Part 2
"Ini, kukembalikan suamiku padamu, Mbak!"Mas Tiar dan Elvina terbengong mendengar ucapanku. Mereka saling berpandangan lalu kembali menatapku dengan heran."Lho, apa maksudnya ini?" tanya Elvina lagi."Arini, apa-apaan maksudmu seperti ini? Memangnya aku barang pinjaman sampai dibalikin segala?!" tukas suamiku."Bukankah kalian masih saling cinta? Aku hanya menyatukan dua hati yang terpisah untuk kembali bersama lagi, kalian rujuk saja, aku yang mundur," jawabku."Ini gak lucu, Arini!" tukas Mas Bachtiar."Ya, emang! Dan aku lagi gak ngelawak, Mas!" Nada suaraku mulai meninggi."Ayah, Tante, kenapa bertengkar?" celetuk si kecil Aqilla. Bocah cantik itu bertanya dengan polosnya membuatku menghela nafas berkali-kali. Ah, kenapa aku jadi susah mengontrol emosi seperti ini.Mas Tiar menatap putrinya lalu kembali menatap wanita yang sudah pernah menjadi istrinya itu memberi kode supaya Aqilla masuk ke dalam rumah."Ayo sayang, kita masuk!" ucap Elvina dengan nada lembut. Wanita berambut sebahu itu menggandeng putrinya masuk.Kunyalakan kembali mesin motor, lebih baik pulang saja, pasti ibu mertua khawatir karena aku pergi gak pamit. Mas Tiar menahan bagian depan motorku, menghalauku pergi."Tunggu, Dek! Apa-apaan kau ini?! Kenapa kau malah membawaku kesini? Kau malu-maluin mas saja!" dengusnya kesal."Seharusnya kau tanya pada dirimu sendiri, Mas! Kau berbagi kebahagiaan dengannya, tapi kau berbagi kesusahan denganku. Harusnya kau mikir dong, Mas, aku ini masih resmi istrimu, dan aku masih punya perasaan! Tapi kamu lebih mementingkan dia dari pada aku! Selama ini kau anggap aku ini apa?""Dek, aku gak--"Belum sempat ia melanjutkan ucapannya, gegas kustater kembali motorku hingga Mas Tiar menyingkir memberikan jalan.Sepanjang jalan aku hanya bisa mendumel kesal. Bagaimana tidak, setiap hari aku berusaha bersabar hati dengan sikapnya. Tapi makin kesini dia makin tak menghargaiku sebagai seorang istri. Apa dia hanya menganggapku sebagai perawat ibunya saja? Kenapa dulu dia mencari istri? Bukannya mencari seorang suster saja?!Apalagi status-status Elvina yang sepertinya sengaja memojokkanku, membuat imej buruk untukku, rasanya hatiku makin jengah.[Memang enak jadi perebut, nggak butuh ijazah. Cuma modal senyum, sapa, nempel, dan pamer badan saja bakalan langsung keterima][Untuk orang ketiga dalam kisah cintaku, ketahuilah bahwa di balik kebahagiaanmu ada hati yang sangat terluka]Dan masih banyak statusnya yang lain gak kuhafal, memang sengaja ditujukan padaku. Satu hal yang membuatku tidak terima, aku bukanlah perebut laki orang. Mas Tiar datang padaku saat statusnya sudah resmi bercerai. Kalau dulu aku tahu mereka masih saling cinta aku takkan mau menerimanya. Aku tak ingin menjadi duri dalam kisah cinta orang lain. Tapi lagi-lagi Mas Tiar meyakinkanku, kalau dia sudah tak ada perasaan apapun dengan mantannya. Meski dia tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang ayah, memberi nafkah pada si kecil Aqilla."Percayalah Dek, hubunganku dengan Elvina sudah berakhir. Aku sudah tak mencintainya lagi. Kalaupun bertemu itu hanya soal Aqilla saja. Aku mencintaimu, Dek. Ayo menikahlah denganku."Untuk ke sekian kalinya dia melamarku hingga akhirnya aku luluh.Aku mungkin yang terakhir datang dalam hidupnya, tapi bukan berarti aku adalah perebut kebahagiaan orang lain. Dan mungkin aku saja yang kurang beruntung, walaupun yang terakhir tapi tetap menjadi yang kedua, bukan prioritas utama. Memang, kehadiranku baru enam bulan saja dalam hidupnya, nyatanya tak cukup membuat keberadaanku berarti, walaupun sudah ada benih di rahimku ini.Rasa kesalku makin menguat ketika dua hari yang lalu menemukan berkas-berkas jual beli perumahan yang baru. Rumah dengan DP seharga empat puluh jutaan itu lalu cicilan tiap bulan yang tidak sedikit, baru acc sebulanan yang lalu. Dan Mas Tiar menyembunyikan semuanya dariku. Hati istri mana yang tidak sesak mengetahui kenyataan ini?Kuparkir motor di halaman. Sebelum masuk, kuredam segala gejolak emosi di dada dengan mengembuskan nafas panjang berkali-kali. Setidaknya aku harus tetap tenang saat bertemu dengan ibu."Mbak Arini, untunglah mbak Arini cepat pulang!" tegur seseorang. Aku menoleh mendapati Mbak Ulfah--tetangga sebelah kami berjalan tergopoh menghampiriku."Tadi ibu nyariin Mbak Arini," ujarnya kembali.Aku mengangguk. "Terima kasih ya Mbak, udah bantu jagain ibu.""Iya, Mbak. Sama-sama."Gegas aku ke dalam menengok ibu mertua di kamar."Arini ...!" panggilnya pelan."Ya, Bu.""Kamu habis dari mana? Ibu panggil-panggil kamu gak ada."Aku tersenyum lalu duduk di sampingnya. "Maaf ya Bu, Arini pergi gak pamit. Tadi ada keperluan sebentar."Ibu mengangguk sambil tersenyum."Ibu perlu apa? Ibu mau BAB?"Wanita renta itu menggeleng. Ya, sehari-hari beliau buang air kecil dan besar di pampers dewasa karena memang ia sudah tak bisa berjalan maupun menggerakkan tubuh bagian bawahnya. Sudah mati rasa katanya."Ibu hanya tenang kalau ada kamu di rumah. Tadi perasaan ibu gak enak."Aku menghela nafas dalam-dalam. Bagaimana perasaan ibu kalau tahu aku sedang bermasalah dengan putranya? Bagaimana nanti kalau aku benar-benar pisah dengan Mas Tiar?"Bu, apapun nanti yang terjadi, ibu ikut Arini saja ya?" usulku dengan nada pelan."Apa maksudnya, Nak?"Aku tersenyum. "Tidak apa-apa, Bu. Tolong tetap dukung aku ya, Bu. Aku sayang sama ibu.""Ibu juga sayang sama kamu, Nak. Ibu jadi ingin sembuh, biar gak ngerepotin kamu terus.""Aku tidak merasa direpotkan kok, Bu. Ini kan sudah kewajiban aku. Oh iya Bu, aku mau siapin air hangat dulu buat ibu mandi ya," kilahku saat melihat jam yang bertengger di dinding sudah menunjukkan angka empat sore. Aku tak ingin melihat wanita yang sudah sepuh itu menitikkan air matanya.Ibu mertuaku mengangguk dan tersenyum.Selagi menunggu air hangat, aku langsung memasukkan baju-baju Mas Tiar ke dalam kopernya, lalu meletakkan koper itu di depan teras. Persetan kalau dia komplen. Kalau kamu mau kembali dengan Elvina silakan saja mas, sekalian bawa juga baju dan cicilan hutangmu!Usai memandikan ibu dan memakaikan baju untuknya, mendadak kudengar suara pintu digedor dengan keras dan berulang-ulang."Arini, buka pintunya!" teriaknya dari luar."Ibu aku keluar sebentar ya, sepertinya Mas Tiar sudah pulang."Ibu mengangguk sambil membenarkan bajunya yang belum dikancing.Ceklek ... Perlahan pintu terbuka. Terlihat Mas Tiar tampak kacau."Berisik amat! Ada apa sih, Mas?! Ganggu orang aja!""Arini, ini kenapa koper dan baju-bajuku ada di luar?!" protesnya. Pandangannya seolah shock dan tak mengerti."Lho apa ucapanku kurang jelas, Mas? Kan aku sudah bilang, kembali saja sama mantan istrimu itu! Nih, aku sudah siapkan semua. Bawa sekalian baju dan juga cicilan hutang-hutangmu itu?! Dan jangan pernah libatkan aku lagi!"Part 3Aku berlalu ke dalam tapi dia langsung menarik tanganku."Dek, kenapa kau tega berkata seperti ini padaku? Apa maksudnya ini?" Dia memasang nada suara memelas dengan tatapan begitu sayu penuh permohonan. "Aku salah apa sama kamu, Dek? Kenapa sikapmu jadi berubah seperti ini? Aku ini kan suamimu, sudah tentu aku pulang kesini. Kenapa kau malah ingin mengusirku?""Dasar laki-laki tidak peka!" Kukibaskan tanganku darinya. "Kamu itu laki-laki egois ya Mas, kalau senang-senang kamu pergi sama mantanmu, giliran pusing aku disuruh ikut nanggung! Mikir dong, Mas! Mikiiiirrr!! Kamu masih punya otak kan?"Gara-gara nada suaraku yang meninggi, para tetangga berhamburan keluar. Gegas aku masuk ke dalam dan menutup pintu cukup keras. Braaakk ...!Sabar, Arini, sabar.Rupanya tak kehilangan akal. Mas Tiar masuk melalui jendela kamar ibu yang terbuka lebar. Ya, di kamar ibu dipasang jendela yang lebar agar ia bisa melihat pemandangan luar. Biar ibu tak bosan berada di dalam kamarnya. Dia sel
Part 4Aku mengusap wajah dengan kasar. Melihat Arini pergi meninggalkanku sendiri di depan rumah Elvina.Apa-apaan maksudnya itu?! Mengembalikanku pada Elvina? Dia pikir aku barang?! Tak habis pikir dengan pemikirannya yang sembrono. Bikin makin pusing aja hidupku ini. Masalah hutang piutang belum beres, dia malah menelantarkanku di sini.Kuembuskan nafas panjang berkali-kali sambil berkacak pinggang. Istriku itu sudah tak terlihat dalam pandangan lagi. Tak bisa dibiarkan dia menghinaku dan berlaku tak sopan seperti ini padaku. Awas saja kalau aku pulang ke rumah, biar kuberi pelajaran kamu, Arini! Aku heran aja, kenapa tingkahnya sekarang berbeda, tidak seperti Arini yang kukenal awal dulu, seorang perempuan yang sangat lembut.Arrghh! Kepalaku terasa berdenyut-denyut memikirkan segala masalah hari ini. Bagaimana aku mendapatkan uang itu? Padahal aku sangat yakin kalau Arini punya simpanan uang, jatah bulananku pasti lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan juga kebutuhan
Part 5Aku tak pernah tahu Arini akan marah besar atas sikapku selama ini. Kami bertengkar hebat. Biasanya Arini selalu diam tapi kini dia berani marah-marah gak jelas bahkan mengusirku dari rumah sendiri. Bahkan aku sangat shock saat dia mengatakan ingin pisah dariku di depan ibu. Apakah dia tidak memikirkan perasaan ibu? "Keputusanku sudah bulat. Aku ingin pisah darimu. Akan kuurus semua berkasnya!""Tidak Dek. Tolong jangan seperti ini--" Dia menggeleng cepat, wajahnya menunjukkan kalau dia sangat kecewa. Aku benar-benar shock mendengarnya. Apalagi terngiang semua ucapannya. 'Aku memintamu mengantarku periksa kandungan kau menolak, aku memintamu mengantarku belanja bulanan kau menolak. Aku memintamu untuk sekedar makan malam bersama, kau pun menolak. Dan kamu selalu menolaknya karena kau lebih memilih ingin menghabiskan waktu bersama Aqilla dan juga ibunya. Apa kau lupa dalam rahimku ini pun adalah calon anakmu?'Ungkapan kekesalannya itu seperti tamparan bertubi-tubi untukku.
"Lebih baik dia tak mengenal ayahnya. Dari pada harus memiliki seorang ayah yang pilih kasih, bahkan di awal kehadirannya pun tak pernah peduli!""Ya ampun Dek, kenapa kamu jadi seperti ini sih! Kamu seperti bukan Arini yang mas kenal. Kamu tega memisahkan anak dan ayahnya sendiri?" ucap Mas Bachtiar membela diri."Karena kamu duluan yang memulainya, Mas. Andai kamu bisa menghargai sedikit saja perasaanku, aku tak mungkin bersikap seperti ini. Kamu yang tega, Mas, bukan aku! Kamu pamer kemesraan dengan mantan istrimu itu tanpa memikirkan aku, sekarang setelah aku ingin pisah dari kamu, kamu gak mau. Kamu benar-benar laki-laki egois, Mas!""Maaf ya, Dek. Aku memang salah. Tolong jangan marah-marah seperti ini. Kamu sedang hamil lho, gak baik buat janin yang ada dalam kandunganmu." "Apa pedulimu melarangku marah-marah?""Jelas aku peduli karena aku suamimu!" pungkasnya lagi."Suami? Masih pantaskah kau disebut sebagai seorang suami?" Arini tersenyum sinis, pandangannya penuh dengan kem
Rasanya percuma terus berdebat dengan Mas Tiar. Dia takkan mau kalah, dia pun takkan mau pergi dari sini. Mungkin biar aku saja yang pergi. Dari awal tempatku memang bukan di sini.Kuhela nafas dalam-dalam. Ah kenapa dadaku rasanya sesak sekali, sakiiit. Kulihat keluar, hari sudah mulai gelap. Akan kupikirkan caranya nanti malam. Gegas menutup jendela yang masih terbuka agar nyamuk tak masuk. Aku masuk ke kamar ibu, beliau terlihat memejamkan matanya. "Bu, bangun, Bu. Hampir maghrib, jangan tidur, Bu." Aku menggoyangkan tubuh ibu agar dia terbangun. karena tidur menjelang maghrib tak baik untuk kesehatan.Ibu terkesiap kaget, dia menoleh ke kanan dan ke kiri mungkin belum sepenuhnya sadar. Dia beringsut untuk duduk. Aku hanya memandangnya saja. Rasanya tak rela meninggalkan ibu mertuaku dalam keadaan seperti ini. Aku sayang sama dia, tapi putranya hanya memanfaatkanku saja. Hidup memang sebuah pilihan, aku harus memilih walaupun itu berat."Ibu lapar? Aku ambilkan air minum dulu ya,
Perasaanku diliputi rasa khawatir usai menerima telepon dari mantan istriku. Aqilla sakit, badannya panas tinggi hingga kejang-kejang. Apa yang terjadi pada gadis mungilku? Aku sampai tak pedulikan Arini lagi. Aku yakin pasti Arini bertambah marah padaku. Tapi hal ini lebih darurat.Gegas kulajukan mobil menuju rumah kontrakan Elvina. Suasana malam, ramai dengan kendaraan membuat mobil ini tak bisa melaju dengan cepat.Aku turun dari mobil, Elvina sudah menungguku di teras. Dia terlihat begitu cemas. Beberapa kali dia menelepon tapi tak kugubris karena fokus menyetir. "Mas, kenapa kamu lama sekali?" sambutnya agak kesal. Wajah cantiknya ditekuk cemberut."Maaf El, tadi jalanan ramai sekali. Mana Aqilla?" tanyaku sekaligus mengalihkan pembicaraan."Ada di kamar. Ya sudah, cepetan Mas!" tukasnya.Segera aku menuju kamar Aqilla, putri mungilku itu tengah merintih kesakitan. Badannya benar-benar panas."Bukain pintu mobilnya, El.""Iya, Mas.""Kamu masuk dulu, biar Aqilla dipangku sama
"Mbak Arini bilang cuma mau beli obat sebentar, tapi sampai sekarang belum pulang juga. Udah dari jam setengah delapan malam lho Mas. Aku hubungi nomornya gak aktif. Kasihan lho, Mas, mana lagi hamil, sendirian lagi!"Deg! Aku shock mendengar penuturan Mbak Ulfa. Arini pergi? Rasanya kok gak mungkin."Mas, Mas Tiar masih dengar aku kan?""Eh, i-iya, Mbak.""Tolong Mas Tiar pulang, ini ibu sendirian di rumah. Beliau nangis terus karena Mbak Arini belum pulang-pulang. Takut terjadi apa-apa katanya. Cepat pulang ya Mas, nih anakku udah nyusul kesini minta dikelonin.""I-iya Mbak. Aku pulang sekarang.""Eh, tunggu, Mas, ini ibu mas mau ngomong sebentar," timpal Mbak Ulfa lagi.Tak berapa lama terdengar suara ibu yang tengah menangis. "Hallo Tiar, kamu dimana, Nak?""Emmh ... Aku di rumah El, Bu." Rupanya mendengar jawabannya membuat ibuku meradang."Apaa? Kamu masih berhubungan sama mantanmu itu? Jadi benar ucapan Arini?! Dasar bodoh! Pulang sekarang, Tiar! Cari Arini sampai ketemu!""Maa
"Bagus ya, dua hari menghilang, ponsel gak aktif, pulang-pulang bawa seorang laki-laki? Wanita macam apa kamu?!"Deg! Aku yang baru pulang langsung disambut ocehan suami yang tak tahu diri itu. Aku hanya menatapnya nanar. "Jadi kamu sudah selingkuh di belakang aku? Apa ini yang kamu lakukan, Arini? Kamu gak malu sama pendidikanmu yang tinggi itu?! Kamu gak malu sama kerudung yang kamu pakai itu? Ternyata sikapmu lebih buruk dari pada sampah!" tukas Mas Tiar emosi.Ck! Sudah salah malah menuduhku sembarangan pula. Enak saja! Memangnya hanya mulutmu saja yang bisa berkata seperti itu?"Cukup, Mas! Hentikan omong kosongmu itu! Yang selingkuh bukan aku tapi kamu! Yang sampah itu kamu, bukan aku. Untuk menutupi kebusukanmu, kamu menuduhku? Enak saja!" sentakku lagi.Hampir saja Mas Tiar menamparku, tapi lelaki yang mengantarku pulang segera menghalaunya."Jangan pakai kekerasan begini, Mas. Tak baik, apalagi istri anda sedang hamil.""Siapa anda berani mencampuri urusan rumah tanggaku!" t