Bagaskara masih saja meluapkan emosinya hingga suara lembut memanggilnya.
"Mas!" Tangan lembut Sarita terulur menyentuh lengan suaminya, "Aku bisa jelaskan semua, percayalah!" lanjut Sarita."Apa yang ingin kau jelaskan? Semua sudah terlihat jelas," kata Bagaskara."Aku dijebak, dan yang menjebak adalah Madam Anne. Aku harap Mas bisa mengerti posisiku," ungkap Sarita.Bagaskara berbalik badan menghadap istrinya, dia mengkerutkan dahi. Tampak gesturnya menolak apa yang dijelaskan oleh Sarita. Lelaki itu tidak percaya akan semua penjelasan Sarita. Baginya apa yang terlihat di depan mata adalah nyata dan istrinya terlihat begitu menikmati sentuhan pria itu.Bagaskara berjalan mengitari tubuh Sarita, dilihatnya dari ujung kepala hingga kaki. Tangan kanannya terulur menyibak helai rambut sang istri. Kedua bola matanya membulat kala melihat adanya kismark. Kedua tangannya mengepal. Bagaskara seketika berbalik badan dan pergi tanpa suara.Setelah kepergian mereka berdua, pintu lain mulai terbuka. Terlihat wajah Anne dengan senyum bahagianya dan tidak lupa tepukan tangan ciri khas keberhasilannya."Rupanya aku kau jadikan tumbal, Anne!" dengus Ludrik."Tapi kau suka, 'Kan?" balas Anne."Jujur gadis itu terasa legit meski sudah hamil muda. Apa kau yakin menjualnya padaku, Anne? Dia bawa cucu kamu, Lho," papar Ludrik."Kau kenal aku luar dalam, sekali aku melangkah pantang bagiku untuk mundur!" tegas Anne.Ludrik hanya terkekeh ringan. Dia sangat mengenal siapa itu Anne, tetapi lelaki itu sedikit ngeri dengan kegilaan wanita di depannya. Berbeda dengan Ludrik, Bagaskara tidak begitu kenal siapa itu Anne -- bundanya.Setelah beberapa saat, akhirnya Bagaskara kembali lagi ke kamarnya. Sarita tertunduk, dia tidak berani menatap manik mata suaminya. Baru hidup beberapa hari saja penderitaan terus menyapanya."Apa seperti ini tingkahmu selama aku kerja di luar, Sarita?" Hentak Bagaskara."Semua tidak seperti yang Mas Bagas lihat. Itu tadi sebenarnya aku hendak keluar dari ruang kerja ..., dan aku dijebak," kata Sarita terputus karena disela oleh suaminya."Kenapa tidak segera keluar atau bangkit dari pangkuan pria itu, apa dia membayarmu lebih?" tanya Bagaskata, "Sejujurnya, janin yang kamu bawa itu aku meragukan asal benihnya," lanjut Bagaskara."Tidak, tidak. Jangan ragukan benihnya, Mas. Ini murni benih kamu, Mas," kilah Sarita.Bagaskara menyungkar rambutnya, dia tidak percaya akan kenyataan yang baru sajaa dia lihat. Selama ini dia berusaha mencintai Sarita dan melupakan istri pertamanya, tetapi setelah cinta itu mengisi ruang kosong justru istrinya sedang berada di atas pangkuan pria lain dan tanda di tengkuknya. Semua sudah dicurahkan untuk kepentingan Sarita, bahkan skripsi yang harusnya dikerjakan oleh istrinya, dia yang kerjakan."Bagaimana, Hem? Awal aku menyentuhmu, tanpa darah. Jalanmu pun begitu mulus hingga aku mudah memasukimu, Sarita. Apa aku salah jika meragukan benih itu?" ungkap Bagaskara.Sarita tertunduk, air matanya keluar perlahan dengan isak tangis yang tertahan. Wanita muda itu mencoba ingat kejadian malam itu. Dimana dia merasakan sesuatu merobek kulitnya hingga terdengar bagai kain robek. Apakah itu tandanya dia masih perawan, lalu bagaimana bisa tidak ada darah diujungnya?Berbagai pertanyaan muncul di otak kecilnya. Dia tidak terima dikatakan tidak perawan meski perumpamaan. Sarita menjerit pilu, lalu menatap datar pada manik mata suaminya. Bagaskara begetar, bibirnya bungkam dengan lidah kelu. Apa yang dia ungkapkan memang benar adanya bahwa pada ujung kelaminnya tidak ditemukan noda darah."Kini, kau makin melangkah jauh, Sarita. Mungkin memang benar bahwa kau terlahir sebagai wanita penghibur!" kata Bagaskara."Mas!" ucap Sarita dengan lantang.Apa kau tidak merasa kismark dari pria itu atau jangan-jangan kau menikmati sentuhannya.""Mas, aku tidak sehina itu!""Mungkin sudah garis nasibmu sebagai penghangat ranjang pria kesepian sepertiku, Sarita. Kau tidak pantas untuk dampingiku sebagai calon ceo," papar Bagaskara.Sarita semakin tergugu, wanita itu tidak sanggup lagi mengangkat kepalanya untuk bisa melihat wajah sang suami. Gadis yang masih lugu dan suci kini terhempas jauh ke dasar jurang kemiskinan hati. Sarita terdiam membisu."Sekarang, ungkapkan apa inginmu, Mas! Selama ini aku sudah berusaha menahan diri atas apa yang kamu lakukan padaku. Hinaan, cacian bahkan pukulan selalu aku terima iklas hanya agar kamu bisa melupakan trauma itu. Namun, jika akhirnya seperti ini, tubuh dan harga diriku harus terjual lebih baik aku menyingkir!" kata Sarita langsung pada tujuan."Baik aku akan turunkan talak sesuai inginmu dan dengarlah! Sarita binti Marni, kuturunkan talak tiga atas diri kamu. Kau sudah kubebaskan menikmati hidup tanpaku. Haram bagimu untuk menyentuhku!""Aku terima talakmu, Mas. Namun, jika suatu saat nanti keadaan berbalik maka janganlah kamu sesali. Aku bawa benihmu, Mas!"Sarita pun berjalan meninggalkan kamar suaminya. Wanita itu menuju ke rumah belakang yang selama ini dia tempati bersama Mbok Marni.Sarita memberesi semua pakaian dia dan surat penting. Simbok hanya menatap semua kesibukan Sarita. Setelah semua siap, Marni baru berjalan mendekat pada wanita muda itu. Sejak kecil Simbok Marni lah yang mengasuh wanitanya."Apakah kamu sudah siap, Sarita?" tanya Mbok Marni."Siap, Simbok. Minta doa restunya!" pinta Sarita."Ini simbok bawakan kalung berlian. Jika suatu hari ada orang yang menemukanmu dan menanyakan mengenai kalung ini jawab saja sudah melingkar di lehermu sejak lahir," ungkap Mbok Marni.Sarita termangu dan menatap pada wajah simboknya. Banyak pertanyaan yang muncul di otak kecil, tetapi simbok hanya diam dan menutup bibirnya dengan jari telunjuk agar Sarita diam saja mengikuti alur yang ada. Akhirnya wanita muda itu pun segera membungkam mulut, lalu memberesi semua barangnya termasuk ijazah mahasiswanya."Aku pergi, Mbok. Jaga dirimu, suatu saat jika aku sukses maka akan kuambil Engkau," kata Sarita dengan nada rendah."Hati-hati di jalan, Nduk. Doa simbok selalu menyertaimu!"Sarita pun berjalan meninggalkan simbok yang masih duduk di balai bambu depan dapur. Sarita terus melangkah menuju gerbang utama lewat pintu samping rumah. ,Namun, saat melewati teras samping langkahnya terhenti oleh teriakan Madam Anne."Tunggu, mau kabur kemana kamu, Sarita?""Madam ... Kehadiran saya di sini sudah tidak diharapkan, maka lebih baik saya keluar, pergi menjauh," kata Sarita yang masih berdiri membelakangi Madam Anne.Madam Anne merasa tidak dihargai oleh anak pembantu, maka dengan ganas di tariknya tas punggung yang dibawa oleh Sarita. Akibat perbuatannya itu, Sarita menjadi terjatuh. Anne tidak terima, dia membuka tas yang dibawa oleh Sarita. Apa yang ada di dalam dikeluarkan semua. Ternyata hanya pakaian dam beberapa surat penting milik wanita itu."Iya sudah, bawa semua barang rongsok kamu. Jangan injakkan kakimu lagi di mansionku, aku jijik melihatmu!"Sarita keluar dari mansion aneh milik Madam Anne, kakinya berjalan tanpa arah. Dua hari dua malam wanita muda itu terus menyusuri trotoar tanpa tujuan. Hingga di hari ketiga perutnya berbunyi cukup nyaring."Akhirnya rasa lapar itu datang juga!" gumam Sarita. Pandangannya menyapu alam sekitar, rupanya kaki jenjang itu sudah membawa raganya pada sebuah taman yang terdapat air mancur. Gegas Sarita berjalan menuju kolam berhias air mancur. Ditengadahkan kedua tapak tangannya pada kucuran air mancur, lalu direguknya dengan puas. Setelah beberapa teguk, ditengadahkan lagi kedua tapak tangannya. Kali ini tidak untuk di teguk, melainkan untuk membasuh mukanya yang terasa tebal oleh debu dan asap kendaraan."Ough, segar. Rasanya aku ingin makan buah yang segar. Nah, di sana ada yang jual buah irisan." Sarita pun melangkah menuju ke penjual buah tersebut. Dia membeli beberapa buah iris dari uang mahar nikahnya yang sejumlah lima ratus ribu. Berbekal uang itu, Sarita meninggalkan mansion. Se
Cukup lama Sarita pingsan, jam sepuluh pagi saat sinar mentari masuk dalam kamar melalui jendela yang terbuka tirainya. Perlahan tubuh Sarita menggeliat, kedua matanya membuka. Pandangannya menyapu ruangan yang berwarna biru laut. Warna yang sudah lama dia dambakan sejak masih kecil. Tapak tangannya meraba hamparan sprei biru langit berhias gemerlap bintang, kemudian pandangannya beralih pada selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Seketika dibuka selimut tersebut, lalu Sarita bangkit dari tidurnya. "Ini ... Kamar siapa? Nuansanya sangat indah," gumam Sarita.Kemudian kakinya mulai bergerak memutari keseluruhan isi kamar tersebut. Bibirnya sesekali berdecak kagum akan semua yang ada di kamar itu. Bagai bulan yang jatuh di pangkuan, semua yang pernah muncul di mimpinya kini nyata ada di depan mata. "Selamat pagi, Nona. Sudah lamakah Anda bangun?" tanya wanita muta dengan name tag Aulia."Pagi, saya ada di mana?" "Ini mansion Tulip milik keluarga Waluyo," jawab Aulia, "Saya yang a
"Aku sendiri tidak tahu cerita mengenai liontin itu. Yang pasti benda itu sudah melingkar di leherku sejak aku bayi. Itu keterangan yang kudapatkan dari simbok," jawab Sarita." Aku Sagara Arnold Waluyo, tunggu satu minggu hasil tes dna. Sementara satu minggu ini kamu bisa lakukan apa saja sesuka hatimu," papar Sagara."Apa yang harus aku lakukan, pertama bagaimana caraku memanggilmu, Tuan?" tanya Sarita dengan nada bingung."Cukup panggil aku Saga. Jika hasil dna itu cocok baru kita bahas selanjutnya."Setelah berucap, ujung jari Sagara pun menekan lagi tombol merah. Pintu terbuka dan menampilkan wajah Aulia. Gadis itu berjalan mendekat pada Sarita dan mengajak perempuan itu untuk keluar. "Permisi Tuan Muda!" pamit Aulia sambil membungkukkan badannya.Sarita yang tidak mengerti tata cara keluarga tersebut hanya diam. Dia langsung berjalan keluar dari ruang kerja dan menunggu Aulia di luar, berdiri di samping pintu. Aulia pun keluar sambil menutup pintu dengan gerak pelan."Mari ikut
Sarita terdiam, matanya menatap deretan huruf yang menyatakan kecocokan 100%. Wanita itu menatap pada pria di depannya, lalu mengangguk."Bagaimana langkah kamu selanjutnya, Sarita?" tanya Sagara."Aku ingin lahiran lebih dulu, kemudian perbaiki sikapku untuk membalas semua ini!" "Bagus. Apa perlu kamu pegang salah satu perusahaan milik Bibi Alinsky? Kebetulan ada butik juga, mungkin pas buat lancarkan rencana kamu," ungkap Sagara.Sarita terdiam. Dia belum berfikir ke sana. Yang jelas wanita itu inginkan lahiran dengan selamat, untuk pertama itu yang terlintas di otaknya. Mengenai kuliahnya hanya nunggu proses wisuda."Boleh aku bertanya, bukan, lebih tepatnya meminta bantuanmu, Saga!""Hemm!""Dua minggu lagi aku wisuda, di sana ada pria itu sebagai pendamping dekan. Aku ingin tidak datang, tolong ambilkan ijazahku. Bisakah?" tanya Sarita dengan nada rendah."Jika soal itu tidak masalah bagiku. Jangan khawatir, semua pasti akan beres.""Baiklah, aku lelah dengan kabar mendadak ini.
Sarita menuriti langkah putranya meninggalkan wanita bersama putrinya yang cantik itu. Tanpa Sarita tahu, Sagara telah melihat dan mendengar semua kalimat perempuan itu. Dahinya mengernyit, seakan dia pernah melihat wajah perempuan tersebut."Paman!" teriak Alifian saat dilihatnya Sagara berdiri dengan bersedekap dan bersandar pada badan mobil. Alifian pun berjalan cepat cenderung berlari menuju ke Sagara, dia segera memeluk kaki panjang pria tersebut. Sagara membungkuk dan meraih tubuh mungil ponakannya itu."Hai jagoan om, apa kabar?" tanya Sagara sambil berjalan menujubke sisi mobil yang lain untuk membukakan pintu Sarita. "Silakan masuk, Mama!" kata Alifian."Hehe, terima kasih, Sayang!" balas Sarita. Kemudian Sagara membukakan pintu lainnya untuk Alifian. "Masuk dan duduk yang baik!""Siap, Paman!"Sagara tersenyum, lalu berjalan memutar menuju ke kursi kemudi. Ekor matanya sempat melihat wajah kaget wanita yang menghina Sarita tadi. Senyum tipis bahkan hampir tidak terlihat t
"Maaf, Anda salah orang!" Sarita langsung melangkah pergi meninggalkan kedua orang masa lalunya.Aulia pun mengikuti langkah Sarita dari belakang sebelumnya memastikan pada salah satu karyawan untuk memerhatikan dua pembeli itu."Bunda, Bagas tidak salah lihat 'kan. Tadi itu benar Saritaku?" tanya Bagaskara."Jangan ngaco kamu, Bagas. Jangan rusak malam indah Ni Luh Ayu!" bisik Madam Anne.Wanita yang dimaksud oleh Madam Anne adalah salah satu putri pejabat penting yang meminang Bagaskara dengan alasan bisnis. Saat ini bisnis Bagaskara sedang naik dan termasuk pembisnis muda berbakat. Namun, akhir-akhir ini muncul pembisnis wanita muda yang cukup kompeten.Bagaskata masih tertarik akan sosok wanita yang menurutnya adalah mantan istrinya itu. Segera dikejarnya wanita itu, saat sampai di depan butik terlihat sosok itu masuk mobil sedan mewah berkelas dan berharga langit. Bagaskara berdecak lirih."Andai dia benar Sarita, lalu bagaimana bisa secepat itu hidupnya bisa berubah?" gumam Bag
Pembawa acara segera memulai acaranya. Satu per satu barang dilelang dengan cara bertahap. Ni Luh terlihat begitu antusias kala sebuah kalung permata bertahtakan belian rubi merah."Kak, tawar kalung itu untukku!" pinta Ni Luh Ayu."Baik, persiapkan saja uangnya!" "Iih, iya uang Kakak lah. Itu masih standart kok harganya!"Bagaaskara berdecak, dia datang karena ingin tahu sejauh mana perhelatan kaum atas. Namun, justru terjebak dengan permintaan dari Ni Luh yang sejak tadi merengek meminta barang. Padahal sejak mula wanita itu berjanji tidak akan hijau mata, tetapi nyatanya 39 juta dana Bagaskara sudah melayang untuk amal."Aku sudah gelontorkan uang sebanyak 30 juta. Apa belum cukup?" "Satu lagi, Sayang. Ya, ya!" pinta Ni Luh Ayu sambil membelai dada Bagaskara.Lelaki itu mendesah lirih, apalagi jemari Ni Luh sudah mulai berjalan menuju ke pangkal pahanya. Bagaskara melirik tajam. Ni Luh hanya tersenyum nakal."Huft huu, baiklah. Mulai lah!"Begitu mendengar apa yang dikatakan oleh
"Mama!" Seorang anak laki-laki naik ke panggung menghampiri Sarita dan Sagara. Pria kecil yang tampan berjalan tegap."Hai, Tampan. Siapa nama kamu?" tanya pembawa acara."Alifian Waluyo!""Wow, apakah ini mama dan papa kamu?" "Iya, ini keluargaku."Sagara tersenyum, lalu diraihnya tubuh mungil ponakannya dan digendong pada tangan kiri. Kemudian tangan kanannya meraih jemari Sarita dan menariknya lembut menuruni tangga. Sepasang mata menatap sosok pria kecil itu, sorot matanya mulai sendu."Mungkinkah itu benihku dulu? Tampan," gumam Bagaskara."Kau sempat tanam benihmu, Kak? Pada wanita itu, aku tidak percaya," kata Ni Luh.Bagaskara tidak memedulikan apa yang ditanyakan oleh Ni Luh, pria itu menatap terus pada tiga orang yang berjalan menuju ke sudut ruang mencari bangku yang nyaman. Pembawa acara sudah memberi kode bahwa waktunya ramah tamah."Mama, Alif haus!" ujar Alifian"Tunggu di sini, biar paman yang ambilkan. Jaga mama kamu, Jagoan!"Tanpa menunggu jawaban, Saraga segera b