“Kenapa diam Om? Tolong jawab pertanyaan Rio tadi?” Rio merengek setengah memaksa. Ia ingin sebuah penjelasan yang sebenarnya.“Bukan apa-apa kok, Sayang, Om Pras tadi hanya salah sebut.” ucap Nara menyela diantara percakapan mereka.“Nggak! Aku mau dengar dari Om Pras sendiri.” Rio menolak alasan ibunya, ia yakin pria itu tak mungkin berkata sembarangan. Dia pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu yang menyebut dirinya sebagai ‘ayah’.“M-jadi begini, Rio, sebenarnya-”“Kamu jangan percaya ucapan laki-laki ini, Nak. Dia orang jahat.” potong Nara di saat Pras sedang berbicara untuk menjelaskan segalanya.“Stop, Ma! Aku tak ingin mendengarkan apa pun dari mulut Mama. Aku ingin mengetahui yang sebenarnya, Om tolong bicara Om, katakan yang sejujurnya.” Anak itu terus memaksa Pras untuk berterus terang. Seketika pria berusia matang itu pun menghela napasnya dengan berat.“Baiklah, Nak. Kali ini Om akan bicara yang sebenarnya sama Rio. Tapi sebelum itu Om mau tanya dulu, seandainya meman
“Kamu melupakan istrimu yang ada di rumah. Jangan suka menyakiti hati wanita lah!” ucapnya nyelekit.“Iya, kamu benar. Aku tidak lupa kok, aku hanya merindukan anakku, itu saja. Tak ada maksud lain.” tutupnya.Melihat Rio yang baru selesai berganti pakaian, Nara langsung mengajaknya pulang. Tanpa menoleh lagi ke belakang untuk memperhatikan pria yang pernah berarti di masa lalunya itu.“Kita kok pulang duluan, Ma? Terus ayah sendirian dong, di sini?” “Sudahlah, Rio. Tak perlu kamu pikirkan dia. Ayahmu sudah dewasa, dia tau mana yang baik dan buruk untuk hidupnya.” jelas wanita yang memakai baju kaos hitam itu.“Tapi besok, ayah datang lagi kan, Ma?” Dia bertanya pada sang ibu dan berharap ia akan mendapatkan jawaban iya. Namun ternyata sebaliknya.Wanita itu malah menjawab lain, yang sama sekali tak sesuai dengan harapan bocah itu.“Rumah ayahmu itu jauh Nak, dia tidak bisa setiap hari datang ke sini.”“Ya sudah, kita aja yang datang kesana, Ma.” serunya antusias, karena ia juga ingi
“Sudah Mas, jangan kau lanjutkan lagi ucapanmu. Aku sudah paham, maksud dari perkataanmu itu apa. Tak perlu kau bicara panjang lebar lagi. Intinya kau memang tak pernah mencintaiku.” pungkasnya kecewa.Sepuluh tahun lamanya ia mendampingi pria itu. Namun setitik cinta pun sama sekali tak ia dapatkan. Wanita mana yang tak akan bersedih jika berada di posisi seperti dirinya?“Jadi, kapan kamu akan pulang? Ingat ya, aku ini suamimu, kau harus mengurus segala yang aku perlukan, jadilah istri yang baik,” tukasnya tanpa memperdulikan perasaan istrinya yang sedang kesal kepadanya.“Jangan ditunggu, Mas. Karena aku tidak akan pernah kembali!” tegasnya.“Hah? Maksud kamu gimana? Jangan aneh-aneh, deh!” cetusnya dengan jantung yang sedikit berdebar, karena suara wanita itu terdengar sangat serius. Tangannya sedikit bergetar saat menggenggam benda pintar yang biasa disebut smartphone itu.“Aku ingin kita cerai, Mas.”Deg!Jantung Pras seketika lepas dari tempatnya, saat mendengar penuturan d
“Lisa, jadi kau sudah mengetahui se-semuanya?” ucapnya terbata. Ia bingung akan menjelaskan apa kepada wanita yang duduk di hadapannya itu.“Serapat-rapatnya kau menyimpan bangkai, pasti suatu saat akan terbongkar juga, Mas. Seperti sekarang ini. Kau sudah berhasil membohongiku selama sepuluh tahun lamanya, kau sangat hebat dan luar biasa.” sarkasnya menyindir.“Aku bisa jelaskan ini semua sama kamu, Lisa. Aku sengaja tidak mem-”“Sudah, cukup, Mas. Aku tak mau mendengar alasan apapun yang keluar dari mulutmu.” potongnya dengan cepat, sebelum pria itu menyelesaikan perkataannya. Sudah tak ada lagi yang perlu dibahas. Sampai jumpa di pengadilan Mas,” tutupnya, lalu beranjak pergi menuju pintu keluar cafe itu.Pras hanya bisa menatap punggung wanita yang sebentar lagi akan resmi menjadi mantan istrinya itu. Ia merasa sedikit kehilangan, meski bapak hakim pengadilan belum mengetuk palunya.Dia sedih. Semua tak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkannya ketika di rumah tadi. Perlahan
Beberapa waktu kemudian, Pras melenggang penuh semangat berjalan ke dalam rumah seraya menenteng surat cerai dari kantor pengadilan agama yang didapatnya tadi siang. Ia begitu lega bisa lepas dari wanita jahat itu. Kalau sampai berlama-lagi ia bersama perempuan itu bisa-bisa ia kehilangan ibunya. Beruntung semua itu cepat ketahuan, hingga kejadian buruk bisa diminimalisir.Ia berniat akan mendatangi buah hatinya. Sudah tak ada lagi yang ia takuti. Biasanya dia selalu bergerak secara sembunyi-sembunyi. Yang membuat ia sangat merasa tidak nyaman dan terkungkung.Ia sudah mendapatkan seorang suster baru untuk ibunya. Yang kali ini pasti berbeda, bukan perawat abal-abal. Karena ia memesannya dari suatu yayasan terkenal di daerahnya.Ia pun pamit kepada Dinta untuk pergi menemui Rio, cucu yang selama ini tak pernah dia akui. Wanita itu lantas memanggut saja bagai seeokor ayam yang sedang memakan butiran beras. Lalu dia harus bagaimana lagi? Mau mencegah sang anak pergi, itu juga sangat t
“Jadi sebenarnya anak saya ini sakit apa, Dok?” tanya Surya pada seorang pria yang baru saja selesai memeriksa.“Hmmm ... begini Pak, menurut pemeriksaan yang telah dilakukan, anak bapak ini sebenarnya tidak sakit, tapi dia ... sedang mengandung,” jelas dokter itu setengah tergagap, karena ia tahu lelaki yang berada di hadapannya itu pasti akan marah besar. Matanya juga sudah terlihat melotot, berwarna merah padam."Kalau begitu saya permisi dulu, Pak." pamitnya gugup, lalu berjalan menuju pintu keluar.Surya mulai menatap tajam pada wanita yang sedang berbaring tak berdaya itu.Dadanya naik turun mengimbangi napas yang sudah penuh oleh perasaan emosi."Maafin aku, Pa ..." gadis itu beringsut dari ranjang dan terisak me- meluk lutut sang ayah."Aargghh ...!" Surya menarik kakinya dengan kasar, hingga membuat putri satu-satunya itu terjerembab ke lantai."Keluar, sekarang!" sergahnya dengan suara lantang. Matanya membelalak. Jari telunjuknya menunjuk ke arah pintu keluar.Nara menan
“Kita sekarang ke rumah mama ya, biar kujelasin semuanya, tentang keadaan kamu." Nara yang sedang bingung pun pun langsung menyetujui saja saran dari Pras, dan segera naik ke atas motor tua itu.“Tapi aku ragu, Mas ... takut kalau mama kamu marah,” lirihnya menunduk.“Kalau soal itu urusan belakangan yang penting dia tau dulu kalau kamu sedang mengandung anakku. Biar kita segera dinikahkan.” jelasnya lagi untuk menenangkan hati sang kekasih.Motor pun melaju kencang membelah jalan raya. Hati Nara merasa sedikit cemas namun sebisa mungkin ia tepis perasaan itu.***Mereka telah sampai di bangunan yang tak terlalu besar dan bisa dikatakan sangat sederhana. Dengan pagar yang terbuat dari bambu, yang mengelilingi rumah pria berambut ikal itu.Tak berapa lama seorang wanita setengah tua keluar dari pintu kayu berwarna coklat muda, lalu menyapa mereka yang sudah turun dari motor.“Kamu mau kemana bawa tas pakaian begini?” tanya Dinta, ibu dari Pras dengan alis yang bertaut. Dia memang s
Pov PrasAh sial, kalau begini sih namanya nambahin beban. Bener kata mama. Bukan ini yang kuinginkan. Yang kuhayalkan dari dulu saat berpacaran dengan Nara, si anak orang kaya biar aku yang pengangguran ini bisa hidup senang.Ini tidak berjalan sesuai dengan rencanaku.Hayalanku waktu itu adalah ... saat Nara hamil, maka aku akan dinikahkan dengannya lalu ayahnya yang pengusaha itu mengajakku untuk meneruskan bisnis yang ia punya, kebetulan Nara kan putri tunggal, pastilah semua itu akan jatuh ke tanganku, suaminya.Tapi nyatanya kok malah begini?Dia justru diusir dari rumah.Arrggghh ... terus dari mana aku akan mendapatkan biaya pernikahan ini?Uangku hanya tersisa lima ratus ribu? Apakah itu cukup?Kepalaku terasa sangat berat bagai menjunjung batu yang sangat besar.Ini benar-benar menyiksa pikiranku.Sedangkan mama sudah lepas tangan dan tidak mau tau atas masalah ini.Pada siapa lagi aku akan meminta bantuan? Barangkali ada yang bersedia meminjamkanku uang,Aduuh ... pusing se