“Oh kamu sudah dengar semuanya? Bagus deh! Mulai sekarang aku gak perlu lagi berpura-pura di depanmu!” sahut Aidan masih mendekap tubuh Shana di dalam gendongannya. Mereka masih dalam keadaan menyatu satu sama lain.
“Oh iya mau di sini? Mau ngapain? Mau lihat permainan panas kami? Silakan saja!” Aidan berjalan menuju ranjang ia meletakkan Shana dengan begitu lembut seakan wanita itu akan hancur jika terjatuh di atas kasur.
“Kamu keterlaluan mas!” Dayana berjalan keluar kamar ia tak ingin melihat kegiatan ranjang suaminya yang dengan santainya bermain di atas ranjang mereka bahkan di bawah figura pernikahan mereka.
Dayana berjalan tertatih, ia terduduk di lantai depan pintu kamarnya. Nyeri di tangan dan sekujur tubuhnya seakan tak sebanding dengan nyeri di hati wanita berambut sepunggung itu.
Ia terus meremas ujung pakaiannya dengan tubuh bergetar, dadanya naik turun menahan amarah yang membuncah. Dari posisinya saat ini, Dayana dapat mendengar jelas desahan nikmat yang Aidan dan Shana lontarkan di dalam sana.
Dayana tak sanggup lagi mendengarnya, ia berjalan seraya berpegangan tangan pada benda di sekitarnya. Setelah tiba di ruang tamu, Dayana pun duduk dengan napas yang memburu.
Setengah jam mereka bergumul di kamar pengantin Dayana, hingga sosok Aidan keluar dari dalam kamar hanya mengenakan celana boxer dan tubuh yang dipenuhi peluh. Jika dulu Dayana akan sangat kagum melihat bentuk tubuh suaminya walau dari kejauhan, kini menyebut namanya saja Dayana sudah muak.
“Masih di sini?” sarkas Aidan yang berjalan melewatinya. “Mumpung masih di sini, buatkan aku makan siang, aku dan Shana lapar.”
“Apa aku masih berkewajiban memenuhi perintahmu, Mas?” balas Dayana dengan suara bergetar dan tatapan mata tajam.
“Oh sudah berani melawan aku? Kamu kira kamu siapa tanpa aku! Kalau bukan karena uangku kamu gak akan bisa menyandang status sarjana, kamu gak akan bisa tinggal di rumah semewah ini dengan fasilitas yang yah bisa dibilang berbeda jauh dengan hidupmu!” Aidan berjalan mendekati Dayana. “Jangan memancing amarahku, cepat buatkan aku makan!”
“Mulai detik ini aku bukan lagi babumu! Aku tidak punya kewajiban untuk mematuhi setiap perintahmu!”
Aidan semakin mendekatkan tubuhnya ia melemparkan tatapan membunuh pada Dayana. “Kamu pikir kamu berhak menentukan pilihan? Sadar diri! Kamu hanya anak orang miskin yang hidupnya berubah karena permintaan ibuku!” Pria itu mencengkram erat rahang Dayana, membuat wanita itu meringis perih.
“Cepat buatkan aku makan!” pekik Aidan seraya menghempaskan tubuh Dayana hingga ia terjatuh di atas karpet.
“Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menurutimu, Aidan!”
Amarah pria itu semakin tak terbendung ia meraih vas bunga yang ada di dekatnya. “Aku tidak suka dibantah!” bentak Aidan penuh penekanan, sebelah tangannya melemparkan vas bunga yang ia ambil.
Dayana memejamkan matanya dan tak lama terdengar pecahan beling tepat di samping telinganya. Aidan menarik lengan Dayana dan mendorongnya hingga ia terantuk lemari tv. Dayana meringis kala tangannya menatap tepi almari itu, tangannya yang belum juga pulih terasa semakin nyeri dan ngilu.
“Aku bilang buatkan aku makanan!”
“Mundur mas! Jangan sentuh aku lagi! Sama sepertimu yang tak sudi menyentuhku aku pun enggan disentuh denganmu lagi. Sudah cukup kamu menyakitiku selama ini! Aku memang wanita miskin tetapi kau tak berhak menghinaku seperti ini!” ujar Dayana menahan nyeri di lengannya.
“Kamu ingin aku sentuh? Iya? Istriku ini ingin aku sentuh?” tanya Aidan dengan raut wajah menakutkan. Dalam sekali gerakan ia menahan kepala Dayana dan hendak mencumbunya.
Dayana terus bergerak ia mencoba melepaskan diri dari Aidan, ia menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri, berharap dapat melepaskan lengan Aidan. “Lepas! Aku tidak sudi memberikan bibirku untuk pria bejat sepertimu! Lepas‼”
Bukannya melepaskan Dayana, Aidan justru merobek pakaian Dayana hingga sebagian tubuh Dayana terekspos dengan bebas. Hati Dayana semakin sakit mendapati sikap Aidan yang terkesan menghinanya. “Tubuh seperti ini yang ingin aku sentuh? Iya‼” Aidan menatap tubuh Dayana yang tak tertutupi sepenuhnya, ia menatap wajah Dayana yang menunjukkan raut ketakutan dan marah bersamaan.
“Lepas mas! Lepas!” Dayana terus memberontak dan menutupi tubuhnya. Namun, tenaga wanita itu belum sepenuhnya pulih. Dalam sekejap mata, Aidan mencumbu Dayana dengan begitu kasar, tangannya menjamah tubuh Dayana tak kalah kasarnya. Dayana tak tinggal diam, ia tak ingin diperlakukan kasar seperti itu, hatinya sudah cukup terhina dan teriris.
Ia melihat sebuah pajangan tempat abu rokok yang berada di dekat tangannya, dalam sekali gerakan Dayana berhasil meraihnya dan bersiap memukulkannya ke arah Aidan.
Bughh!
Tubuh Aidan pun melemas, Dayana menggunakan hal itu untuk membebaskan diri dan berlari menuju kamar utama. Ia bergerak cepat mengganti pakaiannya dan merapikan seluruh barangnya. Surat-surat penting, emas yang ia beli dari hasil keringatnya dan barang-barang lainnya.
Ia tak sempat mencari pakaian yang menghabiskan waktu lama, ia pun hanya membungkus tubuhnya dengan sebuah hoodie hitam, dengan sebelah tangan Dayana menyeret koper keluar dari rumah berukuran 10x10. Ia mencari motor kesayangannya, Dayana pun menepuk jidatnya kala teringat jika motornya masih berada di lokasi kejadian kemarin.
Dayana pun berjalan menuju gerbang utama, ia mengedarkan netranya mencari transportasi yang bisa ia tumpangi. Jantung wanita itu berdegup kencang kala mendengar suara Aidan yang berteriak memanggil namanya. Dayana semakin panik, ia tak menemukan taksi ataupun tukang ojek yang melintas. Hingga terlintas dibenaknya untuk berlari ke arah yang lebih ramai.
“Aku harus pergi sekarang juga!” Dayana menyeret kopernya dengan sebelah tangan. Tanpa ia sadari, sebuah mobil masih setia terparkir di sana dan pemandangan Dayana pun tak luput dari pengamatannya.
Kening pria itu berkerut bingung kala melihat Dayana yang tampak panik dengan penampilan acak-acakan, belum lagi dengan kehadiran pria berboxer yang berlari sambil memekikan namanya.
Sagara menajamkan matanya, ia mencoba mengingat sosok pria yang sedang berlari mengejar Dayana. “Bukannya dia … ?”
Dayana terus berlari, sesekali ia menoleh mengamati keberadaan suaminya yang ternyata masih mengejarnya dengan bertelanjang dada. Dayana semakin panik kala kakinya terasa ngilu dan tubuhnya melemas.
‘Tuhan tolonglah aku, aku tak mau kembali padanya. Ya Tuhan, kenapa tidak ada transportasi yang melintas,’ lirih Dayana dalam hati, ia bersusah payah mengumpulkan sisa tenaga yang ia punya agar bisa terbebas dari Aidan yang masih mengejarnya.
Napas Dayana pun terasa akan habis, langkah kakinya mulai melambat namun Dayana tak mudah menyerah dengan sisa tenaga yang ia punya, Dayana terus berusaha menjauh dari kejaran Aidan. Hingga tanpa sadar kakinya terjerumus pada lubang jalanan dan membuatnya terjatuh dengan tangan kanan yang berada di bawah tubuhnya.
Nyeri retak di tangannya terasa semakin ngilu kala harus bersentuhan langsung dengan aspal. Dayana meringis ia bersusah payah bangun dengan jantung yang berpacu hebat. Jarak Aidan memang tak terlalu dekat namun, jika ia berlama-lama di sana ia tentu akan tertangkap oleh pria itu.
Saat Dayana kesulitan bangun, sebuah tangan terulur di depannya. Dengan gerakan lambat Dayana mendongak dan menatap sosok yang berdiri di depannya. Orang tersebut tersenyum dan menggerakkan tangannya seakan memberi kode agar Dayana meraih ulurannya.
“Kamu … ?”
“Iya Day, kamu gak papa ‘kan?” tanya wanita itu dengan senyum ramah. “Aku gak papa, Lin. Terima kasih ya, atas bantuan kamu,” ucap Dayana setelah ia berhasil bangkit dari posisinya. “Kamu kenapa di pinggir jalan begini, terus ini kenapa kamu bawa koper? Tangan kamu kenapa?” Dayana menghela napas panjang, sesekali ia melirik ke arah Aidan berlari. “Penjelasannya panjang Lin, intinya sekarang ini aku sedang dikejar-kejar orang gila.” Linda mengerutkan keningnya, ia pun menatap Dayana bingung. “Ya sudah nanti kamu jelaskan di mobilku saja ya?” Dayana mengangguk cepat, yang ada dalam pikirannya saat ini adalah kabur dari Aidan dan menuntut pria itu atas segala tindakan yang pria itu lakukan. Di dalam mobil, Dayana hanya diam saja sedangkan Linda wanita itu sedang membelikan air mineral untuk Dayana. “Ini Day, kamu minum dulu supaya lebih tenang.” Dayana pun mengangguk dan menegguk habis air itu. “Terima kasih, Lin.” “With my pleasure, Day. So, whats happen?” Dayana pun menceritaka
“Shana? Jadi kamu ceweknya?” ujar Sagara terkejut. “Sagara … em aku bisa jelasin semuanya. Ini hanya salah paham saja. Sebentar gini –“ “Stop, gue gak butuh penjelasan apapun tentang ini semua. Apa yang gue lihat sudah cukup menjelaskan semuanya. Terima kasih!” Sagara pun berjalan cepat menjauhi ruang tamu rumah Aidan, pria itu bahkan merubah sapaannya menjadi lo-gue. Hatinya tak hanya terkoyak dengan ucapan Aidan tetapi hatinya pun hancur melihat sosok wanita yang akan menjadi tunangannya ternyata berselingkuh. “Sagara dengarkan aku‼ Sagara aku mohon‼” pinta Shana seraya berlari mengejar Sagara. “Aku mohon!” ujarnya setelah berhasil meraih pergelangan tangan Sagara. Sagara memalingkan wajahnya ia enggan menatap wanita yang sudah menghancurkan kepercayaannya. “Dengarkan aku, aku tidak berselingkuh –“ ucapan wanita itu terpotong kala Sagara menatapnya tajam. “Iya aku berselingkuh. Maafkan aku, tetapi aku mencintai kamu, Gar. Hanya kamu yang aku inginkan.” “Simpan semua ucapan mani
Di sebrang jalan sana, Aidan baru saja keluar dari florist, sebelah tangan pria itu membawa sebuket bunga mawar putih yang tampak begitu indah. Dari kejauhan Dayana melihat sosok yang duduk di samping kemudi. Beruntung kaca mobilnya terbuka, sehingga ia bisa leluasa mengambil gambar dan menyaksikannya secara langsung. Dari layar ponselnya, Dayana melihat Aidan menyerahkan bunga tersebut pada Shana. Wanita yang tengah memakai dress tanpa lengan dan kerah itu tampak tersenyum bahagia. Ia pun tak sungkan memberikan kecupan hangat yang dibalas dengan senang hati oleh Aidan. Saat Dayana sibuk merekamnya, tiba-tiba layar ponselnya menggelap. Dayana pun mendongak perlahan. Ia melihat tubuh tegap berdiri di depannya. “Sagara?” lirih Dayana saat bertukar pandang dengan Sagara. “Jangan menyakiti hatimu semakin dalam.” Dayana pun segera menyimpan ponselnya. “Apa semua pria sama saja?” tanya Dayana setelah menyimpan ponselnya. Ia bersandar pada kursi halte, bahunya tampak turun. Tanpa banyak
Keadaan Dayana semakin terhimpit, ia tak bisa mengelak lagi. Petugas keamanan menemukan dompet ibu-ibu itu. Dayana mendesah kasar, wajahnya dipenuhi kebingungan. Bisik-bisik pun mulai terdengar menghiasi sekeliling Dayana, ada yang menyerangnya ada pula yang merasa iba pada Dayana. “Cantik-cantik kok pencuri‼” “Justru karena cantik makanya jadi pencuri. Jangan-jangan dia juga pelakor ibu-ibu.” “Ih dipegangin bu suaminya nanti dicuri juga.” Dayana hanya diam mendengarkan bisik-bisik yang tertuju untuknya. “Pak sungguh saya tidak melakukan hal itu, saya juga tidak tahu kenapa –“ “Halah mana ada sih maling yang mau ngaku‼ Kalau maling ngaku semua penjara pasti penuh!” “Iya pak, tangkap saja Pak. Laporkan ke kantor polisi, ini bisa mencoreng nama baik mall ini loh Pak! Masak mall sebesar ini ada copetnya!” “Bu, ikut saya ke kantor. Daripada ibu kena amuk masa.” Dengan pasrah Dayana pun mengikuti langkah kaki petugas keamanan itu. Awalnya Dayana mengira jika dirinya akan dibawa ke
“Tidak ada,” sahut Dayana singkat. “Terima kasih sudah membantuku … lagi.” “Anytime, kapan pun kamu butuh bantuan sebisa mungkin aku akan bantu. Sebagai makhluk sosial kita harus saling tolong menolong, ‘kan?” balas Sagara dengan tenang. “Masuklah.” Pria itu membukakan pintu mobil untuk Dayana. Dayana menangguk, setelah Dayana duduk Sagara berjalan memutari mobil ia membuka pintu mobil dan duduk di bagian kursi kemudi. “Sekarang apa rencanamu? Jadi belanja?” “Sepertinya aku sudah tak berniat lagi.” Sagara pun mengangguk ia lantas menyalakan mesin mobil. Di tengah perjalanan, terbesit niat Dayana yang ingin meminta bantuan pada Sagara untuk mengurus perceraian juga tuntutannya. “Saga?” cicit Dayana tanpa melihat ke arah sang Pemilik nama. “Ya?” tanya pria itu melirik dari ekor matanya. Dayana tampak ragu menceritakan permasalahannya. Ia tak enak hati jika harus melibatkan pria itu dalam setiap masalah yang menimpa hidupnya. “Em … .” “Ada apa katakan saja.” “Apa kamu bisa memban
“Maaf pak, lebih baik saya kehilangan pekerjaan daripada kehilangan harga diri. Terima kasih, saya akan mengajukan surat resign. Secepatnya.” Dayana mengatakannya dengan tenang walau di dalam hatinya bergemuruh amarah yang membuncah.Setelah mengucapkannya Dayana pun berjalan menuju pintu utama. “Kalau kamu mengajukan resign, saya akan buat namamu buruk.”“Saya tidak peduli, Pak. Terima kasih,” balas Dayana dan berlalu meninggalkan ruangan pria tambun itu.“Na? Ada apa? Kudengar kamu dipanggil hrd?” tanya rekan kerjanya yang berdiri di ambang pintu ruang hrd.Dayana menghela napas berat. “Aku resign, La.”“Hah? Kenapa? Apa yang terjadi?” tanya rekan kerja sekaligus temannya dari kampung asal Dayana.“Ceritanya panjang. Nanti siang aku ceritakan. Kamu kembalilah bekerja, jangan karena aku kamu jadi kena masalah juga.”“Apa karena gosip itu?” tanya rekannya lagi.Dayan mengendikkan bahu. “Salah satunya, ya sudah aku keluar yah. Nanti siang kita bertemu di tempat biasa. Semangat bekerja
Setelah terdiam cukup lama, Dayana pun memutuskan untuk mengabaikan panggilan tersebut. Ia kembali memejamkan mata sejenak merasakan kepahitan di hidupnya. Hingga dering singkat di ponselnya kembali terdengar dengan setengah hati, Dayana membuka ponselnya.Ia menatap tak percaya isi pesan yang diterimanya, napas wanita itu memburu ia bahkan nyaris menjatuhkan ponselnya. Beruntung dirinya masih bisa menyelamatkan satu-satunya barang berharda yang ia punya.Di lain tempat, Aidan tengah menatap layar ponselnya dengan senyum lebar. Entah mengapa ada rasa senang di dalam dirinya ketika melihat Dayana tersiksa atau bersedih. Wanita yang dipilihkan ibunya itu sama sekali tak masuk kriteria Aidan, ia menikahi Dayana hanya demi wasiat sang Ibu dan permintaan terakhirnya. Aidan tak pernah sedikit pun menaruh hati pada Dayana, itu sebabnya ia selalu bertingkah kasar dan semaunya sendiri.“Mas? Lagi senang banget kayaknya?” sapa seorang wanita yang baru saja datang dari kamar mandi. Ia tampak leb
Salah seorang notaris mengeluarkan brangkas mini ia menekan angka di sana, setelah itu brangkas terbuka. Aidan menatap isi brangkas mini yang terbalut dengan warna metalic.“Sebenarnya ada satu wasiat lagi yang tertinggal, Pak. Dan berdasarkan perintah mendiang, mereka meminta kami untuk membukanya setelah tepat satu tahun kepergiannya.”“Mengapa begitu?” tanya Aidan merasa ada hal yang tidak beres akan terjadi.“Saya sendiri tidak tahu maksud mendiang ayah dan ibu, Bapak. Saya hanya menjalankan perintah dan permintaan client saja. “Apa bisa saya baca sekarang?” tanya pria itu, Aidan pun mengangguk mempersilakannya.“Bandung, tiga puluh oktober 2021. Teruntuk putraku satu-satunya aku tahu kamu bertanya-tanya mengapa aku membuat surat ini, ‘kan? Ibu tahu kalau pernikahanmu tak berjalan mulus bukan? Anakku, terimalah ia seperti ayahmu menerima ibu dulu. Sayangi dia seperti ia menyanyangi ibu. Jangan kamu menyakitinya karena dia perempuan yang terbaik untukmu. Bersama surat ini ibu ingin