Share

Pulang kampung

"Kok... Kok, Abi nggak ngomong sama Adek dari kemarin?" protes Ratini. 

Aku hanya tersenyum, berbeda dengan Abi yang sedikit gelagapan. Aku duduk di tepi ranjang, tepat si sebelah kaki Ratini. Kupijit pelan kakinya. 

"Sebenarnya aku sudah suruh Abi bilang dari kemarin, waktu aku tanya itu loh!" ucapku. Ratini terlihat mengangguk. 

"Ih! Abi, kenapa nggak bilang dari kemarin? Terus Abi mau keluar kota berapa hari?" tanyanya lagi. 

Abi hanya menggaruk kepala. 

"Kan tadi pagi, Umi juga sudah bilang! Kalau Abi itu sibuk. Ya kan, Bi?" 

"I-Iya, Umi. Maafkan Abi ya, Dik!" ucap Abi. 

"Ya udah kalau gitu Umi berangkat dulu ya," pamitku. 

"Abi nganter Umi sebentar!" pamit Abi pada Ratini. 

Dia seketika mengekor di belakangku. Hingga sampai kedepan. 

"Umi yakin?" kini pertanyaannya membuat aku tersenyum.

"Kenapa tidak, Abi? Sudahlah. Setelah Kusiapkan semua tinggal Abi yang kesana! Biar Umi di rumah jagain Adek!"

"Kalau gitu baiklah, Umi. Terima kasih ya!"

"Sama-sama, Bi." Kuraih tangan Abi untuk takzim kemudian Abi juga mengecup keningku lalu melambaikan tangan.

"Hati-hati!" teriakkannya masih bisa kudengar.

Aku tersenyum tipis. Hati ini terluka begitu dalam, masih teringat jelas bagaimana dulu aku menjadi ratu sehari di pelaminan mewah. Di sanalah Abi mengucapkan janji sucinya. 

"Kamu sudah pikirkan, Sal! Usman itu kaya, punya banyak uang jadi tak menutup kemungkinan dia akan menikah lagi suatu saat!" ucapan dari sepupuku yang memang seusiaku tak kuindahkan. Kuanggap dia sedang iri melihat aku bersanding dengan pangeran tampan yang hidup bergelimang harta. 

Aku pikir Abi merupakan suami yang tahu agama dan dasarnya. Jadi jika memang dia akan berpoligami tentu karena ada sebab dan musabab yang membuat dia untuk melakukan tindakan poligami, seperti yang telah di tulisan dalam sunah-sunah nabi. 

Ternyata semua tak sesuai expetasiku. Bahkan dia beralasan poligami hanya tak kuat menanggung hasratnya untuk empat puluh hari, menunggu masa nifasku berakhir! Benar-benar laki-laki faham agama tapi lemah iman!

Tiba di kampung halamanku, suasana hawa dingin menusuk tulang begitu kurasa, terlebih di mobil kunyalakan ace lumayan dingin. Kuambil jaket yang memang sudah kusiapkan. Masih nuansa menjelang pagi, pukul tiga dini hari tapi suara ngaji anak-anak sudah terdengar jelas di telingga. Maklum daerahku banyak pondok pesantren.  

"Pak, setelah aku turun, bapak mau ikut kerumah atau mau pulang dulu?" tanyaku. Kebetulan rumah Pak Sobri supir pribadi satu ini rumahnya dekat, hanya beda kabupaten dan dapat di tempuh dengan waktu dua jam.

"Saya pulang dulu saja ya, Umi. Kangen sama anak-anak," ucapnya. 

Aku anggukan saja, biar nanti dia jemput saat aku pulang, tentang kerumah Nita yang berjarak satu jam perjalanan, aku bisa mengunakan mobil yang di rumah. Tentunya itu milikku tapi memang sengaja aku tempatkan untuk Abah dan Ami. Agar tak kerepotan kalau pergi kemana-mana. 

"Assalamualaikum..." ucapku. Masih sunyi, ini sudah waktu salat subuh. Mungkin mereka tengah menjalankannya. 

"Assalamualaikum... " kembali, kali ini sambil kuketuk pintu. 

"Waalaikumsalam.... " dari belakangku terdengar jawaban. 

"Abah, Ami!" pekikku melihat sosok dua orang yang kusayangi berada di depanku. 

Mereka baru saja pulang dari mushola dekat rumah. Langsung kuambil tangan mereka dan menciumnya secara takzim. 

"Kamu sendirian toh, Nduk?" tanya Ami. 

"Iya, Mi. Biasa Abi Usman sibuk dengan bisnisnya!" 

"Sibuk dengan bisnis apa dengan istri mudanya?" seketika bibirku kelu, bagaimana Ami tahu kalau suamiku menikah lagi. 

"Ami, jangan bahas hal semacam itu saat Salma baru datang!" protes Abah. 

"Iya... Iya... Bah! Abis Ami gemes sama madumu itu!" 

Apa? Ami bahkan merasa gemas, apa mereka pernah bertemu? 

"Ngga papa, Bah. Yuk... Ami masuk! Salma sudah kangen sama masakan Ami."

Segera aku tuntun dua orang yang paling kucintai itu. Pak Sobri masuk membawakan koperku. 

"Umi, saya pamit langsung saja ya!" kata Pak Sobri ketika sudah memasukan koper kedalam. 

"Baik, Pak. Terima kasih ya." aku membuka tas yang sedang kugapit. 

"Ini titip buat jajan anak bapak, salamkan pada istrinya ya, Pak!" 

"Aduh Umi, bapak jadi nggak enak. Umi terlalu baik."

"Nggak papa, Pak. Itu rejeki anak-anak."

"Makasih, Umi. Bapak pamit dulu. Assalamualaikum... "

"Waalaikumsalam."

Aku segera menaruh tas di kamar salat shubuh kemudian turun kebawah untuk membantu Ami membuat sarapan. 

"Udah, Nduk! Kamu istirahat saja, bukankah kamu kecapaian." Ami berkata sambil merebut pisau yang tengah kupegang. 

"Ami... Aku ngga capek kok, Salma mau bantu Ami masak. Sekalian kangen masak sendiri!"

"Behhh... Ami tahu, di sana jangankan pegang pisau. Mungkin naruh piring di wastafel aja kaga pernah!"

"Nah itu Ami tahu!" jawabku, "Oh ya Ami, memangnya Ami tahu dari mana kalau Abi Usman menikah lagi?"

Seketika Ami yang tengah memotong sayuran berhenti. 

"Saat kamu koma itu, Abah dan Ami datang karena di kabari oleh Usman. Ehh... Sampai di sana malah harus mendengar kenyataan pahit bahwa Usman menikah lagi! Abah marah besar tapi berhasil Ami tenangkan. Ami sedih melihat kamu berbaring tak berdaya, terlebih Abah begitu terpukul hingga tahan hanya satu hari di sana. Kemudian fisik Abah drop makanya kami memilih pulang! Ketika akan kesana Ami dengar kamu sudah sehat dan siuman bahkan sempat kita VC kan? Sengaja kami tak memberi tahu bahwa kami sebenarnya tahu tentang koma yang kamu alami. Ternyata anak Ami begitu tegar dan kuat hingga bisa menutupi segala laranya."

Ucapan Ami begitu menusuk hati, tanpa terasa air mata ini banjir seiring setiap berkataan yang keluar dari bibir orang yang paling kumuliakan. Hatiku teriris sakit, mendengar kata demi kata. Kalau bukan terlahir dari rahimnya mungkin aku tak akan menjadi sosok kuat seperti sekarang ini.

Ibu melanjutkan memotong sayuran, tapi aku dapat melihat buliran bening itu mengalir turun dari matanya. Ada apakah gerangan sampai dia menangis sedemikian sedih. 

"Ami...!" panggilku pelan. 

Dia tak menoleh, tapi aku sangat yakin ada yang belum ia katakan padaku. 

"Ami ada yang di sembunyikan dari Salma?" kali ini aku memegang pundaknya. Seketika dia berpaling dan langsung memelukku dengan tangis yang tak dapat lagi dia bendung. 

"Terima kasih ya Allah, engkau telah hadirkan putri kami sebagai wanita yang kuat! Sekuat khadijah." gumam Ami dalam tangis yang masih dapat kudengar. 

Kali ini aku ikut larut dalam tangis. Sebenarnya ada apa sampai Ami begitu merasakan kalau aku seolah terdzolimi dan menjadi perempuan tangguh. 

Kududukan dia pada kursi di ruang makan yang langsung berhadapan dengan dapur. 

"Sebenarnya ada apa, Ami?" tanyaku pelan setelah dia benar-benar menghapus air matanya. 

Ami masih terdiam tapi sejurus kemudian menatapku tajam, seolah mencari celah kekuatan pada binar mataku. 

"Ami akan ceritakan! Tapi kamu harus menjadi wanita yang lebih kuat ya!"

Aku mengangguk setuju dan mengengam erat tangan beliau. Meyakinkan bahwa aku bukan wanita yang lemah! 

~~~~

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dyah Astri Andriyani
setegar siti khatijah??? emang siti khatijah pernah dipoligami oleh Rosulullah?? gk pernahlah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status