Share

Hati yang kelu

"Pagi, Abi... " sapaku ketika berada di meja makan, dia tengah sibuk mengembil roti dengan selai coklat tanpa duduk. 

"Pagi," jawabnya singkat sambil terus mengoleskan roti. 

Aku mengambil tempat duduk, "Abi mau sarapan di jalan?" tanyaku melihat dia yang tengah sibuk tanpa duduk, tak biasanya. 

"Nggak kok, Mi. Ini Abi ambilkan buat Adek, dia ngga mau turun, mau makan di kamar saja katanya."

"Owalah, kok Abi nggak ngomong. Sini biar Umi ambilin, Abi kan mesti siap-siap. Kenapa juga masih merepotkan Abi?"

"Nggak papa, Umi. Biar Abi saja!"

"Abi yakin? Nanti kalau Abi yang ngantar malah nggak jadi makan lagi karena bau keringat Abi!"

Sejenak Abi mencium kanan kiri tubuhnya, wangi sih aroma tubuh Abi, tapi entah kenapa dia akan mual bila berdekatan dengan Suaminya itu! Mungkin itu hukuman atas apa yang telah ia perbuat. Akhirnya hamil juga ingin di jauhi ayahnya. Sudahlah! Bukankah itu menguntungkan buatku membalas sakit hati ini! 

"Iya juga ya, Mi. Ya udah, antar Umi ya, tapi pastikan dia memakannya ya!"

Aku segera mendorong kebelakang kursi yang kududuki. 

"Baik, Abi. Tenang saja! Umi kan juga perempuan, bisa merasakan apa yang dia alami, Abi!"

Abi mengangguk dan menyerahkan roti tadi, aku mengambil nampan dan segelas susu. Menaruh roti dalam piring dan segera membawanya menuju kamar tuan putri manja itu. Eh... Bukan. Cuma selir manja! 

Tok... Tokk... 

Kubuka pintu kamar maduku itu, dia sudah terlihat tersenyum tapi berubah murung ketika melihat aku yang datang. 

"Kenapa bukan Abi yang datang, Mbak?" tanyanya seolah nggak suka. Aku meletakan roti meja dekat tempat tidur. Aku memilih duduk di sampingnya yang tengah duduk bersender pada kepala dipan. 

"Kamu kan katanya nggak suka bau keringat Abi, jadi dari pada nanti kamu muntah-muntah dan nggak jadi makan, lebih baik Mbak ngga berinisiatif mengantarkannya bukan? Lagian aku kan juga keluarga di sini. Aku khawatir dengan keadaanmu kalau kaya gini terus."

"Tapi, Mbak. Aku memang nggak suka bau keringat Abi, tapi saat di peluk bukan saat hanya berdekatan. Akukan juga mau di perhatikannya di manja dan di suapi!" protesnya. 

Aku menghela nafas berat, muak sekali sebenarnya melihat kelakuan adik Maduku ini. 

"Kamu kan tahu, Abi itu orangnya sibuk, mengurus bisnis di sana sini! Cobalah untuk mengerti jadilah wanita yang mandiri. Abi itu punya banyak bisnis tak punya banyak waktu untuk istrinya saat pagi hari. Jadi aku mohon kamu mengerti ya!" kuelus punggung tangannya. Berharap dia mengerti dan tak menuntut hal yang lebih, muak lihatnya! 

"Kalau Umi sepuh datang, pasti kamu sudah di ceramahin, beruntung Mbak masih mau ngasih tahu. Kalau Umi sepuh tak akan ada toleransi, Dik! Pasti kamu hanya bisa menangis." sengaja kubawa nama Umi sepuh--Ibunya Abi--dia itu wanita yang tegas kalau tak suka dia akan mengatakannya secara langsung tanpa embel-embel sabar ataupun sekedar seperti menasehati. Aku sudah kenyang mendengar cercaanya. Beruntung Ratini belum pernah di kunjungi beliau karena sedang pergi berobat keluar negeri. 

Kutinggalkan dia dengan kondisi wajah yang murung, "Jangan lupa di makan rotinya dan minum susunya, biar adek bayinya sehat." 

Pesanku sebelum benar-benar pintu kututup, rasanya lelah sekali hati ini. Ketika rasa kecewa membuat hati ini kelu dan membatu, hanya ingin satu pembuktian bahwa sakitnya di madu secara tiba-tiba bisa merubah hati yang lembut menjadi keras layaknya es. 

Andaikan saat mereka menikah kondisiku tak sedang pasca melahirkan mungkin tak sesakit ini, dan jika Abi mau mengakatakan dengan pelan dan berlahan tanpa tiba-tiba mungkin aku juga tak akan merasakan koma selama tiga minggu hingga membuat ASIku kering dan andai saja mereka mau menunda pernikahannya setelah aku sadar juga mungkin aku tak merasakan sakit yang berkali-kali. 

"Pak, Antar aku keBank, ya?" perintahku pada Pak Sobri--supir pribadi. 

"Mbak mau kemana?" tanya Ratini melihatku segera membuka mobil. 

"Aku cuma mau keBank sebentar untuk mengambil uang cas. Kamu di rumah hati-hati!"

"Iya, Mbak. Oh ya boleh minta tolong belikan rujak yang di sebrang sana nggak, Mbak. Kalau tidak keberatan!" dia mengatakan dengan ragu, mungkin dia berfikir kalau aku akan menolaknya. 

"Baiklah, nanti aku belikan ya, Dik!" segera aku masuk dan pak Sobri menjalankan mobilnya. Aku tersenyum kecil. 

Suamiku memang memiliki harta yang tak ternilai, mungkin untuk tujuh turunan saja tak habis. Itulah yang membuat dia merasa berhak poligami, apalagi keluarganya itu mendalami ilmu islam dan orang tuanya terkenal sesepuh. Sayang Ayahnya meninggal beberapa tahun yang lalu. Itulah yang akhirnya membuat semua harta Usman--Suamiku-- tak habis. Karena dia anak satu-satunya dari Ibunya yang merupakan istri pertama. Bapaknya juga punya tiga istri tapi kedua istrinya itu sudah mendapat jatah hartanya jauh-jauh hari. Itulah kenapa sampai saat ini aku bertahan. Semua demi anakku---Arjuna. Aku tak boleh menyerah sebagai istri pertama, walau aku sudah tak berniat untuk saat ini melayani nafkah batin suamiku. 

Pulang dari Bank, aku mampir sesuai permintaan Ratini, kubelikan lima bungkus sekaligus agar dapat buat esok harinya. Mobil memasuki rumah ketika dengan tergesa kulihat Mbok Sumi dan Mang Supri tengah membopong Ratini. 

"Kenapa dia, Mbok?" tanyaku yang bergegas turun dari mobil. 

"Anu, Umi. Tiba-tiba dia pingsan! Bagaimana ini?" tanya Mbok Sumi terlihat bingung. 

"Ya udah bawa kekamar, Mbok. Biar aku telfon Dokter keluarga!" segera kuambil handphone dan menelfon Dokter Susan. Dia merupakan Dokter pribadi keluarga Abi. 

Tak menunggu lama, dokter datang dan mengecek keadaan Ratini. Tak lupa aku mengabari Abi. 

"Gimana, Dok?" tanyaku ketika Dokter Susan selesai memeriksa. 

"Ngga papa, maklum lah biasa hamil muda. Cuma memang kandungannya lemah, jadi aku harap dia jangan kecapaian dan juga selalu mengkonsumsi vitamin. Nanti saya resepkan."

"Terima kasih, Dok!"

Pukul empat sore Abi pulang dan tergesa langsung menuju kamar Ratini. Aku melihatnya tapi tak mencegah. Biarkan saja dia melihat kondisi adik madunya yang pasti akan bermanja-manja. 

Aku tengah bersiap untuk pulang kekampung, menyiapkan segala sesuatunya untuk menikahkan Abi dengan Nita. 

Kuketuk pintu kamar Ratini, benar saja terlihat Abi tengah menyuapi Ratini dengan mesra. Hatiku tak panas lagi, mungkin karena sudah kelu. 

"Abi, Adik. Aku pamit pulang kampung dulu!" terlihat wajah kaget dari Ratini, tapi entah senang atau memang kaget apa. 

"Kok mendadak, Umi? Memang ada apa?" tanya Ratini penasaran. 

"Ngga papa, Kok. Cuma kangen sama orang tua!" ucapku sambil mengedipkan mata pada Abi. 

"Berapa lama, Umi?" tanyanya lagi. Seolah ingin aku lama-lama di sana. 

"Nggak lama kok cuma dua hari, kan setelahnya Abi yang mau pergi untuk urusan kerja keluar kota! Ya kan, Bi?" aku kembali memberi kode pada Abi. 

"I-I-Ya, Dek!" 

Seketika raut bingung pada Ratini kentara. 

"Kok!" hanya kata itu yang keluar dari mulut Ratini, aku masih menunggu kata selanjutnya. 

~~~~

Komen (1)
goodnovel comment avatar
for you
aturan jangan di pangil abi ga cocok lebih cocok di pangil sangek
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status