Share

Bab 4

 

 

"Kau masih mau makan, Mas?"

 

Aku tertawa jahat saat menyadari jika lelaki yang sedang kuajak bicara ini tak bisa mengeluarkan suara apapun.

 

"Baiklah, kita habiskan bubur ini."

 

Aku menyuapkan satu sendok bubur yang sedikit cair ke dalam mulutnya yang terbuka setengah.

 

"Lihatlah, Mas, Susan itu ga ada gunanya 'kan? Dia malah ingin mengelola restoran sementara dia menyuruhku mengurusmu, itu artinya apa? Dia hanya mau uangmu saja."

 

Tatapan mata Mas Ferdi mendadak sayu seperti hendak mengeluarkan air mata, dan aku sangat berharap ada sebuah penyesalan yang menggerogoti hatinya.

 

"Malang sekali nasibmu, Mas. Dan dari kejadian ini harusnya kamu berpikir agar mensyukuri nikmat yang ada, bukan malah fokus pada ambisi yang tak nyata."

 

Sambil tersenyum miring aku kembali menyuapkan bubur ke mulutnya.

 

"Kamu sangat ingin punya anak lelaki, sampai berani menikah lagi diam-diam, padahal di rumah ketiga putrimu sangat menyayangimu, Mas. Dan kamu harus tahu jika ketiga putri kita terluka oleh perbuatanmu, apalagi Desti."

 

"Kamu ga takut apa di masa tua nanti dia membencimu."

 

Dari arah luar tiba-tiba ada yang mengetuk pintu, lekas kutaruh mangkuk bubur ini ke atas meja dan melangkah ke luar hendak membuka pintu.

 

"Cari siapa ya?" tanyaku.

 

Di depan pintu berdiri seorang ibu tua tetapi dari segi penampilan dan berpakaiannya nampak masih muda, rambutnya digelung tinggi dengan bedak putih menghiasi wajah keriputnya, lipstik merah cabai pun tak luput menghiasi bibirnya.

 

Sedangkan di belakangnya berdiri seorang lelaki muda  yang sedang asyik dengan ponselnya.

 

"Apa ini rumah Susan?"

 

Mataku membelalak, sejak kapan rumah ini jadi milik Susan.

 

"Oh bukan, ini rumah saya, Yuli Permatasari, istrinya Mas Ferdi."

 

Aku menempelkan telapak tangan di dada.

 

"Oh jadi ini istri pertama Ferdi, sudah ada umur ya beda jauh dengan anak saya."

 

Mulutku seketika menganga, cengkraman jemariku di gagang pintu tiba-tiba mengeras, berani-beraninya ia mengatakan itu di hadapan wajahku sendiri, aku curiga jika dia ibunya Susan, lagi pula penampilan mereka tak jauh beda.

 

Namun, aku berusaha mengurai rasa agar kembali tenang, karena jika wajahku menampakkan emosi wanita ini akan semakin tinggi hati.

 

"Tapi jelas lebih berumur Ibu loh, tapi kok ya Ibu ga ngaca." Aku tersenyum miring.

 

Wanita itu membulatkan mata lalu melirik pada anak lelaki di belakangnya, rasain disindir balik baru tahu rasa.

 

"Saya ini ibunya Susan loh, itu artinya ya jadi Ibu kamu juga, jangan gitu sama orang tua," ucapnya dengan sinis.

 

"Iya ya maafin saya. Terus Anda ke sini mau apa?" tanyaku tak kalah sinis.

 

"Ya mau ketemu menantu saya lah, masa mau main bola, gimana sih kamu. Ada orang tua datang bukannya suruh masuk malah dibiarin berdiri di depan pintu, kalau asam urat saya kambuh gimana hem?"

 

Aku menghirup oksigen begitu banyak lalu mengembuskannya perlahan dan tersenyum pada wanita menyebalkan ini.

 

"Oh ayo masuk, Bu. Mas Ferdi ada di kamar kok."

 

"Gitu kek dari tadi." Dia cemberut.

 

Saat masuk ke dalam rumah tiba-tiba saja langkahnya terhenti tepat di tengah-tengah antara ruang tamu dan ruang keluarga, mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah, jemarinya pun menyentuh perabotan serta sofa yang terpajang.

 

"Kenapa, Bu? Mas Ferdinya ada di kamar belakang loh."

 

"Engga apa-apa saya kagum aja sama lemari ini dan sofa ini. Bagus sekali, besok-besok saya bawa mobil pickup ke sini ya."

 

Aku langsung membulatkan mata, perasaanku mendadak tak enak.

 

"Mau ngapain?"

 

"Ya mau ngangkut ini, lagian mantu saya itu 'kan pengusaha, 'kan bisa beli lagi, Ibu mah dikasih bekasnya aja udah seneng."

 

"Tunggu tunggu, maksudnya sofa sama lemari ini mau diangkut ke rumah Ibu?" tanyaku dengan mata membulat.

 

Nih orang tua ngomong seenak jidat, dia pikir barang-barang ini dibeli pakai duit anaknya apa.

 

"Lah iya, kamu keberatan?" tanya wanita itu lagi.

 

"Ya jelas keberatan, barang-barang ini saya yang beli dapat duit dari arisan, enak aja main-main angkut."

 

Sambil cemberut aku melangkah mendahului ibu-ibu rese ini dan masuk ke kamar Mas Ferdi, dan ternyata ia mengekor dari belakangku sambil menggerutu.

 

"Loh, kok Ferdi ...." 

 

Wanita mengerenyitkan kening sambil menganga melihat Mas Ferdi terbaring menyedihkan di atas ranjang, apakah ia belum mengetahui apa yang terjadi pada menantu dambaannya ini?

 

"Mas Ferdi lumpuh setelah satu malam membawa Susan ke rumah ini."

 

Dalam keadaan mulut masih menganga dan mata mata membeliak wanita itu melirikku dengan intens.

 

"Serius? Kok ... Susan ga cerita."

 

"Ya masa saya bohong, Ibu bisa lihat sendiri 'kan dia ga bisa ngapa-ngapain sekarang, makan disuapin, buang air pun dibantu, jadi mana bisa dia bahagiain anak Ibu." Aku tersenyum sinis.

 

Semoga saja wanita matre ini mau membujuk Susan agar pergi dari sini dan menyuruh anaknya mencari lelaki baru yang lebih kaya.

 

"Ya Tuhan, kasihannya menantuku ini." Ibu itu berjalan mendekat ke arah Mas Ferdi, menyentuh lengan serta pipinya dengan tatapan ibu, lalu setelah itu ia melirikku.

 

"Sebagai istrinya kalian harus kompak, kamu harus fokus urus Ferdi sampai sembuh, sementara Susan biarkan dia mengelola usaha Ferdi, kamu mengerti."

 

Kali ini mataku yang membeliak, tak percaya dengan apa yang dipikirkannya. 

 

"Loh, sebelum Susan hadir pun saya mengurus Mas Ferdi dengan baik, tak hanya itu saya juga mampu mengelola usaha Mas Ferdi dari mulai hanya warteg kecil menjadi restoran besar sampai sekarang, semua itu karena campur tanganku, Bu."

 

Bibir wanita itu langsung mengatup rapat lalu memasang wajah judes seolah tak terima dengan yang aku katakan, dia pikir anaknya itu super Hero yang bisa menyelamatkan ekonomi kami.

 

"Ga usah sombong! Pantas suamimu nikah lagi, wong kamunya kaya gitu." Ia mendelik sinis.

 

Beruntung ponselku berbunyi, ternyata Caca menelpon, aku bergegas keluar menjauh dari wanita aneh itu.

 

"Ya kenapa, Ca?"

 

"Bu, istri kedua Pak Ferdi marah-marah sama saya."

 

"Loh marah-marah kenapa? Emang kamu buat salah?"

 

Kepalaku terasa berdenyut, tak hanya ibunya yang suka membuat kepala ngebul, anaknya pun tak kalah menyebalkan.

 

"Saya ga buat salah kok, tapi Bu Susan bilang agar penghasilan resto hari ini dikasih ke dia, bukankah Ibu bilang tadi pagi agar dikirim ke rekening Ibu saja."

 

Ternyata wanita itu sedang membutuhkan uang, awas kamu, Susan.

 

"Ok, jangan dikasih dulu, tunggu sebentar saya akan datang."

 

Bersambung.

 

 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
emang apa hak istri sirinya bacain hak dan kewajiban perempuan JALANG itu dan ibunya buang ke sumur
goodnovel comment avatar
Hanum Anindya
seenak udel mau bawa barang barang di rumah istri pertamanya, kalau saja aku jadi istri pertama mas Ferdi aku tendang tuh ibunya Susan .........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status