"Emang terkejar bikin sebanyak ini?"
"Ya terkejar, Mas. Kan hari ini masuk siang."Ia menjawab singkat, lalu memasukkan bawang putih semangkuk penuh. Masih ada gula merah dan entah apalagi di depannya yang nampaknya antri untuk dimasukkan."Ada ibu juga yang bantuin. Iya, kan, Bu?""Iya. Ibu bosen nggak ada kerjaan. Malah capek semua badan ibu. Untung adikmu pinter."Yang dipuji hanya tersenyum tipis. Aku tak menyangkal ucapan ibu."O iya. Mas Rudy rencananya gimana nanti, udah nggak kemana-mana lagi, kan?""Eh ... ?"Aku gelagapan ditanya begini. Aku memang berniat tak pergi jauh lagi, tapi hendak mengerjakan apa, itu masih kutimbang-timbang karena tak punya ketrampilan. Satu-satunya yang ada dalam bayanganku hanya pekerjaan di sawah. Itu pun sepertinya juga musiman. Ingin berdagang lagi, tapi … ."Jadi mau usaha apa kira-kira? Biar nggak bosen di rumah. Kalau ke sawah kan juga belum bisa, soalnya masBadanku gemetar hebat, menyadari bahwa lelaki yang tengah tergolek di hadapan adalah Mas Damar.Darah segar membasahi sebagian kepalanya. Demikian juga dengan lengannya yang terbuka hingga ke siku.Suara-suara di sekelilingku terus berdengung-dengung, mempertanyakan siapa dia dan bagaimana kondisinya. Untuk beberapa saat lamanya aku tak melakukan apa pun. Aku shock melihat kecelakaan di depan mata.Seketika merasa kalau dunia ini begitu sempit, bahkan di saat aku bertekad untuk tak mau bertemu dengannya lagi, kini justru dipertemukan dalam kondisinya yang mengenaskan."Mas Damar!"Aku memekik setelah kesadaranku kembali. Lalu kurasakan pegangan di bahuku. Mas Rudy, ia menatapku dengan tatapan bertanya, lalu melihatku dan lelaki di depanku bergantian."Mas Rudy, panggil ambulance! Bapak berbaju putih, telepon polisi!"Mereka yang kusebut segera sibuk dengan ponselnya, sementara yang lain
Motor kuparkir dengan tergesa. Sebuah pesan dari Mbak Dini mengatakan ada hal penting, dan aku harus segera datang.Mbak Dini segera menarik tanganku ke belakang ruang cetak, di mana berbaris rapi kotak-kotak loker tempat menyimpan barang berharga. Hingga kini kami berdiri berhadapan."Nadira, kenapa jadi begini?"Mbak Dini menatapku dengan mata yang memerah. Napasnya tersengal, hingga samar terdengar hembusan angin kecil dari lubang hidungnya. Untuk beberapa saat aku tak mengerti kenapa ia seperti ini. Terus terang saja hatiku menciut melihat ekspresinya. Detak jantung juga seperti melompat-lompat. Dalam ingatanku, ia biasa bercanda dan memamerkan senyuman ramah. Terlebih lagi, ia berhubungan dengan para pelanggan sebelum akhirnya memutuskan mereka akan dilayani oleh siapa. Tentu pelayanannya menjadi salah satu kunci bagi percetakan ini. Paling tidak, itu yang terlihat selama aku bekerja di sini. Tapi, sekarang ... .Apa aku t
Tiga hari setelah kejadian itu, pagi-pagi sekali sebuah kabar mengejutkanku. Nina, adik Mas Damar yang beberapa waktu lalu jatuh terseret motor, telah berpulang setelah melewati masa kritisnya. Rasa ragu menderaku. Haruskah datang ke sana, sementara aku tak lagi memiliki ikatan dengan keluarga itu?"Jangan pernah ganggu lagi keluarga calon suamiku, kalau kau tak mau disebut pelakor!"Aku menghela napas. Ancaman Lila sore itu kembali terngiang-ngiang. Aku tak mengerti kenapa ia memperingatkan aku sedemikian rupa, sedangkan aku tak lagi memiliki minat sama sekali dengan pria itu. Namanya telah kuhempaskan jauh-jauh, meski sesekali kenangan saat bersamanya masih suka muncul tanpa permisi. Aku tak berminat memungut mantan yang telah kubuang. Lagi pula, rasa sakit yang ia tinggalkan masih tersisa.Aku menggelengkan kepala. Mungkin sebaiknya memang tak usah datang, cukup mendo'akan dari rumah. Tapi, suara Bu Siska--ibu Mas Damar--ya
"Semua ini gara-gara kamu!"Langkahku terhenti, lalu memalingkan wajah pada perempuan berambut lurus di depanku. "Maaf, salahku apa, nona?" tanyaku ingin tau."Masih bertanya, lagi! Itu, calon suamiku kakinya patah … karena kamu, kan?!"Heh? Bicara apa dia? Bagaimana bisa menyalahkan aku yang tak tau apa-apa. Bukankah sudah jelas kalau Mas Damar terguling karena gamis Nina terjebak di rantai dan ban sepeda motor yang mereka naiki?Aku sendiri justru baru dengar kalau kakinya patah beberapa saat tadi dari bisik-bisik pelayat, lalu kini darinya yang sedang menatapku tajam."Kamu pasti dendam karena akhirnya nggak jadi nikah sama dia, lalu kamu patahkan kakinya saat melihat dia tergeletak di pinggir jalan. Iya, kan?!"Astaghfirullah … melintas di pikiran pun tidak sama sekali apa yang baru saja diucapkan sepupu jauhku ini. Entah ada masalah apa dia, hingga berburuk sangka seperti ini padaku."Tega sekali, menyakit
.Hari-hari berikutnya, aku melihat Mas Rudy semakin giat bekerja. Selama musim mangga, maka itulah yang ia jual. Sesekali kuajak ia membuat salad buah, dan ia bahagia sekali saat buah-buahan yang ia kupas terjual habis. "Mas baru tau ada makanan seperti ini, dan ternyata laris," ujarnya dengan mata berbinar.Ia dengan bersemangat memasukkan uang yang ia dapat ke dalam dompet khusus yang telah kusiapkan."Nanti kalau uangnya cukup, Mas akan sewa kios di pasar," ujarnya bersemangat.Aku mendukung penuh. Kubebaskan ia mengelola uang, dengan syarat modalnya jangan diotak-atik, kecuali buat diputar lagi.Terkadang di hari Minggu saat car free day, bertiga dengan Salma, aku dan Mas Rudy membawa berbotol-botol kunyit asam dan beras kencur untuk dijual di sana. Mas Rudy akan berjaga, sementara aku dan Salma akan berkeliling di sepanjang jalan, mencari jajanan yang kami suka. Jika sudah dapat, maka bertiga kami menikmati
Hari-hari berlalu apa adanya. Aku masih bekerja di percetakan, sementara Mas Rudy masih dengan jualan palugada, meski sekarang lebih fokus sama bawang merah goreng. Kebetulan di desa sekitar juga banyak petani yang menanam bawang merah, jadi bisa mendapatkan harga di bawah pasaran.Sejauh pengamatanku, ia menjalani dengan hati gembira. Ibu pun tak segan membantu selagi bisa. Pun Salma, meski sudah dekat ujian, ia masih rajin membantu. Alasannya supaya dapat uang jajan lebih banyak.Rumah mulai sering ramai. Produksi bawang goreng menjadi lebih banyak. Mas Rudy juga masih jualan buah. Dan karena sudah langganan, ia hanya perlu memesan, lalu tinggal menunggu buah-buahan itu datang.Sampai hari itu tiba, Salma pulang dengan hasil ujian yang memuaskan. Kami menyambut kabar tersebut dengan hati yang penuh."Kamu harus lanjutkan kuliah, Dek. Katanya pengen jadi perawat," kataku.Ia justru menggeleng."Aku mau kerja aja, Mbak. Di pabrik
"Mas berubah pikiran, Ra."Mengernyitkan kening saat mendengar Mas Rudy berkata penuh kesungguhan. Lelaki yang menjadi kakak sulungku itu menghembuskan napas perlahan, lantas melanjutkan ucapannya."Mas selalu ingat, kamu berpesan supaya meniru bola salju," lanjutnya dengan mengulas senyum. "Berawal dari bulatan kecil, semakin lama ia akan semakin besar. Kadang di bawah, kadang di puncak. Demikian pula dengan usaha yang sedang Mas jalani."Aku terkejut mendengar ia mengulangi kalimatku beberapa waktu lalu."Waktu itu memang ingin punya kios di pasar. Tapi, setelah dipikir-pikir … dengan di rumah pun ternyata tetap laku jualan Mas. Semua berkat dukungan kamu, Dek. Terima kasih banyak, ya?"Ada perasaan lega luar biasa mendengarnya. Melihat perubahan pada kakak sulungku, yang membuat pikiranku lebih ringan. Himpitan di kepala seakan berkurang begitu saja. Mas Rudy yang dulu sangat ambisius, yang semua keinginannya harus
."Kita datang saja sebentar, salaman, lalu pulang," pinta ibu. Aku baru saja pulang dari alun-alun saat ibu berkata. Boks yang awalnya berisi kunyit asam lima lusin, kuletakkan di sudut dapur. Isinya telah berganti dengan aneka cemilan sekarang."Kita sudah diundang, maka wajib datang," titah ibu lagi.Oh ibu, tak taukah anak gadismu ini belum lama patah hati, dan kini masih merasakan efeknya?"Di rumah aja, Dek, ngapain pake datang segala. Dah, sana makan lagi itu, pucet itu mukamu," timpal Mas Rudy.Aku meraba pipi, menelengkan kepala pada teko yang menampilkan wajahku, tapi dalam bentuk mengerikan. Pucatkah?Jajanan di boks telah berpindah ke meja seluruhnya. Mas Rudy menyodorkan molen mini yang segera kuterima.Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya aku setuju pada titah ibu. Datang ke pernikahan mantan, hal yang … sungguh tak pernah kubayangkan sebelumnya.Gedung itu telah ramai saat aku dan ibu sam