"Apa maksudnya barang bekas?"Lila melotot tak suka pada Mas Rudy. Yang ditatap masih tak acuh, malah menimang korek gas yang baru dikeluarkan dari saku celana. "Bukannya ada perhiasan sepuluh gram sama uang sepuluh juta? Aku lihat, kok, waktu itu. Bener kan, Mas?"Aku terkesiap mendengarnya. Begitu juga Mas Rudy yang kini menatapku dengan sorot bertanya.Kini perhatian Lila terpusat pada lelaki yang berdiri di sampingnya. Mas Damar menghela napas, lantas membuang wajah."Mas, kok kamu diem aja, sih?" Lila bertanya tak sabar."Udah, kita pulang aja. Pagi-pagi sudah cari perkara kamu!" geram Mas Damar."Ya mana bisa pulang, belum selesai ini urusannya."Kardus yang sejak tadi dipegang, sekarang ditumpahkan oleh Lila, hingga isinya berhamburan di teras. Dia mulai mencari apa yang beberapa saat tadi ia sebutkan. Ia nampak frustasi saat tak menemukan apa pun di antara kain-kain, sandal, sepatu, tas, serta
Nadira telah menghilang di ujung jalan. Meninggalkan rasa bersalah yang besar pada lelaki yang bergelar kakak sulung ini.Aku seperti tak mengenal adikku lagi. Ia bahkan mengabaikan tatapan dari tetangga yang bermunculan dan melihat tontonan gratis beberapa saat tadi.Entah apa yang telah ia lalui selama kami terpisah jarak ribuan kilometer. Ia bahkan tak membagi luka yang tengah ia rasa.Aku menengadah, melihat langit-langit rumah. Baru tersadar kalau semua kayu dan genteng di rumah ini masih baru dan bagus. Ke mana saja aku selama ini, hingga tak tau ada hal buruk menimpa keluargaku?Kucari ibu, ingin bertanya kenapa aku tak diberitahu perihal robohnya atap rumah ini. Meski aku sempat menghilang dan baru kembali, bukankah aku anak lelaki, yang bertanggung jawab atas adik-adik dan ibuku sepeninggal ayah?Mengedarkan pandangan dan mencari ke sekeliling rumah, tapi ibu tak juga terlihat. Kemana perginya sepagi ini?Kutemukan
POV NadiraAku sedang menyeruput kopi hitam di jam istirahat, saat Mbak Ira–teman kuliah Mas Damar–datang tergopoh-gopoh menghampiri. "Nadira, kamu beneran udah putus sama Damar?"Ia bertanya tak sabar, lalu ndusel-ndusel- di kursi sempit yang sedang kududuki. Aku tersenyum melihat tingkahnya, lalu bergeser ke kursi sebelah."Iya. Kenapa, sih, Mbak?""Akhirnya … . Seneng Mbak dengernya. Lihat itu, Mas Adi, dia yang paling seneng waktu dapat kabar kamu nggak jadi sama Damar."Aku melirik pria berambut sebahu yang tengah tersenyum ke arahku. Ia sedikit menganggukkan kepala saat aku melihatnya. Mereka berdua teman seangkatan dengan Mas Damar, sedangkan Mbak Ira dulu pernah kerja di sini juga, hanya saja ia sudah pindah."Kamu kan nggak tau dia kayak gimana kalau di luar. Kita-kita, nih, yang cemas sama kamu," ujar Mbak Ira lagi.Aku tau kalau sejak awal mereka berdua kurang setuju dengan hubunganku dengan Mas Dama
Suara televisi masih terdengar ketika aku sampai di rumah. Mas Rudy masih terjaga rupanya."Baru pulang, Ra?" sapanya, yang kujawab dengan anggukan, lalu meraih punggung tangannya untuk kukecup.Ibu berada tak jauh dari ia duduk, sudah terlelap dengan posisi miring menghadap anak lelakinya. Ibu menggunakan kedua tangan sebagai bantalan. Semenjak Mas Rudy di rumah, sepertinya ibu lebih sering tertidur di sini. Nampaknya beliau tak mau jauh dari anak sulungnya. Semoga saja Mas Rudy mengerti, kalau kondisi kesehatan ibu membaik sejak ia berada di rumah.Kukecup pelan kening ibu, takut membangunkan. Kubetulkan selimutnya hingga ke leher. Salma segera menghambur ke luar kamar tak lama kemudian."Mana pesananku, Mbak?" sambutnya, lalu ikut bergabung di ruang tengah. Kuulurkan martabak bertabur keju kesukaannya. Ia menyambutnya dengan senyuman lebar, lalu mengucapkan terima kasih.Bibirku melengkungkan senyum melihat ia menikmati dengan lahap. Mas Rudy ikut mencomot sepotong. "Aku masuk du
"Nyari orang buat apa?" tanyaku bingung."Buat ngejalanin mesin.""Ngejalanin mesin?""Iya. Jadi dia jual mesin sekalian sama orangnya.""Lah, serem amat jual mesin sama orangnya," jawabku, lalu terbahak. Di seberang pun sama."Mesin apa coba? Aku kan nggak ngerti mesin. Ada-ada saja kamu, Mbak.""Ya, nanti kan diajari. Mesin printing tiga dimensi, nggak tau namanya. Kamu mau, ya? Lumayan, lho, gajinya gede."Gajinya gede.Aku mengulang dua kata itu. Menjadi anak tengah yang menggantikan posisi anak sulung, membuatku dituntut untuk berpenghasilan lebih banyak, supaya ibu dan adikku tak kekurangan."Nanti aku pikir-pikir dulu, deh, Mbak. Ini kontrak kerjaku juga belum habis. Nggak bisa keluar gitu aja," jawabku, lalu teringat betapa selama ini semua kebutuhanku tercukupi dengan bekerja di sana. Selain itu, aku merasa nyaman di tempat kerja yang sekarang, teman-teman kerja sudah seperti keluarga sendiri.
"Emang terkejar bikin sebanyak ini?""Ya terkejar, Mas. Kan hari ini masuk siang."Ia menjawab singkat, lalu memasukkan bawang putih semangkuk penuh. Masih ada gula merah dan entah apalagi di depannya yang nampaknya antri untuk dimasukkan."Ada ibu juga yang bantuin. Iya, kan, Bu?""Iya. Ibu bosen nggak ada kerjaan. Malah capek semua badan ibu. Untung adikmu pinter."Yang dipuji hanya tersenyum tipis. Aku tak menyangkal ucapan ibu. "O iya. Mas Rudy rencananya gimana nanti, udah nggak kemana-mana lagi, kan?""Eh ... ?"Aku gelagapan ditanya begini. Aku memang berniat tak pergi jauh lagi, tapi hendak mengerjakan apa, itu masih kutimbang-timbang karena tak punya ketrampilan. Satu-satunya yang ada dalam bayanganku hanya pekerjaan di sawah. Itu pun sepertinya juga musiman. Ingin berdagang lagi, tapi … ."Jadi mau usaha apa kira-kira? Biar nggak bosen di rumah. Kalau ke sawah kan juga belum bisa, soalnya mas
Badanku gemetar hebat, menyadari bahwa lelaki yang tengah tergolek di hadapan adalah Mas Damar.Darah segar membasahi sebagian kepalanya. Demikian juga dengan lengannya yang terbuka hingga ke siku.Suara-suara di sekelilingku terus berdengung-dengung, mempertanyakan siapa dia dan bagaimana kondisinya. Untuk beberapa saat lamanya aku tak melakukan apa pun. Aku shock melihat kecelakaan di depan mata.Seketika merasa kalau dunia ini begitu sempit, bahkan di saat aku bertekad untuk tak mau bertemu dengannya lagi, kini justru dipertemukan dalam kondisinya yang mengenaskan."Mas Damar!"Aku memekik setelah kesadaranku kembali. Lalu kurasakan pegangan di bahuku. Mas Rudy, ia menatapku dengan tatapan bertanya, lalu melihatku dan lelaki di depanku bergantian."Mas Rudy, panggil ambulance! Bapak berbaju putih, telepon polisi!"Mereka yang kusebut segera sibuk dengan ponselnya, sementara yang lain
Motor kuparkir dengan tergesa. Sebuah pesan dari Mbak Dini mengatakan ada hal penting, dan aku harus segera datang.Mbak Dini segera menarik tanganku ke belakang ruang cetak, di mana berbaris rapi kotak-kotak loker tempat menyimpan barang berharga. Hingga kini kami berdiri berhadapan."Nadira, kenapa jadi begini?"Mbak Dini menatapku dengan mata yang memerah. Napasnya tersengal, hingga samar terdengar hembusan angin kecil dari lubang hidungnya. Untuk beberapa saat aku tak mengerti kenapa ia seperti ini. Terus terang saja hatiku menciut melihat ekspresinya. Detak jantung juga seperti melompat-lompat. Dalam ingatanku, ia biasa bercanda dan memamerkan senyuman ramah. Terlebih lagi, ia berhubungan dengan para pelanggan sebelum akhirnya memutuskan mereka akan dilayani oleh siapa. Tentu pelayanannya menjadi salah satu kunci bagi percetakan ini. Paling tidak, itu yang terlihat selama aku bekerja di sini. Tapi, sekarang ... .Apa aku t