Sarita terdiam, matanya menatap deretan huruf yang menyatakan kecocokan 100%. Wanita itu menatap pada pria di depannya, lalu mengangguk.
"Bagaimana langkah kamu selanjutnya, Sarita?" tanya Sagara."Aku ingin lahiran lebih dulu, kemudian perbaiki sikapku untuk membalas semua ini!""Bagus. Apa perlu kamu pegang salah satu perusahaan milik Bibi Alinsky? Kebetulan ada butik juga, mungkin pas buat lancarkan rencana kamu," ungkap Sagara.Sarita terdiam. Dia belum berfikir ke sana. Yang jelas wanita itu inginkan lahiran dengan selamat, untuk pertama itu yang terlintas di otaknya. Mengenai kuliahnya hanya nunggu proses wisuda."Boleh aku bertanya, bukan, lebih tepatnya meminta bantuanmu, Saga!""Hemm!""Dua minggu lagi aku wisuda, di sana ada pria itu sebagai pendamping dekan. Aku ingin tidak datang, tolong ambilkan ijazahku. Bisakah?" tanya Sarita dengan nada rendah."Jika soal itu tidak masalah bagiku. Jangan khawatir, semua pasti akan beres.""Baiklah, aku lelah dengan kabar mendadak ini. Permisi, aku ingin istirahat dulu!"Waktu terus berlalu, masa itu telah berganti dengan senyum dan kekuasaan. Empat tahun sudah waktu yang dijalani bersama dengan putranya Lukas. Sarita berjalan menuju ke ruang rapat seluruh direksi. Rapat dihadiri oleh seluruh pimpinan cabang. Ada sosok yang dikenal oleh Sarita. Sosok yang lama tidak dia jumpai sesaat sebelum dia mengajukan jadwal wisuda."Baik, selamat siang semua. Rapat kali ini dipimpin langsung oleh owner kita, Ibu Sarita Waluyo. Silakan dimulai persentasi kalian!" ucap wanita yang dikenal Sarita saat kuliah.Sisil tidak berani menatap manik biru milik sahabatnya dulu, meskipun dalam benaknya muncul beberapa pertanyaan mengenai kabar sahabatnya itu. Ada sosok wanita tangguh yang senantiasa berada di samping Sarita yang membuat Sisilia mengurungkan niatnya.Satu per satu pimpinan cabang memberi presentasi mengenai kemajuan cabang yang dipimpin. Hampir semua mengalami kemajuan yang cukup signifikan bahkan ada yang stabil di angka tinggi."Bagus, pertahankan kinerja Kalian. Aku tidak mau ada kabar penurunan yang drastis. Saat ini usaha ini makin bersaing, apalagi produk luar negeri bebas masuk!" kata Sarita."Untuk Kalian yang masih di angka rata-rata tingkatkan dengan strategi yang berbeda. Cari jalan agar produk kita banyak dikenal oleh masyarakat luas dari segala aspek ekonomi."Rapat berjalan lancar, Sarita pun menutup rapat dengan elegan. Setelah selesai wanita itu pun beranjak dari duduknya meninggalkan tempat rapat. Aulia pun mengikuti langkah majikannya."Nona, sekarang Anda harus mengecek butik yang akhir-akhir ini sedang ramai pesanan. Terutama desain terbaru yang Anda buat beberapa hari lalu!" kata Aulia sambil berjalan mensejajari langkah Sarita."Iya, kita jemput Alifian lebih dulu!""Baik!"Sarita berjalan menuju ke ruangannya, perempuan itu duduk sejenak di meja kerjanya menatap foto anak laki-laki tampan berusia 3,5 tahun."Mama ingin kamu jadi pria hebat, Lukas. Seperti paman kamu, Sagara!" gumam Sarita."Rupanya kamu merindukan aku juga, Sarita!" ucap seorang pria yang sudah berdiri di ambang pintu.Kedua bila mata Sarita membelalak tidak percaya akan sosok di depannya itu."Saga! Kapan kamu pulang?" Sarita berkata sambil berjalan menuju ke pria yang sempat membuatnya nyaman."Aku baru saja sampai dan langsung datang ke sini. Bagaimana kabar hidupmu dua tahun ini, Sari? Apakah Sisilia membuatmu repot?" cerca Sagara."Sisilia, kamu kenal perempuan itu?" tanya Sarita sambil meraih lengan Sagata untuk dibawanya ke sofa."Kau sudah berani sentuh lenganku, ada apa ini?"Seketika Sarita mengurai pelukannya pada lengan Sagara dan menjauhkan tangannya juga. Sagara tergelak melihat reaksi sepupunya itu. Kemudian dia pun duduk di sofa single, dan melambaikan tangannya pada Aulia. Aulia pun paham, segera wanita itu membungkukkan badannya dan meninggalkan tempat tersebut."Apa kamu ingat dengan nama pria yang saat itu ingin membelimu, Sari?" tanya Sagara saat Aulia sudah menutup pintu.Sarita menggeleng, lalu pandangannya melihat pada pergelangan tangan yang terdapat jam tangan. Bibirnya terbuka lebar dengan bola mata yang membulat"Maaf, Saga! Aku harus segera keluar, jemput Alifian," kata Sarita sambil mulai bersiap."Aku ikut, sudah lama aku tidak jumpa dengan jagoanku itu!"Segera Sarita berjalan keluar setelah pintu dibukakan oleh Sagara. Mereka berdua berjalan menuju perkiran khusus pimpinan. Aulia di tugaskan oleh Sarita untuk langsung ke lokasi butik, karena dia akan jemput Alifian bersama Sagara.Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Selama perjalanan suasana hening, tetapi sesekali mereka saling melirik. Hingga bertabrakan, kemudian senyum terkembang di kedua bibir mereka."Sudah sampai, ayo segera turun. Sudah tidak sabar melihat jagoanku!" kata Sagara sambil membuka sabuk pengaman Sarita."Terima kasih!"Setelah berucap, gegas jemari lentik itu membuka pintu dan keluar lebih dulu. Lalu menatap ke balakanh pada Sagara yang masih ada di dalam."Apakah kami nunggu di sini saja, Saga?" tanya Sarita."Heemm!"Sarita pun melangkah menuju ke pintu gerbang sekolah tersebut. Terlihat sosok pria kecil berjalan bersama dengan gadis seusianya berjalan beriringan. Senyum putranya mengembang kalaa melihat kehadiran mamanya. Perlahan Sarita jongkok dan mengembangkan lengannya."Mama, Alif sudah besar. Tidak perlu disambut seperti itu!" rengeknya.Alifian berbicara sambil melirik gadis kecil yang berdiri di sampingnya, Sarita pun tersenyum. Wanita itu tahu dengan maksud putranya itu."Namanya siapa, Cantik?" tanya Sarita sambil menoel pipinya."Amara, Tante.""Nama yang indah, dijemput siapa?" tanya Sarita lembut."Jangan sentuh putriku, Wanita miskin!" Seorang wanita dengan make up tebal dan penampilan yang glamour."Tangan kotormu tidak pantas menyentuh putriku, tanganmu sudah ternoda dengan pria hidung belang di luar sana!"Sarita hanya diam menatap wajah wanita itu dengan seksama. Sekilah dia pernah melihatnya di suatu acara. Namun, Sarita lupa kapan itu terjadi yang pasti hatinya sakit. Yang lebih membuatnya sakit adalah perkataan itu terucap saat bersama Alifian."Maaf, Tante. Tangan Andalah yang belum bersuci, Mamaku tidak pernah berbuat seperti itu. Kami bergelimang harta, jadi tidak perlu menjual hal yang tidak pelu. Maaf! Ayo Mama kita pulang!""Haii, wanita tidak tahu diri, awas saja ya!" teriak wanita itu.Sarita menuriti langkah putranya meninggalkan wanita bersama putrinya yang cantik itu. Tanpa Sarita tahu, Sagara telah melihat dan mendengar semua kalimat perempuan itu. Dahinya mengernyit, seakan dia pernah melihat wajah perempuan tersebut."Paman!" teriak Alifian saat dilihatnya Sagara berdiri dengan bersedekap dan bersandar pada badan mobil. Alifian pun berjalan cepat cenderung berlari menuju ke Sagara, dia segera memeluk kaki panjang pria tersebut. Sagara membungkuk dan meraih tubuh mungil ponakannya itu."Hai jagoan om, apa kabar?" tanya Sagara sambil berjalan menujubke sisi mobil yang lain untuk membukakan pintu Sarita. "Silakan masuk, Mama!" kata Alifian."Hehe, terima kasih, Sayang!" balas Sarita. Kemudian Sagara membukakan pintu lainnya untuk Alifian. "Masuk dan duduk yang baik!""Siap, Paman!"Sagara tersenyum, lalu berjalan memutar menuju ke kursi kemudi. Ekor matanya sempat melihat wajah kaget wanita yang menghina Sarita tadi. Senyum tipis bahkan hampir tidak terlihat t
"Maaf, Anda salah orang!" Sarita langsung melangkah pergi meninggalkan kedua orang masa lalunya.Aulia pun mengikuti langkah Sarita dari belakang sebelumnya memastikan pada salah satu karyawan untuk memerhatikan dua pembeli itu."Bunda, Bagas tidak salah lihat 'kan. Tadi itu benar Saritaku?" tanya Bagaskara."Jangan ngaco kamu, Bagas. Jangan rusak malam indah Ni Luh Ayu!" bisik Madam Anne.Wanita yang dimaksud oleh Madam Anne adalah salah satu putri pejabat penting yang meminang Bagaskara dengan alasan bisnis. Saat ini bisnis Bagaskara sedang naik dan termasuk pembisnis muda berbakat. Namun, akhir-akhir ini muncul pembisnis wanita muda yang cukup kompeten.Bagaskata masih tertarik akan sosok wanita yang menurutnya adalah mantan istrinya itu. Segera dikejarnya wanita itu, saat sampai di depan butik terlihat sosok itu masuk mobil sedan mewah berkelas dan berharga langit. Bagaskara berdecak lirih."Andai dia benar Sarita, lalu bagaimana bisa secepat itu hidupnya bisa berubah?" gumam Bag
Pembawa acara segera memulai acaranya. Satu per satu barang dilelang dengan cara bertahap. Ni Luh terlihat begitu antusias kala sebuah kalung permata bertahtakan belian rubi merah."Kak, tawar kalung itu untukku!" pinta Ni Luh Ayu."Baik, persiapkan saja uangnya!" "Iih, iya uang Kakak lah. Itu masih standart kok harganya!"Bagaaskara berdecak, dia datang karena ingin tahu sejauh mana perhelatan kaum atas. Namun, justru terjebak dengan permintaan dari Ni Luh yang sejak tadi merengek meminta barang. Padahal sejak mula wanita itu berjanji tidak akan hijau mata, tetapi nyatanya 39 juta dana Bagaskara sudah melayang untuk amal."Aku sudah gelontorkan uang sebanyak 30 juta. Apa belum cukup?" "Satu lagi, Sayang. Ya, ya!" pinta Ni Luh Ayu sambil membelai dada Bagaskara.Lelaki itu mendesah lirih, apalagi jemari Ni Luh sudah mulai berjalan menuju ke pangkal pahanya. Bagaskara melirik tajam. Ni Luh hanya tersenyum nakal."Huft huu, baiklah. Mulai lah!"Begitu mendengar apa yang dikatakan oleh
"Mama!" Seorang anak laki-laki naik ke panggung menghampiri Sarita dan Sagara. Pria kecil yang tampan berjalan tegap."Hai, Tampan. Siapa nama kamu?" tanya pembawa acara."Alifian Waluyo!""Wow, apakah ini mama dan papa kamu?" "Iya, ini keluargaku."Sagara tersenyum, lalu diraihnya tubuh mungil ponakannya dan digendong pada tangan kiri. Kemudian tangan kanannya meraih jemari Sarita dan menariknya lembut menuruni tangga. Sepasang mata menatap sosok pria kecil itu, sorot matanya mulai sendu."Mungkinkah itu benihku dulu? Tampan," gumam Bagaskara."Kau sempat tanam benihmu, Kak? Pada wanita itu, aku tidak percaya," kata Ni Luh.Bagaskara tidak memedulikan apa yang ditanyakan oleh Ni Luh, pria itu menatap terus pada tiga orang yang berjalan menuju ke sudut ruang mencari bangku yang nyaman. Pembawa acara sudah memberi kode bahwa waktunya ramah tamah."Mama, Alif haus!" ujar Alifian"Tunggu di sini, biar paman yang ambilkan. Jaga mama kamu, Jagoan!"Tanpa menunggu jawaban, Saraga segera b
"Berhenti, Kak. Apa yang Kakak lakukan, lihat semua orang menatapmu!" desis Ni Luh.Bagaskara menyentak tangan Ni Luh, dia tidak peduli. Langkahnya terus mengejar Sarita. Namun, wanita itu sudah menghilang di tengah kerumunan para tamu dan pengunjung malam amal. Bagaskara pun melangkah menuju meja yang tadi dilihatnya ada pria kecil."Kosong, kemana mereka pergi," gumam Bagas, lalu saat ada pelayan yang melewatinya pria itu pun bertanya, "Maaf, tahukan kamu dimana Tuan Sagara dan keluarga?""Ough, Tuan Sagara baru saja meninggalkan acara ini bersama Nona Sarita, Tuan.""Terima kasih!"Bagaskara pun melangkah meninggalkan lokasi malam amal tanpa mengajak Ni Luh. Wanita itu ditinggal tanpa kabar hingga membuat Ni Luh mencari sosok Bagaskara "Shit, dasar pria tidak tau diuntung. Enak saja tinggalkan aku begitu saja. Awas saja kamu, Sarita. Semua ini gara-gara kamu!"Ni Luh pun menghubungi sopir pribadinya agar segera menjemputnya. Malam semakin merangkak menuju pagi, tetapi mata Sarita
Pagi hari Bagaskara berniat ingin mengetahui semua informasi mengenai bocah laki-laki kecil yang bersama Sarita. Senyum tipis tercetak di wajah tampannya."Aku harus mulai dari butik itu, mungkin dari sana bisa kudapatkan informasi," batin Bagaskara.Setelah merasa yakin akan idenya, Bagaskara pun segera melajukan kendaraannya menuju ke butik tempat dia melihat pertama kali mantan istrinya. Jalanan yang lancar membuat laju mobil Bagaskara tidak terjebak mancet, sehingga dalam waktu belasan menit dia sudah sampai di depan butik.Butik sudah terlihat ramai di jam kerja, banyak pengunjung yang datang silih berganti tanpa henti. Mereka selalu membawa beberapa paper bag. "Rupanya kamu sudah sukses, Sarita. Aku tidak menyangka jika kamu memiliki kekayaan dan peluang bisnis. Andai aku tahu dari awal mungkin tak kucerai kamu, Sarita!" gumam Bagaskara.Sebuah mobil sedan mewah keluaran terbaru meluncur perlahan dan berhenti tepat di depan butik, seorang wanita turun dengan pakaian yang seder
Bagaskara terdiam sendiri di sudut kamar, pikirannya menerawang pada masa lalu saat dia pertama kali menggauli tubuh indah Sarita. Memang diujung juniornya tidak terdapat noda darah sedikitpun, tetapi rasa nikmat dan sempit begitu membuat dia merasa ketagihan. Rasa yang tidak sama saat dia menyentuh tubuh wanita lainnya yang biasa menemani ranjang."Rasa yang terkadang membuatku gila, tetapi sesuatu sudah menodai kepercayaanku," gumam Bagaskara."Apakah memagbenar anak itu adalah daah dagingku, tetapi jika bukan mengapa kau erasa ada yang berbeda dari tatapan mata indah itu?" Bagaskara masih terus bermonolog membayangkan jika anak itu adalah darah dagingnya.Cukup lama Bagaskara berdiri di sudut ruang itu hingga ingatannya tertuju pada Mbok Marni. Maka senyum tipis pun terbit di bibir pria itu. Gegas dia keluar dari kamarnya dan menuju ke rumah belakang tempat Mbok Marni tinggal selama ini di mansion tersebut bersama para pelayan lainnya.Bagaskara pun melangkah cepat menuju ke rumah
"Ada apa, Mbok?" tanya Bagas."Tidak ada, Den. Semua sudah terjadi, maka biarkan mengalir apa adanya. Jangan diusik lagi, kasihan hidupnya yang selalu susah!" kata Marni datar."Tetapi jika benar itu Sarita, berarti anak itu darah dagingku, Mbok!" kata Bagas dengan nada lugas."Bisa jadi, tetapi bukankah dulu Aden yang menolaknya bahkan mengusir dengan tuduhan jual badan!" kata Marni.Bagaskara diam. Dia sadar dan ingat benar apa yanh diucapkan pada Sarita. Saat itu hatinya sedang diliputi emosi, bagaimana tidak emosi jika istrinya sedang memadu kasih di ruang kerja ibunya dalam keadaan baju atas basah kuyub. Satu lagi, posisi Sarita saat itu duduk dipangkuan pria lain dalam keadaan dipeluk.Simbok hanya tersenyum sinis melihat reaksi anak majikannya itu. Sebenarnya wanita tua itu tahu setiap perkembangan anak asuhnya, tetapi dia enggan bicara jujur. Marni juga sadar jika Sarita berasal dari keluarga kaya raya. Namun, Marni ingin tahu sejauh apa perjuangan Bagas untuk mendapatkan hak