"Lebih baik dia tak mengenal ayahnya. Dari pada harus memiliki seorang ayah yang pilih kasih, bahkan di awal kehadirannya pun tak pernah peduli!"
"Ya ampun Dek, kenapa kamu jadi seperti ini sih! Kamu seperti bukan Arini yang mas kenal. Kamu tega memisahkan anak dan ayahnya sendiri?" ucap Mas Bachtiar membela diri."Karena kamu duluan yang memulainya, Mas. Andai kamu bisa menghargai sedikit saja perasaanku, aku tak mungkin bersikap seperti ini. Kamu yang tega, Mas, bukan aku! Kamu pamer kemesraan dengan mantan istrimu itu tanpa memikirkan aku, sekarang setelah aku ingin pisah dari kamu, kamu gak mau. Kamu benar-benar laki-laki egois, Mas!""Maaf ya, Dek. Aku memang salah. Tolong jangan marah-marah seperti ini. Kamu sedang hamil lho, gak baik buat janin yang ada dalam kandunganmu.""Apa pedulimu melarangku marah-marah?""Jelas aku peduli karena aku suamimu!" pungkasnya lagi."Suami? Masih pantaskah kau disebut sebagai seorang suami?" Arini tersenyum sinis, pandangannya penuh dengan kemarahan.Entah kenapa kata-kata Arini begitu menohok hatiku. Aku tak boleh ikut tersulut emosi, nanti Arini bisa makin ilfil padaku. Aku sangat yakin, dia hanya emosi sesaat saja karena akhir-akhir ini aku lebih memperhatikan Aqilla."Sudah jangan marah-marah terus, Dek. Kamu hanya emosi sesaat. Sabarlah dulu. Pikirkan baik-baik, Dek, perpisahan bukan jalan akhirnya, kita bisa memperbaiki ini semua. Aku minta maaf. Aku janji akan mengurangi intensitas pertemuanku dengan Aqilla."Arini menggeleng pelan, kulihat butiran bening sudah menggenang di pelupuk matanya. "Hatiku sudah terlanjur sakit, Mas. Bukan masalah Aqilla, dia putrimu silakan saja kau temui dia karena kamu adalah ayahnya. Tapi yang jadi masalahnya, kamu itu memperlihatkan kemesraan dengan mantan istrimu itu! Bahkan kau membelikan rumah baru padahal kalian sudah tak ada lagi ikatan pernikahan. Kamu masih menyimpan cinta untuk Elvina bukan? Kalau kamu masih mau rujuk dengannya silakan saja. Tapi yang jelas, aku mundur!""Tidak, itu tidak benar. Bila kau minta aku untuk memutuskan hubungan dengannya, akupun rela, Dek. Tapi tolong jangan seperti ini lagi. Aku minta maaf. Mohon beri aku kesempatan kedua. Aku akan memperbaiki semuanya, Dek."Lagi-lagi Arini menggeleng cepat. Aaarrrggh, kenapa kamu membuatku semakin frustasi aja, Arini! Aku benar-benar kesal. Arini tak bisa diajak kompromi."Semuanya sudah terlambat. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin kita pisah. Kalau bisa aku minta kata talak darimu sekarang juga! Biar secepatnya kita terbebas! Dan takkan ada lagi yang menghalangimu kembali dengan mantan!" ujarnya dengan mata berkaca-kaca.Segera kupeluk tubuh Arini yang hendak pergi. Entah kenapa aku tak rela kehilangannya. Kalau aku berpisah dengan Arini, siapa yang akan merawat ibu. Arini, tolong jangan pergi.Ya, semua salahku. Salahku yang masih mencintai wanita yang sudah menjadi mantan. Rasa cintaku pada Elvina kembali tumbuh saat pertemuan kami empat bulan yang lalu.Tanpa sengaja, aku berpapasan dengannya di sebuah minimarket. Dia tengah memilih barang belanjaannya sembari menggandeng gadis kecil yang imut dan cantik."El ..." sapaku. Dia menoleh dan cukup terkejut melihat kehadiranku."Mas?" sapanya gugup.Aku tersenyum dan langsung berjongkok di hadapan gadis kecilku."Aqilla, ayah kangen sekali sama kamu, Nak," ucapku dan langsung memeluk tubuh mungilnya."Ayah ..." Untuk pertama kalinya setelah sekian lama aku bertemu lagi dengannya. Dan bibir mungilnya memanggilku seorang ayah. Aku benar-benar bahagia. Ini adalah hal yang paling kurindukan. Dipeluk oleh buah hatiku sendiri.Tak jemu kuciumi wajah mungil itu. "Ayah rindu sekali padamu, Nak. Ayah senang sekali bisa ketemu sama kamu lagi."Kugendong gadis mungilku ini, diapun terlihat senang. Dia terus tersenyum sambil memanggilku ayah."El, kamu apa kabar?" tanyaku.Elvina mengangguk. "Alhamdulillah aku baik-baik saja, Mas."Aku tersenyum, sudah satu tahun kami terpisah akhirnya bisa bertemu dengannya lagi. Entah kenapa dadaku berdebar-debar kembali."Kamu lagi belanja? Biar aku yang bayarin, El. Aku juga ingin ngobrol sebentar dengan kalian. Bisa kan? Kamu ada waktu?" tanyaku lagi penuh pengharapan."Iya, Mas.""Ambil semua yang kalian butuhkan, El. Aqilla mau apa? Es krim apa susu?""Mau es krim, Yah!""Hahaha, iya sayang. Ambil juga jajan yang kamu suka.""Asyiiik."Dengan girangnya Aqilla turun dari gendonganku lalu berlarian memilih es krim dan juga jajan kesukaannya. Aku membayar barang belanjaan Elvina. Sekali-kali tak apa kan aku menyenangkan mereka? Toh sudah lama juga aku gak pernah memberi Aqilla nafkah karena memang putus kontak."Ya sudah kita sekalian makan bersama ya," ajakku.Aku sangat bersyukur saat itu tak ada kata penolakan dari Elvina. Kami makan bersama di restoran cepat saji. Aqilla yang sudah bertambah besar, dia bisa makan sendiri dengan lahap.Kami terlibat perbincangan seru. Elvina juga banyak bercerita tentang kehidupannya pasca pisah dariku. Ternyata yang dia lalui pun tak mudah, ia harus bekerja keras sendirian untuk menghidupi dirinya dan juga Aqilla."Jadi kamu bekerja selama ini?""Iya, Mas.""Terus Aqilla sama siapa?""Aku titipkan dia di penitipan anak.""Biar Aqilla ikut aku saja. Dia gak akan kekurangan, dan lagi akan ada yang mengurusnya dengan baik."Dia terdiam sambil memandangku dengan tatapan entah."Aku sudah menikah lagi, El. Aku yakin Arini pasti bisa menerima Aqilla. Nanti akan kukenalkan kamu dengannya."Setelah pertemuan hari itu, akupun mengantarnya pulang dan meminta nomor teleponnya. Beberapa hari kemudian aku membawa Arini pergi menemui Elvina dan juga putriku. Walaupun baru pertama kali bertemu, mereka terlihat akrab. Arini memang supel, mungkin karena kebiasaannya dulu adalah seorang perawat. Tapi saat aku kembali mengutarakan keinginanku agar Aqilla tinggal bersama kami, Elvina menolak. Dia bahkan menangis dan meraung."Mas, kita memang sudah berpisah, tapi jangan pisahkan aku dengan Aqilla. Dia anakku, Mas! Aku gak bisa hidup tanpanya!"Karena ucapannya itulah, aku tak lagi memaksa agar Aqilla tinggal bersama lagi. Dan sejak hari itu aku berjanji akan memberi nafkah untuk Aqilla. Nafkah yang selama ini belum kutunaikan sejak berpisah. Hari berganti hari, aku jadi sering mengunjungi putriku, ya selain itu akupun ingin bertemu dengan Elvina yang terlihat makin cantik. Semua keinginan Aqilla berusaha kupenuhi. Termasuk keinginan El yang ingin punya rumah agar tidak mengontrak lagi."Mas, maaf aku meminta ini sama kamu. Sebenarnya aku malu, tapi tolong ini demi Aqilla, kami ingin tempat tinggal yang layak, biar tak perlu pindah kesana-kemari karena tinggal di kontrakan. Kasihan Aqilla, Mas."Aku tersenyum, aku mengerti kegundahannya. "Baiklah, aku akan mencari perumahan untuk kalian.""Beneran, Mas?""Iya, kau tenang saja. Aku ada penghasilan dari bisnis sampingan selain bekerja, jadi pasti uangnya cukup untuk DP."Elvina tersenyum sumringah. Kebersamaan kami pun semakin dekat, bahkan seperti keluarga yang masih utuh.Hingga aku melupakan Arini di rumah hanya dalam hitungan bulan saja."Lepaskan aku, Mas!" Arini meronta dari dekapanku. Tanpa sadar aku mendekapnya begitu erat."Uhukk-uhukk ...!" Arini terbatuk, segera kulepas pelukanku."Arini, maaf. Aku---""Kau sudah gila ya, Mas! Kau hampir membunuhku! Nafasku sesak banget gara-gara kamu memelukku seperti itu!" ucapnya tersengal-sengal.Aku mengusap wajah dengan kasar. "Maafkan aku, Dek."Arini berlalu pergi meninggalkanku sendiri di kamar.Braakkk ... Pintu tertutup cukup kencang. Duh, salah lagi aku!Rasanya percuma terus berdebat dengan Mas Tiar. Dia takkan mau kalah, dia pun takkan mau pergi dari sini. Mungkin biar aku saja yang pergi. Dari awal tempatku memang bukan di sini.Kuhela nafas dalam-dalam. Ah kenapa dadaku rasanya sesak sekali, sakiiit. Kulihat keluar, hari sudah mulai gelap. Akan kupikirkan caranya nanti malam. Gegas menutup jendela yang masih terbuka agar nyamuk tak masuk. Aku masuk ke kamar ibu, beliau terlihat memejamkan matanya. "Bu, bangun, Bu. Hampir maghrib, jangan tidur, Bu." Aku menggoyangkan tubuh ibu agar dia terbangun. karena tidur menjelang maghrib tak baik untuk kesehatan.Ibu terkesiap kaget, dia menoleh ke kanan dan ke kiri mungkin belum sepenuhnya sadar. Dia beringsut untuk duduk. Aku hanya memandangnya saja. Rasanya tak rela meninggalkan ibu mertuaku dalam keadaan seperti ini. Aku sayang sama dia, tapi putranya hanya memanfaatkanku saja. Hidup memang sebuah pilihan, aku harus memilih walaupun itu berat."Ibu lapar? Aku ambilkan air minum dulu ya,
Perasaanku diliputi rasa khawatir usai menerima telepon dari mantan istriku. Aqilla sakit, badannya panas tinggi hingga kejang-kejang. Apa yang terjadi pada gadis mungilku? Aku sampai tak pedulikan Arini lagi. Aku yakin pasti Arini bertambah marah padaku. Tapi hal ini lebih darurat.Gegas kulajukan mobil menuju rumah kontrakan Elvina. Suasana malam, ramai dengan kendaraan membuat mobil ini tak bisa melaju dengan cepat.Aku turun dari mobil, Elvina sudah menungguku di teras. Dia terlihat begitu cemas. Beberapa kali dia menelepon tapi tak kugubris karena fokus menyetir. "Mas, kenapa kamu lama sekali?" sambutnya agak kesal. Wajah cantiknya ditekuk cemberut."Maaf El, tadi jalanan ramai sekali. Mana Aqilla?" tanyaku sekaligus mengalihkan pembicaraan."Ada di kamar. Ya sudah, cepetan Mas!" tukasnya.Segera aku menuju kamar Aqilla, putri mungilku itu tengah merintih kesakitan. Badannya benar-benar panas."Bukain pintu mobilnya, El.""Iya, Mas.""Kamu masuk dulu, biar Aqilla dipangku sama
"Mbak Arini bilang cuma mau beli obat sebentar, tapi sampai sekarang belum pulang juga. Udah dari jam setengah delapan malam lho Mas. Aku hubungi nomornya gak aktif. Kasihan lho, Mas, mana lagi hamil, sendirian lagi!"Deg! Aku shock mendengar penuturan Mbak Ulfa. Arini pergi? Rasanya kok gak mungkin."Mas, Mas Tiar masih dengar aku kan?""Eh, i-iya, Mbak.""Tolong Mas Tiar pulang, ini ibu sendirian di rumah. Beliau nangis terus karena Mbak Arini belum pulang-pulang. Takut terjadi apa-apa katanya. Cepat pulang ya Mas, nih anakku udah nyusul kesini minta dikelonin.""I-iya Mbak. Aku pulang sekarang.""Eh, tunggu, Mas, ini ibu mas mau ngomong sebentar," timpal Mbak Ulfa lagi.Tak berapa lama terdengar suara ibu yang tengah menangis. "Hallo Tiar, kamu dimana, Nak?""Emmh ... Aku di rumah El, Bu." Rupanya mendengar jawabannya membuat ibuku meradang."Apaa? Kamu masih berhubungan sama mantanmu itu? Jadi benar ucapan Arini?! Dasar bodoh! Pulang sekarang, Tiar! Cari Arini sampai ketemu!""Maa
"Bagus ya, dua hari menghilang, ponsel gak aktif, pulang-pulang bawa seorang laki-laki? Wanita macam apa kamu?!"Deg! Aku yang baru pulang langsung disambut ocehan suami yang tak tahu diri itu. Aku hanya menatapnya nanar. "Jadi kamu sudah selingkuh di belakang aku? Apa ini yang kamu lakukan, Arini? Kamu gak malu sama pendidikanmu yang tinggi itu?! Kamu gak malu sama kerudung yang kamu pakai itu? Ternyata sikapmu lebih buruk dari pada sampah!" tukas Mas Tiar emosi.Ck! Sudah salah malah menuduhku sembarangan pula. Enak saja! Memangnya hanya mulutmu saja yang bisa berkata seperti itu?"Cukup, Mas! Hentikan omong kosongmu itu! Yang selingkuh bukan aku tapi kamu! Yang sampah itu kamu, bukan aku. Untuk menutupi kebusukanmu, kamu menuduhku? Enak saja!" sentakku lagi.Hampir saja Mas Tiar menamparku, tapi lelaki yang mengantarku pulang segera menghalaunya."Jangan pakai kekerasan begini, Mas. Tak baik, apalagi istri anda sedang hamil.""Siapa anda berani mencampuri urusan rumah tanggaku!" t
"Arini!! Tega kamu ninggalin aku kayak gini?! Arini ...!"Aaarrrggh ...! Rasanya geram sekali, Arini benar-benar pergi meninggalkanku. Kukepalkan tangan ke udara rasanya ingin kutonjok lagi wajah dokter yang sok kegantengan itu."Ada apa Mas?" tanya Mbak Ulfa menghampiriku. Beberapa orang sudah berkumpul sambil bisik-bisik tetangga. Mungkin mereka sudah melihat aksi labrakanku pada dokter muda itu. "Mbak lihat sendiri kan? Istriku pergi sama laki-laki lain. Dia berani main api di belakangku."Semua tampak terkejut mendengar penuturanku. Rasain saja kau Arini! Biar semua orang tahu kalau kamu memang perempuan murahan."Rasanya gak mungkin Mbak Arini begitu, Mas. Pasti ada kesalahpahaman, lebih baik dibicarakan lagi baik-baik Mas, aku yakin kok, mbak Arini gak pernah neko-neko.""Ya dulu dia memang polos, tapi sekarang sudah dicuci otaknya sama laki-laki sialan itu! Dia tega ninggalin aku sama ibu demi laki-laki itu."Kesal sekali dibuatnya, meski aku sudah menjelekkannya, mereka tak p
[Mas, ibu mas ngilang lho gak ada di kamarnya. Tadi pulang kondangan, aku langsung nengokin ibu mas, tapi beliau udah gak ada, gak ada yang tau kemana]Rasanya shock, benar-benar shock. Ibu menghilang? Lalu kemana? Ibu kan gak bisa jalan. Astaga! Duh, aku jadi orang ceroboh banget ya, gara-gara mabuk kepayang sampai lupa ibu sendiri di rumah. Ibu sendirian bagaimana cara ibu pergi?"Mas? Hei, Mas? Kok bengong sih? Kenapa wajahmu shock begitu?" Tangan Elvina dadah-dadah di depan wajahku."Kamu kenapa, Mas?" tanyanya lagi."El, aku harus pulang dulu. Aku harus cari ibu," jawabku panik."Lho memangnya ibu kemana?""Aku lupa ninggalin ibu sendirian El, sekarang ibu ngilang gak ada di rumahnya.""Jangan ngaco kamu, Mas! Kamu kata siapa?" "Ini kata Mbak Ulfa.""Memangnya kemarin kamu gak nitipin ibu ke tetangga?" tanya Elvina, keningnya berkerut tampak berpikir.Aku menggeleng pelan. "Mbak Ulfa kemarin berhalangan. Aku benar-benar lupa, El."Elvina terdiam, menatapku dengan tatapan entah.
"Aku tadi siang ke kantor kamu, ingin mengajakmu makan siang sama-sama. Tapi ternyata kantormu itu hampir gulung tikar! Hanya beberapa orang saja yang masih bekerja di sana. Sementara kamu?! Kamu kena PHK! Kenapa kamu bohong padaku, Mas? Kenapa?""El ...""Kamu mau ngomong apa, Mas? Mau ngomong kalau semua itu benar hmmm?" Rasanya benar-benar Emosi, Mas Tiar sudah membohongiku. "El, Maaf. Aku memang belum cerita semuanya sama kamu. Kamu selalu memotong pembicaraanku dan menggebu-gebu menceritakan yang lainnya. Aku cuma tak ingin kamu kecewa.""Dan sekarang aku sudah kecewa, Mas. Aku nyesel. Nyesel bisa rujuk lagi sama kamu!""Kok kamu ngomong gitu, El? Mana sikap manis yang kau tunjukkan kemarin-kemarin sampai pagi tadi?" Aku memalingkan wajah. Geram sekali dengan lelaki yang ada di hadapanku ini. Berani-beraninya dia berbohong padaku. Aku masuk ke dalam rumah, mengambil beberapa lembar bajunya."Nih silakan kamu pergi, Mas! Kembali saja pada ibumu yang lumpuh itu! Gak usah kesini
"Kamu kenapa? Kok diem terus dari tadi?" Aku menoleh ke arah dokter Ardhy yang tengah fokus menyetir. Entah kenapa pria ini mau membantuku."Maaf dokter, kalau dokter merasa terganggu. Saya hanya kepikiran dengan ibu mertuaku. Tadi nangis-nangis, rasanya gak tega ninggalin beliau.""Hidup adalah pilihan. Dan kamu harus bisa terima konsekuensinya."Aku mengangguk. "Terima kasih, dokter, sudah mau membantu saya."Lelaki berlesung pipit itu tersenyum kecil. "Tidak perlu sungkan begitu, kita ini kan teman. Dan Arini ...""Ya, dok?""Emmh tolong jangan panggil saya dokter, kalau kita sedang tidak bekerja.""Tapi dok--"Dia menggeleng lagi. "Panggil nama saja, biar gak terlalu formal."Aku hanya mengangguk. Rasanya benar-benar sungkan. "Nah, sudah sampai. Kita turun dulu, Arini."Aku mengangguk."Ini rumah sepupuku yang kuceritakan kemarin itu. Rumahnya kosong udah hampir setahun. Karena orangnya sedang melanjutkan studi di luar negeri. Ayo masuk!" ajaknya setelah membuka kuncinya.Khas