"Dira, ini maksudnya apa?"
Sebuah cincin yang awalnya melingkar di jari manis, kini telah berpindah tangan."Maaf, cincin itu ... aku kembalikan pada kamu, Mas. Terima kasih sudah meminjamkannya padaku."Mas Damar melihatku dan cincin di telapak tangannya bergantian."Dikembalikan? Kenapa? Bukankah kita akan menikah?"Berderet-deret pertanyaan ia lontarkan. Aku menghela napas lelah, sebelum akhirnya memulai berbicara."Ya ... . Awalnya kukira kita akan menikah setelah keluarga kita saling setuju dan memberikan restu. Tapi, sekali lagi aku minta maaf, sebab aku tak bisa melanjutkan rencana pernikahan kita, Mas."Sudah payah aku menahan air yang telah menggenangi pelupuk mata supaya tak luruh di depan lelaki ini."Jangan bercanda kamu, Dira. Bukankah baru seminggu yang lalu tanggal pernikahan kita ditentukan? Kamu pun telah setuju bukan? Lalu kenapa sekarang tiba-tiba ... ."Ucapan Mas Damar terhenti, seiring berjejernya foto yang kuletakkan di depannya. Kedua matanya membelalak lebar, lalu wajahnya berubah pias."Ini ... dari mana kamu dapatkan foto ini, Dira? Ini tak seperti yang kamu lihat. Mas bisa jelaskan."Pucat pasi wajah itu. Bibir dan pipi Mas Damar bergerak-gerak. Ditatapnya wajah ini dengan sorot memohon.Aku tersenyum melihat ekspresinya, meski tak bisa dipungkiri kalau hati ini terluka teramat dalam. Pun amarah yang menggelegak berusaha ditahan, hingga tangan ini mengepal erat, demi tak berpindah tempat ke wajah pengkhianat."Tidak penting aku dapat dari mana, Mas. Secepatnya datanglah ke rumah. Kita bicarakan ini pada orang tua kita. Katakan pada mereka bahwa pernikahan kita tak bisa dilanjutkan," pungkasku."Tidak Dira! Mas khilaf. Tolong maafkan Mas ... .""Khilaf apa doyan?"Aku tersenyum miring seraya mengangkat alis."Dira … .""Kalau khilaf kenapa tumbuh benih di rahim Lila, Mas?"Suaraku telah parau. Tenang, Dira … jangan sampai air matamu luruh di sini … ."Dira, maafkan Mas … .""Tidak masalah. Memaafkan itu mudah, Mas, tapi … .""Syukurlah. Kamu memang pemaaf, Dira. Jadi, rencana kita tetap seperti semula, bukan?"Kedua manik mata itu kembali berbinar. Ia menatapku dengan pandangan memohon. Namun, aku tak mau membuka hati untuknya lagi kali ini.Sudah cukup hari-hari kemarin yang kuhabiskan untuk memaklumi kelakuan calon suamiku ini. Sudah cukup aku menutup telinga dari desas-desus bahwa Mas Damar menjalin hubungan dengan beberapa orang termasuk Lila yang kini mengandung benihnya.Tak pernah menyangka sebelumnya, bahwa dia yang berkata ingin menjadikanku satu-satunya wanita untuk menemani hidup dan menjadi ibu dari anak-anaknya, justru dengan mudahnya bercocok tanam pada yang lain.Tak mau membuang waktu, aku beranjak dari tempatku duduk."Maaf, Mas. Aku rasa kita sudah selesai. Tak ada tempat di hatiku untuk pengkhianat."Kakiku melangkah panjang-panjang meninggalkan tempat ini. Tak kupedulikan suara Mas Damar yang berulang memanggilku...Kuayunkan kaki ke tempat kerja. Meski suasana hati tak karuan, aku tetap harus bekerja. Hati boleh patah, semangatnya jangan.Belum banyak karyawan yang datang saat aku tiba. Aku segera menuju loker untuk menyimpan tas dan ponsel. Kususut sudut mata yang terasa basah.Meski sudah meyakinkan diri kalau aku kuat, nyatanya luka akibat dihianati memang sesakit ini. Bulir-bulir bening masih datang tanpa permisi."Tumben udah datang, Nad," ujar Fajar yang tiba-tiba muncul dari ujung lorong."Iya, Jar," jawabku singkat, lalu mengusap sudut mata, lagi. Jangan sampai terlihat teman yang lain kalau Nadira sedang tak baik-baik saja."O iya, tunggu, aku mau kasih lihat sesuatu."Ia sudah berlalu ke ruang cetak, lalu punggungnya menghilang di balik pintu. Tak sampai lima menit ia kembali dengan senyuman lebar. Tangan kanannya memegang sesuatu. Duh … perasaanku kok nggak enak lihat dia cengar-cengir begitu."Taraa … ! Undangan Dira dah siap!"Aku terjingkat. Hampir saja terlupa, kalau desain undangan itu telah masuk antrian. Dan sekarang telah siap sebagai undangan untuk disebar.Sebuah undangan bertuliskan namaku dan Mas Damar tercetak jelas di sampulnya. Fajar menelengkan kepala melihatku mematung, memandangi undangan itu dengan jengah.Desainnya memang telah siap, lalu kumasukkan ke antrian cetak. Biasanya kalau sedang ramai seperti beberapa minggu ini, akan butuh waktu lama. Tak dinyana kalau sepagi ini telah menerima sample undangan yang siap disebar."Nadira!"Fajar mengibaskan tangannya di depanku, hingga aku mengerjapkan mata beberapa kali."Bukannya seneng undangannya udah hampir siap? Ini, kok malah bengong?""Eh, iya, maaf, Jar.""Kalau butuh bantuan, kita-kita siap kok, bantuin. Iya, nggak, Mbak Dini?"Aku menoleh ke belakang. Rupanya Mbak Dini, salah satu staff administrasi di percetakan ini, sudah datang dan juga hendak meletakkan tasnya di loker."Iya, bilang aja, Ra. Kalau butuh bantuan, jangan sungkan bilang kita-kita, ya," jawab Mbak Dini dengan senyum ramahnya."Makasih, Jar, Mbak.""Sama-sama. Eh, kamu nggak papa? Kok sembab mukanya?" Mbak Dini menelisik wajahku. Aku menyembunyikan wajah."Nggak apa-apa, Mbak. O iya, ini udah jadi kayak gini semua apa baru sample, Jar?"Sengaja aku mengalihkan pertanyaan Mbak Dini."Baru sample. Bentar aku cek lagi, biar nggak salah nanti."Ia segera berlalu ke ruang cetak. Tergesa aku menghampiri Fajar yang telah menghilang di balik dinding kaca. Mbak Dini mengekor di belakangku.Ah, semoga saja belum tercetak semua. Setidaknya tak banyak kertas dan tinta yang akan terbuang percuma.Aroma tinta langsung menyerbu indera penciumanku. Kukibaskan tangan, menghalau bau. Ah, kenapa bisa terlupa, bukankah ada masker yang melingkar di leherku?"Jar! Fajar!"Aku celingukan mencari keberadaan pria jangkung berhidung mancung itu."Aku di sini, Dira. Kenapa teriak-teriak?"Sebuah lambaian tangan terlihat di dekat kaki meja. Sedang apa dia berjongkok di sana?Terdengar suara derit laci yang ditutup, lalu wajah Fajar muncul di hadapan."Nah, ini dia. Baru seratus ini, Ra. Maaf semalam nggak keburu, jadi nyicil dulu. Habis ini dilanjut kok, tenang aja. Paling telat besok udah siap. Oke?"Aku mengangguk-anggukkan kepala."Masih bisa dicancel nggak ini, Jar? Masih di folder antrian, kan?" tanyaku penuh harap."Eh, apa yang dicancel? Apa yang di folder antrian?""Undanganku. Mumpung baru seratus … udah, stop aja, Jar."Dia mengernyitkan kening, lalu menyipitkan mata."Kenapa dicancel? Mau ganti lagi? Yang lebih elegan lagi?""Enggak. Enggak usah dilanjut, Jar. Ini aku cancel, maaf, ya?""Lho, dicancel gimana?" tanya Mbak Dini bingung."Nggak apa-apa, Mbak. Nanti saya minta nota berapa kurangnya, tapi, ini nggak usah dilanjutkan prosesnya. Bisa kan, Jar, Mbak?"Kutangkupkan kedua tangan, memohon pada teman satu timku ini yang selalu datang lebih awal. Mereka berdua saling tatap, lalu mengangguk setuju. Kuucapkan terima kasih, lalu kami bertiga membubarkan diri.Kuhela napas lega. Masalah undangan beres. Nanti tinggal urus yang lain yang harus dibatalkan. Sekarang waktunya kerja, menghadapi bermacam customer dengan segala keunikannya.Seiring berjalannya waktu, customer semakin banyak yang datang. Sedikit banyak aku terhibur dengan desain dan customer baru. Tak jarang mengajak mereka mengobrol demi membvnuh waktu. Beberapa desain yang siap dicetak segera kumasukkan ke folder khusus."Tunggu di sini ya, Mas. Saya tinggal ke belakang dulu. Ini masih antri dicetak, nanti saya panggil kalau sudah siap," pamitku pada pria yang duduk di sampingku. Flashdisk segera kukembalikan padanya."Apa masih lama, Mbak?"Kuhitung antrian di folder print, masih ada lima lagi."Ya, kira-kira setengah jam. Tunggu, ya.""Oke, Mbak."Baru akan beranjak dari tempatku duduk, seseorang telah datang dan memberitahu kalau ada tamu yang mencariku.Melihat jam di pergelangan tangan kiri, masih setengah jam lagi sebelum jam istirahat tiba. Gegas kuayunkan langkah menuju teras, di mana sang tamu berada.Alisku bertaut melihat Mas Damar duduk di kursi tunggu.Untuk apa mencariku ke sini?"Mas Damar? Ada perlu apa, Mas?" tanyaku tanpa basa-basi.Ia tak segera menjawab, justru menatapku. Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu."O iya, tunggu sebentar. Mumpung Mas Damar ke sini. Tunggu, ya?"Aku kembali memasuki ruangan tanpa menunggu ia menjawab. Tujuanku hanya satu. Bertemu Mbak Dini.Lima menit kemudian, aku kembali, dengan senyum lebar. Kuulurkan nota di tangan."Ini apa, Dek?" tanya Mas Damar bingung."Tagihan cetak undangan. Itu sisanya yang belum dibayar. Mas yang lunasin, ya?"."Ini apa, Dek?" tanya Mas Damar bingung."Tagihan cetak undangan. Itu sisanya yang belum dibayar. Mas yang lunasin, ya?"Bukannya menjawab, Mas Damar justru melihatku dan kertas itu bergantian. Kuhitung sudah sampai dua puluh, masih nggak bicara juga. "Mas! Mas Damar!"Kukibaskan tangan di depan wajahnya yang tak berkedip sejak beberapa saat tadi."Eh iya, gimana, Ra?" Ia mengerjapkan mata berkali-kali. Tuh, kan. Ngelamun dia. Seperti baru kembali dari petualangan di alam bawah sadar."Ini tadi ada perlu apa ke sini?" tanyaku tak sabar."Oh, itu … cuma mau mastiin, kalau kamu baik-baik aja," jawabnya, lalu mengulas senyum.Jika dulu aku menganggap ini sebagai perhatian, kenapa sekarang aku justru merasa muak mendengarnya. Rasanya jika bisa, lebih baik tak usah bertemu lagi dengan lelaki ini, supaya tak makin tersayat hati ini."Mas kuatir kamu tiba-tiba pergi tadi. Dihubungi juga nggak b
."Bikin malu saja kamu!" Hardikan Mas Rudy, kakak sulungku, sungguh membuat hati teriris. Langkahku yang hendak meninggalkan ruang tamu terhenti seketika. Dia yang kuharap bisa menengahi, kini justru memperkeruh suasana hati.Baginya, dengan menikahnya aku dengan Mas Damar, maka tanggung jawabnya sebagai Kakak sekaligus pengganti ayah akan berkurang. Setidaknya tinggal adikku saja yang ia pikirkan untuk biaya sekolah.Ibu masih mengeratkan pelukan, lantas samar kudengar beliau terisak. Yang kulakukan hanya bisa mengelus pelan lengan beliau, berharap sedikit menyalurkan ketenangan."Maaf, Mas. Maaf kalau aku sudah membuat Mas, Ibu dan juga adik malu atas keputusan ini."Aku masih berusaha mencari celah, berharap kakakku mau mengerti dan memahami keputusan yang telah bulat ini. Lagi pula, bukankah keluarga Mas Damar juga sudah menerima keputusanku, Mas Rudy pun telah mendengar pembicaraan beberapa saat tadi.Aku tau Mas
"Awas aja kalau sampai kamu kayak si Lila!" ancam Mas Rudy.Mendengar nama itu disebut lagi, kembali hati merasa nyeri. Untuk beberapa saat lamanya aku terpekur, lalu menatap wajah lelaki satu-satunya di rumah ini. Lelaki yang semestinya menggantikan peran ayah, tapi, kenyataannya … ."Pada ngapain, sih, ribut amat?"Terdengar suara Salma, membuatku mengalihkan pandang dari kakak sulungku. "Bocil, ngapain ikut ke sini?""Ih, Mas Rudy. Aku udah kelas dua belas, bentar lagi lulus, masa masih dipanggil bocil?" protesnya, dengan wajah merengut. Meski demikian, ia tetap saja mendekat, lalu menggamit lengan sang kakak."Biarin. Buat Mas, kamu tetep si bontot yang gemesin."Mas Rudy mengacak rambut Salma, membuat Salma menepis tangannya. Bibirku tersenyum tipis melihat adegan itu. Mas Rudy selalu bisa akrab dengan adikku, sementara denganku … ."Belajar yang bener, biar jadi orang," Mas Rudy kembali berujar, lalu
"Apa maksudnya barang bekas?"Lila melotot tak suka pada Mas Rudy. Yang ditatap masih tak acuh, malah menimang korek gas yang baru dikeluarkan dari saku celana. "Bukannya ada perhiasan sepuluh gram sama uang sepuluh juta? Aku lihat, kok, waktu itu. Bener kan, Mas?"Aku terkesiap mendengarnya. Begitu juga Mas Rudy yang kini menatapku dengan sorot bertanya.Kini perhatian Lila terpusat pada lelaki yang berdiri di sampingnya. Mas Damar menghela napas, lantas membuang wajah."Mas, kok kamu diem aja, sih?" Lila bertanya tak sabar."Udah, kita pulang aja. Pagi-pagi sudah cari perkara kamu!" geram Mas Damar."Ya mana bisa pulang, belum selesai ini urusannya."Kardus yang sejak tadi dipegang, sekarang ditumpahkan oleh Lila, hingga isinya berhamburan di teras. Dia mulai mencari apa yang beberapa saat tadi ia sebutkan. Ia nampak frustasi saat tak menemukan apa pun di antara kain-kain, sandal, sepatu, tas, serta
Nadira telah menghilang di ujung jalan. Meninggalkan rasa bersalah yang besar pada lelaki yang bergelar kakak sulung ini.Aku seperti tak mengenal adikku lagi. Ia bahkan mengabaikan tatapan dari tetangga yang bermunculan dan melihat tontonan gratis beberapa saat tadi.Entah apa yang telah ia lalui selama kami terpisah jarak ribuan kilometer. Ia bahkan tak membagi luka yang tengah ia rasa.Aku menengadah, melihat langit-langit rumah. Baru tersadar kalau semua kayu dan genteng di rumah ini masih baru dan bagus. Ke mana saja aku selama ini, hingga tak tau ada hal buruk menimpa keluargaku?Kucari ibu, ingin bertanya kenapa aku tak diberitahu perihal robohnya atap rumah ini. Meski aku sempat menghilang dan baru kembali, bukankah aku anak lelaki, yang bertanggung jawab atas adik-adik dan ibuku sepeninggal ayah?Mengedarkan pandangan dan mencari ke sekeliling rumah, tapi ibu tak juga terlihat. Kemana perginya sepagi ini?Kutemukan
POV NadiraAku sedang menyeruput kopi hitam di jam istirahat, saat Mbak Ira–teman kuliah Mas Damar–datang tergopoh-gopoh menghampiri. "Nadira, kamu beneran udah putus sama Damar?"Ia bertanya tak sabar, lalu ndusel-ndusel- di kursi sempit yang sedang kududuki. Aku tersenyum melihat tingkahnya, lalu bergeser ke kursi sebelah."Iya. Kenapa, sih, Mbak?""Akhirnya … . Seneng Mbak dengernya. Lihat itu, Mas Adi, dia yang paling seneng waktu dapat kabar kamu nggak jadi sama Damar."Aku melirik pria berambut sebahu yang tengah tersenyum ke arahku. Ia sedikit menganggukkan kepala saat aku melihatnya. Mereka berdua teman seangkatan dengan Mas Damar, sedangkan Mbak Ira dulu pernah kerja di sini juga, hanya saja ia sudah pindah."Kamu kan nggak tau dia kayak gimana kalau di luar. Kita-kita, nih, yang cemas sama kamu," ujar Mbak Ira lagi.Aku tau kalau sejak awal mereka berdua kurang setuju dengan hubunganku dengan Mas Dama
Suara televisi masih terdengar ketika aku sampai di rumah. Mas Rudy masih terjaga rupanya."Baru pulang, Ra?" sapanya, yang kujawab dengan anggukan, lalu meraih punggung tangannya untuk kukecup.Ibu berada tak jauh dari ia duduk, sudah terlelap dengan posisi miring menghadap anak lelakinya. Ibu menggunakan kedua tangan sebagai bantalan. Semenjak Mas Rudy di rumah, sepertinya ibu lebih sering tertidur di sini. Nampaknya beliau tak mau jauh dari anak sulungnya. Semoga saja Mas Rudy mengerti, kalau kondisi kesehatan ibu membaik sejak ia berada di rumah.Kukecup pelan kening ibu, takut membangunkan. Kubetulkan selimutnya hingga ke leher. Salma segera menghambur ke luar kamar tak lama kemudian."Mana pesananku, Mbak?" sambutnya, lalu ikut bergabung di ruang tengah. Kuulurkan martabak bertabur keju kesukaannya. Ia menyambutnya dengan senyuman lebar, lalu mengucapkan terima kasih.Bibirku melengkungkan senyum melihat ia menikmati dengan lahap. Mas Rudy ikut mencomot sepotong. "Aku masuk du
"Nyari orang buat apa?" tanyaku bingung."Buat ngejalanin mesin.""Ngejalanin mesin?""Iya. Jadi dia jual mesin sekalian sama orangnya.""Lah, serem amat jual mesin sama orangnya," jawabku, lalu terbahak. Di seberang pun sama."Mesin apa coba? Aku kan nggak ngerti mesin. Ada-ada saja kamu, Mbak.""Ya, nanti kan diajari. Mesin printing tiga dimensi, nggak tau namanya. Kamu mau, ya? Lumayan, lho, gajinya gede."Gajinya gede.Aku mengulang dua kata itu. Menjadi anak tengah yang menggantikan posisi anak sulung, membuatku dituntut untuk berpenghasilan lebih banyak, supaya ibu dan adikku tak kekurangan."Nanti aku pikir-pikir dulu, deh, Mbak. Ini kontrak kerjaku juga belum habis. Nggak bisa keluar gitu aja," jawabku, lalu teringat betapa selama ini semua kebutuhanku tercukupi dengan bekerja di sana. Selain itu, aku merasa nyaman di tempat kerja yang sekarang, teman-teman kerja sudah seperti keluarga sendiri.