Share

9. Terjawab

Sarita terdiam, matanya menatap deretan huruf yang menyatakan kecocokan 100%. Wanita itu menatap pada pria di depannya, lalu mengangguk.

"Bagaimana langkah kamu selanjutnya, Sarita?" tanya Sagara.

"Aku ingin lahiran lebih dulu, kemudian perbaiki sikapku untuk membalas semua ini!"

"Bagus. Apa perlu kamu pegang salah satu perusahaan milik Bibi Alinsky? Kebetulan ada butik juga, mungkin pas buat lancarkan rencana kamu," ungkap Sagara.

Sarita terdiam. Dia belum berfikir ke sana. Yang jelas wanita itu inginkan lahiran dengan selamat, untuk pertama itu yang terlintas di otaknya. Mengenai kuliahnya hanya nunggu proses wisuda.

"Boleh aku bertanya, bukan, lebih tepatnya meminta bantuanmu, Saga!"

"Hemm!"

"Dua minggu lagi aku wisuda, di sana ada pria itu sebagai pendamping dekan. Aku ingin tidak datang, tolong ambilkan ijazahku. Bisakah?" tanya Sarita dengan nada rendah.

"Jika soal itu tidak masalah bagiku. Jangan khawatir, semua pasti akan beres."

"Baiklah, aku lelah dengan kabar mendadak ini. Permisi, aku ingin istirahat dulu!"

Waktu terus berlalu, masa itu telah berganti dengan senyum dan kekuasaan. Empat tahun sudah waktu yang dijalani bersama dengan putranya Lukas. Sarita berjalan menuju ke ruang rapat seluruh direksi. Rapat dihadiri oleh seluruh pimpinan cabang. Ada sosok yang dikenal oleh Sarita. Sosok yang lama tidak dia jumpai sesaat sebelum dia mengajukan jadwal wisuda.

"Baik, selamat siang semua. Rapat kali ini dipimpin langsung oleh owner kita, Ibu Sarita Waluyo. Silakan dimulai persentasi kalian!" ucap wanita yang dikenal Sarita saat kuliah.

Sisil tidak berani menatap manik biru milik sahabatnya dulu, meskipun dalam benaknya muncul beberapa pertanyaan mengenai kabar sahabatnya itu. Ada sosok wanita tangguh yang senantiasa berada di samping Sarita yang membuat Sisilia mengurungkan niatnya.

Satu per satu pimpinan cabang memberi presentasi mengenai kemajuan cabang yang dipimpin. Hampir semua mengalami kemajuan yang cukup signifikan bahkan ada yang stabil di angka tinggi.

"Bagus, pertahankan kinerja Kalian. Aku tidak mau ada kabar penurunan yang drastis. Saat ini usaha ini makin bersaing, apalagi produk luar negeri bebas masuk!" kata Sarita.

"Untuk Kalian yang masih di angka rata-rata tingkatkan dengan strategi yang berbeda. Cari jalan agar produk kita banyak dikenal oleh masyarakat luas dari segala aspek ekonomi."

Rapat berjalan lancar, Sarita pun menutup rapat dengan elegan. Setelah selesai wanita itu pun beranjak dari duduknya meninggalkan tempat rapat. Aulia pun mengikuti langkah majikannya.

"Nona, sekarang Anda harus mengecek butik yang akhir-akhir ini sedang ramai pesanan. Terutama desain terbaru yang Anda buat beberapa hari lalu!" kata Aulia sambil berjalan mensejajari langkah Sarita.

"Iya, kita jemput Alifian lebih dulu!"

"Baik!"

Sarita berjalan menuju ke ruangannya, perempuan itu duduk sejenak di meja kerjanya menatap foto anak laki-laki tampan berusia 3,5 tahun.

"Mama ingin kamu jadi pria hebat, Lukas. Seperti paman kamu, Sagara!" gumam Sarita.

"Rupanya kamu merindukan aku juga, Sarita!" ucap seorang pria yang sudah berdiri di ambang pintu.

Kedua bila mata Sarita membelalak tidak percaya akan sosok di depannya itu.

"Saga! Kapan kamu pulang?" Sarita berkata sambil berjalan menuju ke pria yang sempat membuatnya nyaman.

"Aku baru saja sampai dan langsung datang ke sini. Bagaimana kabar hidupmu dua tahun ini, Sari? Apakah Sisilia membuatmu repot?" cerca Sagara.

"Sisilia, kamu kenal perempuan itu?" tanya Sarita sambil meraih lengan Sagata untuk dibawanya ke sofa.

"Kau sudah berani sentuh lenganku, ada apa ini?"

Seketika Sarita mengurai pelukannya pada lengan Sagara dan menjauhkan tangannya juga. Sagara tergelak melihat reaksi sepupunya itu. Kemudian dia pun duduk di sofa single, dan melambaikan tangannya pada Aulia. Aulia pun paham, segera wanita itu membungkukkan badannya dan meninggalkan tempat tersebut.

"Apa kamu ingat dengan nama pria yang saat itu ingin membelimu, Sari?" tanya Sagara saat Aulia sudah menutup pintu.

Sarita menggeleng, lalu pandangannya melihat pada pergelangan tangan yang terdapat jam tangan. Bibirnya terbuka lebar dengan bola mata yang membulat

"Maaf, Saga! Aku harus segera keluar, jemput Alifian," kata Sarita sambil mulai bersiap.

"Aku ikut, sudah lama aku tidak jumpa dengan jagoanku itu!"

Segera Sarita berjalan keluar setelah pintu dibukakan oleh Sagara. Mereka berdua berjalan menuju perkiran khusus pimpinan. Aulia di tugaskan oleh Sarita untuk langsung ke lokasi butik, karena dia akan jemput Alifian bersama Sagara.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Selama perjalanan suasana hening, tetapi sesekali mereka saling melirik. Hingga bertabrakan, kemudian senyum terkembang di kedua bibir mereka.

"Sudah sampai, ayo segera turun. Sudah tidak sabar melihat jagoanku!" kata Sagara sambil membuka sabuk pengaman Sarita.

"Terima kasih!"

Setelah berucap, gegas jemari lentik itu membuka pintu dan keluar lebih dulu. Lalu menatap ke balakanh pada Sagara yang masih ada di dalam.

"Apakah kami nunggu di sini saja, Saga?" tanya Sarita.

"Heemm!"

Sarita pun melangkah menuju ke pintu gerbang sekolah tersebut. Terlihat sosok pria kecil berjalan bersama dengan gadis seusianya berjalan beriringan. Senyum putranya mengembang kalaa melihat kehadiran mamanya. Perlahan Sarita jongkok dan mengembangkan lengannya.

"Mama, Alif sudah besar. Tidak perlu disambut seperti itu!" rengeknya.

Alifian berbicara sambil melirik gadis kecil yang berdiri di sampingnya, Sarita pun tersenyum. Wanita itu tahu dengan maksud putranya itu.

"Namanya siapa, Cantik?" tanya Sarita sambil menoel pipinya.

"Amara, Tante."

"Nama yang indah, dijemput siapa?" tanya Sarita lembut.

"Jangan sentuh putriku, Wanita miskin!" Seorang wanita dengan make up tebal dan penampilan yang glamour.

"Tangan kotormu tidak pantas menyentuh putriku, tanganmu sudah ternoda dengan pria hidung belang di luar sana!"

Sarita hanya diam menatap wajah wanita itu dengan seksama. Sekilah dia pernah melihatnya di suatu acara. Namun, Sarita lupa kapan itu terjadi yang pasti hatinya sakit. Yang lebih membuatnya sakit adalah perkataan itu terucap saat bersama Alifian.

"Maaf, Tante. Tangan Andalah yang belum bersuci, Mamaku tidak pernah berbuat seperti itu. Kami bergelimang harta, jadi tidak perlu menjual hal yang tidak pelu. Maaf! Ayo Mama kita pulang!"

"Haii, wanita tidak tahu diri, awas saja ya!" teriak wanita itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status