Part 4
Aku mengusap wajah dengan kasar. Melihat Arini pergi meninggalkanku sendiri di depan rumah Elvina.Apa-apaan maksudnya itu?! Mengembalikanku pada Elvina? Dia pikir aku barang?! Tak habis pikir dengan pemikirannya yang sembrono. Bikin makin pusing aja hidupku ini. Masalah hutang piutang belum beres, dia malah menelantarkanku di sini.Kuembuskan nafas panjang berkali-kali sambil berkacak pinggang. Istriku itu sudah tak terlihat dalam pandangan lagi.Tak bisa dibiarkan dia menghinaku dan berlaku tak sopan seperti ini padaku. Awas saja kalau aku pulang ke rumah, biar kuberi pelajaran kamu, Arini!Aku heran aja, kenapa tingkahnya sekarang berbeda, tidak seperti Arini yang kukenal awal dulu, seorang perempuan yang sangat lembut.Arrghh! Kepalaku terasa berdenyut-denyut memikirkan segala masalah hari ini. Bagaimana aku mendapatkan uang itu? Padahal aku sangat yakin kalau Arini punya simpanan uang, jatah bulananku pasti lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan juga kebutuhan ibu.Aku duduk di teras rumah minimalis ini. Entah kenapa Elvina tak kunjung keluar lagi, padahal ini pun menyangkut dirinya.Tok ... Tok ... Tok ... Kuketuk pintu bercat biru elektrik itu."El ...?" Aku memanggilnya dengan lembut. Sebelum pulang, aku perlu bicara dulu dengannya. Siapa tau dia punya solusinya.Tak lama pintu terbuka, terlihat sesosok wanita yang masih membuat hati ini selalu bergetar. Dia tersenyum, senyum yang manis, senyum yang selalu kurindukan tiap malam. Bolehlah dikata aku masih belum melupakannya. Hanya status saja yang kini berubah, tapi perasaanku masih tetap sama. Ada segenggam cinta untuknya."Masuk, Mas. Maaf lama, tadi nidurin Aqilla dulu."Aku mengangguk."Duduk dulu ya, biar kubikin minuman.""Iya, makasih, El."Hanya beberapa menit saja dia keluar dengan segelas kopi susu kesukaanku. Ya, tentu saja dia masih hafal dengan semua kesukaan dan juga kebiasaanku. Lima tahun kami mengarungi bahtera rumah tangga bersama tapi akhirnya kandas. Padahal aku masih ingin terus bersamanya, tapi ibu sudah tak merestui kami lagi. Kami berpisah karena sebuah kesalahpahaman. Ya, menurutku begitu. Elvina dan ibu bertengkar hebat. Hingga dia memilih pergi meninggalkan kami.Hari itu, saat pulang dari kantor, kulihat Elvina sudah mengemasi baju-bajunya dan juga Aqilla yang saat itu masih berusia tiga setengah tahun."El, kok kamu masuk-masukin baju ke dalam koper, kenapa? Ada apa?""Tanya saja sama ibumu itu!" jawabnya dengan nada ketus."Ada apa sih?""Aku mau pergi, Mas! Aku sudah gak kuat tinggal di sini lagi, apalagi merawat ibumu yang lumpuh itu! Aku gak kuat sudah lumpuh tapi masih banyak maunya!!"Deg! Entah kenapa darahku seolah mendidih mendengar ucapan istriku saat itu. Di depanku sendiri dia menghina ibuku. Padahal ibu yang sudah menyelamatkan Aqilla dari maut. Dia berkorban demi anak kami."Pasti kamu yang sudah salah paham, El. Ibu kan sangat menyayangimu. Tidak mungkin ibu marah-marah kan? Ayo coba kamu minta maaf saja, El.""Tidak mau dan tidak akan pernah mau aku minta maaf sama ibumu yang gak guna itu! Bisanya cuma nyusahin saja!"Plaaakk ...! Tiba-tiba saja aku refleks menampar pipinya.Seketika wajahnya memerah, dia menatapku tajam tapi kemudian berlalu begitu saja meninggalkanku. Elvina pergi meninggalkan rumah ini bersama dengan putri kesayangan kami. Bahkan tak ada kata pamit lagi."El, tunggu, El! Kita belum selesai bicara! Aku minta maaf, El! Aku gak bermaksud menyakitimu!" panggilku tapi dia tak menggubrisnya. Seketika rasa penyesalan menghampiriku, kenapa aku malah menamparnya? Tapi kata-katanya sudah keterlaluan menghina ibu.Gegas aku mengejarnya, tapi Elvina cepat sekali pergi, mereka langsung naik taksi yang melintas hingga aku gagal mengejarnya.Aku berjalan menuju kamar ibu. Kulihat wanita yang sudah melahirkan ku itu tengah tersedu."Bu, sebenarnya ada masalah apa sih Bu? Antara ibu dengan Elvina? Ibu minta apa padanya? Sampai Elvina marah-marah?"" tanyaku pada ibu.Ibu justru menangis. "Ibu gak kuat dengan caci makinya, dia selalu menghina ibu, sikapnya pada ibu juga sangat kasar!""Tapi Bu, jadinya sekarang Elvina pergi, dia pergi bersama Aqilla.""Dasar istrimu itu tidak tahu diri! Sudah bagus dia pergi! telinga ibu hampir pecah mendengar ocehannya!" pekik ibu dengan nada ketus.Ah, kalau begini tak ada yang mau disalahkan, semua keukeuh dengan perasaannya masing-masing.Aku hendak pergi, tapi ibu mencegahku."Kamu mau kemana, Tiar?""Cari istri dan anakku.""Tidak usah dicari lagi! Kalau dia masih cinta sama kamu, dia pasti akan kembali. Biarkan saja dia pergi!""Tapi, Bu--""Ingat Bachtiar, ada bekas istri tapi tidak ada bekas ibu!"Seketika kuurungkan niatku untuk mencari El dan Aqilla. Berbalik dan menatap wajah ibu yang sudah mulai keriput. Beliau terlihat sangat sedih.Sejak kepergian Elvina, aku sudah mencarinya kemana-mana, tapi hasilnya nihil. Aku tak bisa menemukannya, kami benar-benar hilang kontak. Ya, Elvina memutuskan hubungan secara sepihak. Hingga dua bulan kemudian kuterima surat cerai dari pengadilan. Aku dan Elvina benar-benar resmi bercerai. Tak bisa kulukiskan perasaanku saat itu, hancur dan patah bercampur padu jadi satu. Apalagi aku tak bisa menemui buah hati kesayanganku. Elvina, kenapa kau tega?"Mas?! Hei, Mas Tiar, kenapa ngelamun aja dari tadi?"Aku terkesiap mendengar tepukan tangannya di pahaku. Seketika ingatan tentang masa lalu lenyap begitu saja. Aku menoleh melihat Elvina tengah duduk di sampingku. Dia tersenyum memandangku."Kenapa dari tadi melamun?" tanyanya lagi."El, sebenarnya aku---""Eits tunggu sebentar Mas, gimana dengan rumah barunya? Udah mulai bisa ditempati kan? Aku sudah gak sabar ingin pindah ke sana. Kapan kau akan mengantar kami pindah? Tuh, sebagian barang sudah kupacking. Terima kasih ya Mas, jadi aku gak perlu bayar kontrakan untuk sewa rumah ini lagi.""El--""Mas, kamu tau gak. Saat Aqilla tahu kalau akan pindah ke rumah baru, dia senang banget. Ekspresinya sangat lucu."Elvina menghela nafasnya dalam-dalam. "Gak kerasa ya, Mas, anak kita sudah besar. Andai saja kita masih bersama--" Entah kenapa ucapannya menggantung di udara.Tetiba dia tertawa kecil. "Hahaha, itu gak mungkin. Kamu kan sudah punya keluarga baru. Tapi kalau lihat Aqilla jadi kasihan, orang tuanya harus tinggal terpisah. Aku jadi merasa bersalah padanya. Aku merasa jadi ibu yang egois. Kalau pagi hingga siang aku harus menitipkan Aqilla pada orang lain, sementara aku harus bekerja."Rasanya percuma aku bilang pada Elvina, dia mungkin tak mau mengerti tentang keadaanku saat ini. Lebih baik aku pulang dulu, selesaikan masalahku dengan Arini. Dia tak mungkin marah berlarut-larut kan?"Maaf El, aku harus pulang dulu.""Lho, kok cepetan? Biasanya juga sampai malam di sini? Gak mau nungguin Aqilla bangun? Terus kita makan malam seperti biasa? Aku mau masak dulu nih!"Aku hanya tersenyum. "Lain kali saja ya, El, aku masih ada urusan."Aku sempat menangkap kekecewaan di wajah Elvina. Apakah benar dia masih mengharapkanku? Walau kami sering bersama tapi aku masih belum berani mengatakan kata rujuk padanya. Biarlah nanti saja.Gegas aku kembali pulang, naik ojek yang melintas.Keningku mengernyit, melihat dua koperku yang berjejer di teras. Sementara pintu tertutup sempurna. Aku membuka salah satunya melihat bajuku tertumpuk di sana.Apa-apaan sih ini Arini? Kenapa bajuku ada di luar segala? Jangan-jangan dia mau mengusirku ya? Huh, dasar!Part 5Aku tak pernah tahu Arini akan marah besar atas sikapku selama ini. Kami bertengkar hebat. Biasanya Arini selalu diam tapi kini dia berani marah-marah gak jelas bahkan mengusirku dari rumah sendiri. Bahkan aku sangat shock saat dia mengatakan ingin pisah dariku di depan ibu. Apakah dia tidak memikirkan perasaan ibu? "Keputusanku sudah bulat. Aku ingin pisah darimu. Akan kuurus semua berkasnya!""Tidak Dek. Tolong jangan seperti ini--" Dia menggeleng cepat, wajahnya menunjukkan kalau dia sangat kecewa. Aku benar-benar shock mendengarnya. Apalagi terngiang semua ucapannya. 'Aku memintamu mengantarku periksa kandungan kau menolak, aku memintamu mengantarku belanja bulanan kau menolak. Aku memintamu untuk sekedar makan malam bersama, kau pun menolak. Dan kamu selalu menolaknya karena kau lebih memilih ingin menghabiskan waktu bersama Aqilla dan juga ibunya. Apa kau lupa dalam rahimku ini pun adalah calon anakmu?'Ungkapan kekesalannya itu seperti tamparan bertubi-tubi untukku.
"Lebih baik dia tak mengenal ayahnya. Dari pada harus memiliki seorang ayah yang pilih kasih, bahkan di awal kehadirannya pun tak pernah peduli!""Ya ampun Dek, kenapa kamu jadi seperti ini sih! Kamu seperti bukan Arini yang mas kenal. Kamu tega memisahkan anak dan ayahnya sendiri?" ucap Mas Bachtiar membela diri."Karena kamu duluan yang memulainya, Mas. Andai kamu bisa menghargai sedikit saja perasaanku, aku tak mungkin bersikap seperti ini. Kamu yang tega, Mas, bukan aku! Kamu pamer kemesraan dengan mantan istrimu itu tanpa memikirkan aku, sekarang setelah aku ingin pisah dari kamu, kamu gak mau. Kamu benar-benar laki-laki egois, Mas!""Maaf ya, Dek. Aku memang salah. Tolong jangan marah-marah seperti ini. Kamu sedang hamil lho, gak baik buat janin yang ada dalam kandunganmu." "Apa pedulimu melarangku marah-marah?""Jelas aku peduli karena aku suamimu!" pungkasnya lagi."Suami? Masih pantaskah kau disebut sebagai seorang suami?" Arini tersenyum sinis, pandangannya penuh dengan kem
Rasanya percuma terus berdebat dengan Mas Tiar. Dia takkan mau kalah, dia pun takkan mau pergi dari sini. Mungkin biar aku saja yang pergi. Dari awal tempatku memang bukan di sini.Kuhela nafas dalam-dalam. Ah kenapa dadaku rasanya sesak sekali, sakiiit. Kulihat keluar, hari sudah mulai gelap. Akan kupikirkan caranya nanti malam. Gegas menutup jendela yang masih terbuka agar nyamuk tak masuk. Aku masuk ke kamar ibu, beliau terlihat memejamkan matanya. "Bu, bangun, Bu. Hampir maghrib, jangan tidur, Bu." Aku menggoyangkan tubuh ibu agar dia terbangun. karena tidur menjelang maghrib tak baik untuk kesehatan.Ibu terkesiap kaget, dia menoleh ke kanan dan ke kiri mungkin belum sepenuhnya sadar. Dia beringsut untuk duduk. Aku hanya memandangnya saja. Rasanya tak rela meninggalkan ibu mertuaku dalam keadaan seperti ini. Aku sayang sama dia, tapi putranya hanya memanfaatkanku saja. Hidup memang sebuah pilihan, aku harus memilih walaupun itu berat."Ibu lapar? Aku ambilkan air minum dulu ya,
Perasaanku diliputi rasa khawatir usai menerima telepon dari mantan istriku. Aqilla sakit, badannya panas tinggi hingga kejang-kejang. Apa yang terjadi pada gadis mungilku? Aku sampai tak pedulikan Arini lagi. Aku yakin pasti Arini bertambah marah padaku. Tapi hal ini lebih darurat.Gegas kulajukan mobil menuju rumah kontrakan Elvina. Suasana malam, ramai dengan kendaraan membuat mobil ini tak bisa melaju dengan cepat.Aku turun dari mobil, Elvina sudah menungguku di teras. Dia terlihat begitu cemas. Beberapa kali dia menelepon tapi tak kugubris karena fokus menyetir. "Mas, kenapa kamu lama sekali?" sambutnya agak kesal. Wajah cantiknya ditekuk cemberut."Maaf El, tadi jalanan ramai sekali. Mana Aqilla?" tanyaku sekaligus mengalihkan pembicaraan."Ada di kamar. Ya sudah, cepetan Mas!" tukasnya.Segera aku menuju kamar Aqilla, putri mungilku itu tengah merintih kesakitan. Badannya benar-benar panas."Bukain pintu mobilnya, El.""Iya, Mas.""Kamu masuk dulu, biar Aqilla dipangku sama
"Mbak Arini bilang cuma mau beli obat sebentar, tapi sampai sekarang belum pulang juga. Udah dari jam setengah delapan malam lho Mas. Aku hubungi nomornya gak aktif. Kasihan lho, Mas, mana lagi hamil, sendirian lagi!"Deg! Aku shock mendengar penuturan Mbak Ulfa. Arini pergi? Rasanya kok gak mungkin."Mas, Mas Tiar masih dengar aku kan?""Eh, i-iya, Mbak.""Tolong Mas Tiar pulang, ini ibu sendirian di rumah. Beliau nangis terus karena Mbak Arini belum pulang-pulang. Takut terjadi apa-apa katanya. Cepat pulang ya Mas, nih anakku udah nyusul kesini minta dikelonin.""I-iya Mbak. Aku pulang sekarang.""Eh, tunggu, Mas, ini ibu mas mau ngomong sebentar," timpal Mbak Ulfa lagi.Tak berapa lama terdengar suara ibu yang tengah menangis. "Hallo Tiar, kamu dimana, Nak?""Emmh ... Aku di rumah El, Bu." Rupanya mendengar jawabannya membuat ibuku meradang."Apaa? Kamu masih berhubungan sama mantanmu itu? Jadi benar ucapan Arini?! Dasar bodoh! Pulang sekarang, Tiar! Cari Arini sampai ketemu!""Maa
"Bagus ya, dua hari menghilang, ponsel gak aktif, pulang-pulang bawa seorang laki-laki? Wanita macam apa kamu?!"Deg! Aku yang baru pulang langsung disambut ocehan suami yang tak tahu diri itu. Aku hanya menatapnya nanar. "Jadi kamu sudah selingkuh di belakang aku? Apa ini yang kamu lakukan, Arini? Kamu gak malu sama pendidikanmu yang tinggi itu?! Kamu gak malu sama kerudung yang kamu pakai itu? Ternyata sikapmu lebih buruk dari pada sampah!" tukas Mas Tiar emosi.Ck! Sudah salah malah menuduhku sembarangan pula. Enak saja! Memangnya hanya mulutmu saja yang bisa berkata seperti itu?"Cukup, Mas! Hentikan omong kosongmu itu! Yang selingkuh bukan aku tapi kamu! Yang sampah itu kamu, bukan aku. Untuk menutupi kebusukanmu, kamu menuduhku? Enak saja!" sentakku lagi.Hampir saja Mas Tiar menamparku, tapi lelaki yang mengantarku pulang segera menghalaunya."Jangan pakai kekerasan begini, Mas. Tak baik, apalagi istri anda sedang hamil.""Siapa anda berani mencampuri urusan rumah tanggaku!" t
"Arini!! Tega kamu ninggalin aku kayak gini?! Arini ...!"Aaarrrggh ...! Rasanya geram sekali, Arini benar-benar pergi meninggalkanku. Kukepalkan tangan ke udara rasanya ingin kutonjok lagi wajah dokter yang sok kegantengan itu."Ada apa Mas?" tanya Mbak Ulfa menghampiriku. Beberapa orang sudah berkumpul sambil bisik-bisik tetangga. Mungkin mereka sudah melihat aksi labrakanku pada dokter muda itu. "Mbak lihat sendiri kan? Istriku pergi sama laki-laki lain. Dia berani main api di belakangku."Semua tampak terkejut mendengar penuturanku. Rasain saja kau Arini! Biar semua orang tahu kalau kamu memang perempuan murahan."Rasanya gak mungkin Mbak Arini begitu, Mas. Pasti ada kesalahpahaman, lebih baik dibicarakan lagi baik-baik Mas, aku yakin kok, mbak Arini gak pernah neko-neko.""Ya dulu dia memang polos, tapi sekarang sudah dicuci otaknya sama laki-laki sialan itu! Dia tega ninggalin aku sama ibu demi laki-laki itu."Kesal sekali dibuatnya, meski aku sudah menjelekkannya, mereka tak p
[Mas, ibu mas ngilang lho gak ada di kamarnya. Tadi pulang kondangan, aku langsung nengokin ibu mas, tapi beliau udah gak ada, gak ada yang tau kemana]Rasanya shock, benar-benar shock. Ibu menghilang? Lalu kemana? Ibu kan gak bisa jalan. Astaga! Duh, aku jadi orang ceroboh banget ya, gara-gara mabuk kepayang sampai lupa ibu sendiri di rumah. Ibu sendirian bagaimana cara ibu pergi?"Mas? Hei, Mas? Kok bengong sih? Kenapa wajahmu shock begitu?" Tangan Elvina dadah-dadah di depan wajahku."Kamu kenapa, Mas?" tanyanya lagi."El, aku harus pulang dulu. Aku harus cari ibu," jawabku panik."Lho memangnya ibu kemana?""Aku lupa ninggalin ibu sendirian El, sekarang ibu ngilang gak ada di rumahnya.""Jangan ngaco kamu, Mas! Kamu kata siapa?" "Ini kata Mbak Ulfa.""Memangnya kemarin kamu gak nitipin ibu ke tetangga?" tanya Elvina, keningnya berkerut tampak berpikir.Aku menggeleng pelan. "Mbak Ulfa kemarin berhalangan. Aku benar-benar lupa, El."Elvina terdiam, menatapku dengan tatapan entah.