Ia membolak-balik uang kertas yang bertuliskan angka dua dan nolnya tiga, berwarna hijau, dan sudah lusuh.

"Kerja dulu deh biar dapet uang." Ia meraih topi hitam yang biasa ia pakai, lalu pergi dari rumah tanpa berpamitan. Ia takut mengganggu ibunya yang tengah tertidur pulas.

Kaki mungil itu berjalan menyusuri jalan, menuju arah di mana tubuhnya ingin berhenti untuk mencari pekerjaan.

"Kerja apa ya hari ini? Asal jangan ngemis." Ia suka bekerja keras biarpun hasilnya tidak seberapa. Yang penting hasil keringat sendiri dan bukan dari hasil mengemis.

Netranya yang indah—yang memiliki manik mata berwarna cokelat—melihat sebuah restoran yang halamannya dipenuhi mobil pengunjung. Tidak terlihat tukang parkir yang membantu mobil keluar masuk ke jalan raya dari halaman restoran. 

"Aha! Parkiran itu kosong, nggak ada tukang parkirnya," gumam Bella.  Terbetik ide untuk menjadi tukang parkir saja. Hanya bermodal lambaian tangan, suara yang nyaring dan bisa bersiul, uang datang.

"Mundur, Pak, mundur!” Bella memberi aba-aba guna membantu mobil yang hendak keluar dari halaman restoran.

"Terima kasih." Supir memberikan selembar uang dua ribu sebagai upah membantu menyeberangkan mobil.

"Hati-hati di jalan, Pak!" Bella tersenyum manis. Cukup lama ia bercokol di depan restoran. Dari yang semula ramai pengunjung hingga sekarang sepi. Seorang ibu, yang adalah pemilik restoran, memperhatikan Bella dari dalam. wanita yang terlihat sudah tidak lagi muda itu tertarik pada aura energik yang menguar dari sosok sang gadis.

"Hei Nak!” teriak si ibu dari dalam. Saat Bella menoleh, ia melambai, menyuruh gadis itu masuk. 

Bella berlari kecil, mendekat. “Ya, Bu?”

“Kamu butuh kerjaan?" 

Dengan senyuman merekah di wajah, gadis itu tersenyum pada ibu pemilik restoran.  "Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" Ia mengangguk sopan.

“Siapa namamu? Saya Sinta,” ucap si ibu sambil mengulurkan tangan.

Bella membalas jabatan tangan itu. “Bella.”

“Hmm, nama yang cantik.” Sinta mengamati gadis itu dan menduga sang gadis adalah seorang anak putus sekolah. "Kamu sekolah atau tidak?" 

"Sekolah, tapi lagi libur, Bu." Bella merapikan poni yang menghalangi bagian mata.

"Bantu saya masak, gimana? Bisa masak, kan?" tanya Sinta. Karena libur tanggal merah,  banyak karyawannya izin tidak masuk kerja. Sebentar lagi jam makan siang dan restorannya pasti akan ramai. Sebelum jam makan siang tiba, makanan sudah harus siap dan dijejerkan di etalase.

"Bisa Bu, bisa!" Bella langsung mengangguk sebagai tanda setuju. Padahal ia hanya bisa memasak nasi, air, dan mi saja. Walaupun tidak bisa masak, setidaknya Bella bisa memotong, mencuci bahan, dan mencuci piring. Ibu ini hanya butuh asisten karena ia sendiri yang memasak.

"Ya udah, tiap libur atau senggang bantu masak, ya. Saya gaji harian." Pemilik restoran ingin membuka lapangan pekerjaan untuk gadis ini, daripada ia di luar memarkirkan kendaraan, terpapar panas dan polusi udara.

"Iya, Bu. Terima kasih!"

"Kamu sudah makan, Nak." Ibu pemilik restoran ini terkenal dermawan. Ia mendengar perut sang gadis yang terus bersuara sehingga menyuruhnya untuk makan.

Bella tersipu malu. “Belum, Bu.”

“Kalau gitu, kamu boleh makan dulu sebelum kerja.”

"Baik, Bu. Apa saya boleh makan sekarang?" tanya Bella, ia lapar tapi ragu apakah sudah waktunya untuk makan.

"Boleh. Setelah makan, bantu masak lagi, ya!" 

"Makasih, Bu.” Bella senang karena ia bisa makan gratis.

Sesuai perintah dan sesuai janji Bella, ia makan sangat cepat agar bisa membantu pemilik restoran untuk memasak lagi. Tenaga Bella naik dua kali lipat setelah perutnya diisi amunisi perkedel jagung dan goreng ayam.

Hari itu berlalu dengan cepat. Tahu-tahu, saat pulang sudah tiba. Setelah membantu beres-beres perkakas dan membersihkan lantai restoran, Bella bersiap pulang.

"Wah, udah beres semua." Bella meregangkan tangan.

Sinta datang menghampiri dengan sebuah amplop. "Ini gaji kamu."

Bella girang sekali. Namun, ingat ibunya di rumah yang pasti belum makan sama sekali. Ia melihat roti yang tersisa dua di etalase. Mungkin harga roti tersebut hanya dua ribuan saja.

"Saya boleh minta roti itu juga gak, Bu? Buat ibu saya di rumah. Tadi saya tinggal masih tidur. Sekarang kayaknya belum makan." Bella minta izin terlebih dahulu.

"Bawa aja, Nak." Sinta memberikan roti sebagai bonus kerajinan Bella.

"Sekali lagi makasih, Bu!"

Bella dengan semangat berjalan sendirian dan tidak memperhatikan jalan. Dia menabrak seorang nenek yang duduk di trotoar jalan.

Bruk! 

Bella terjatuh. Nenek yang ia tabrak juga ikut terkapar di trotoar jalan. Ternyata nenek itu seorang pengemis yang tengah duduk menunggu belas kasihan pengguna jalan. Bella panik dan langsung menolong sang nenek. Dengan rasa bersalah, ia membantu si nenek bangun. "Aduh, Nek. Maaf, saya nggak lihat."

"Tak apa, Nak." Nenek ini kembali duduk di tempatnya kembali untuk mengemis.

"Nenek nggak kenapa-napa? Biar saya periksa, ya." Bella membersihkan baju daster yang dikenakan si nenek, lalu memeriksa anggota tubuhnya, barangkali ada yang terluka. Biar bagaimanapun, ia yang salah karena melangkah tanpa melihat jalan.

"Maaf Nek. Beneran nggak ada yang sakit?" Bella kembali meminta maaf pada sang nenek.

"Tidak ada, Nak. Saya baik-baik saja."

"Nenek disini udah berapa lama? Sudah makan?" Bella merasa iba karena penampilan sang nenek lebih buruk darinya. Ia juga melihat sang nenek terus memegangi perut. Mungkin nenek ini merasa lapar.

"Dari pagi, Nak. Belum, sudah dua hari saya belum makan,” lirihnya.

"Astaga, Nenek. Nanti kalau Nenek sakit gimana?"  Bella ingin sekali memberikan makanan untuk sang nenek.

"Habis Nenek nggak punya uang dan makanan, Nak." Wajahnya terlihat murung dan mengerut di usianya yang mungkin sudah sembilan puluhan.

"Ini ada dua roti, satu buat ibuku, satu buat Nenek ya." Bella mengeluarkan roti dari plastik yang ia bawa.

"Dimakan ya, Nek." Bella hanya memberikan satu karena satu lagi untuk ibunya. Uang yang ia dapat juga rencananya untuk di tabung.

"Kasihan ibu kamu tidak kenyang nanti." Nenek ini berusaha menolak, tapi Bella tetap memaksa.

"Nggak pa-pa , Nek. Saya bisa beli makanan yang lain nanti."

"Ya sudah, Nenek terima."

Bella tak hanya memberikan roti, dia menyisihkan uang hasil kerja kerasnya tadi untuk diberikan pada sang nenek. "Ini ada sedikit uang. Barangkali mau Nenek gunakan untuk beli makan lagi."

"Jangan, Nak. Jangan. Nenek tahu kamu juga butuh uang." Nenek ini menolak lagi. Roti saja ia rasa sudah cukup untuk mengisi lambungnya yang kecil.

"Tidak apa, Nek. Saya bisa mencarinya lagi." Bella memaksa memberi dengan memasukkan uang sejumlah lima belas ribu ke kantung sang nenek. Lima belas ribu sisanya akan ia tabung untuk jajan saat sekolah nanti. "Terima ya, Nek!"

"Terima kasih, Nak." Si nenek mengusap tangan Bella yang sama sekali tidak lembut untuk ukuran seorang gadis.

“Saya pulang ya, Nek.” Bella berpamitan karena hari sudah siang. Dia lupa belum mencuci baju-baju dan membersihkan rumah. 

“Tunggu!” Si nenek mencegah Bella pergi.

“Ada apa?” tanya Bella yang kembali mendekat.

“Roda hidup kan berputar. Begitu pula dengan hidupmu. Bersiaplah untuk hal itu. Jika hari itu tiba, tetaplah menjadi orang yang baik, dan ajak orang lain juga berubah menjadi baik.” Tangan mereka berdua bergenggaman begitu erat. Sang nenek sangat terharu dengan kebaikan Bella.

“Iya, Nek. Terima kasih sudah mengingatkan aku.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status