Share

Rumah mewah

Widi turun dari mobil saat pintu dibuka oleh sopir. Ia berdecak kagum saat melihat rumah besar di depannya.

Rumah dengan desain Eropa yang punya pekarangan yang luas dan arsitektur modern layaknya seperti istana.

Cat putih mendominasi, seolah menunjukkan jika pemilik Rumah itu adalah orang yang sangat kaya.

Derap langkah kaki Heru Prasetyo menghentak lantai ubin yang begitu mengkilat. Suara hentakan kakinya itu membuat Widi mengalihkan pandangan ke arahnya.

Tak dapat dipungkiri, Heru Prasetyo mempunyai pesona yang tidak kaleng-kaleng. Iya melangkah mantap dengan tubuh idealnya dan jas hitam yang rapi.

Lelaki berkacamata itu berjalan begitu saja meninggalkan Widi masih berdiri terpaku di samping mobil.

Aroma parfum Heru Prasetyo yang terbawa angin membuat Widi semakin terlena. Jika saja lelaki itu tidak dingin terhadapnya, Widi yakin akan sangat mudah baginya untuk jatuh cinta padanya.

Tiba-tiba saja Heru menghentikan langkahnya dan menggerakkan kepalanya menoleh ke arah Widi saat itu masih terpaku.

"Mau sampai kapan kau berdiri di sana seperti orang idiot? cepat ikuti langkahku dan kita bertemu dengan ibuku di dalam," hardik laki-laki itu dengan gaya songongnya. 

Widi yang mendengar ucapan ketus laki-laki itu semakin merasakan panas yang berkobar di dalam hatinya, rasa kagum terhadap laki-laki bertubuh tinggi itu seketika memudar berganti dengan rasa kesal.

"Idiot?" desis Widi dengan menggemeretukkan giginya, kesal.

Bukannya menjawab, Heru malah kembali memutar tubuhnya dan melangkah dengan tegas meninggalkan Widi yang terpaksa melangkah mendekati Heru dari belakang.

Gadis itu mengekor di belakang tubuh Heru dengan jarak sekitar 3 meter. Heru Prasetyo terlihat cuek. 

Widi pun akhirnya memasuki rumah saat asisten rumah tangga membuka pintunya. Gerbang rumah yang sangat besar itu tak ayal membuat Widi kembali terheran-heran, karena untuk pertama kalinya ia melihat rumah sebesar  dan semegah itu.

"Kau duduk di situ, aku akan kembali beristirahat di kamarku. Nanti akan ada asisten rumah tangga yang akan membantumu dan menunjukkan di mana kamarmu, sebentar lagi ibuku akan turun, bersikap sopan lah kepadanya," titah Heru tanpa sedikitpun melihat ke arah Widi yang saat itu masih melihatnya dengan kesal.

Widi saat itu refleks mengepalkan tinju ke arahnya, tapi naasnya Heru saat itu langsung berbalik dan melihat ke arahnya. 

Seketika Widi langsung menarik tangannya dan mengalihkan pandangan ke arah jendela.

Heru yang sudah terlanjur melihat berusaha menepis amarah yang sejak tadi juga berkobar di dalam dadanya. Ia lalu memasukkan dua tangannya ke kantong celana dan membusungkan dadanya.

"Kau jangan macam-macam, ingat semua janjimu! semua perjanjian itu sudah tertera di atas materai, jika kau melanggar maka kau akan merasakan akibatnya," ancam laki-laki itu dan dalam hitungan detik saja Ia melangkah menjauhi Widi yang sejak tadi merasakan dentuman di dalam dadanya.

Sepeninggalnya laki-laki itu Widi kembali menggerakkan kepalanya dan menatap laki-laki yang saat itu masuk ke dalam ruangan lain.

"Huh, ganteng-ganteng kayak es batu," decaknya kesal.

Widi menunggu di ruangan besar itu sembari matanya meneliti ke setiap sudut dan juga barang-barang yang terdapat di lemari ruangan itu.

Ia lalu berdiri dan mendekat ke arah lemari besar yang menunjukkan pajangan-pajangan indah, terbuat dari keramik dan juga patung-patung yang terbuat dari kayu yang diukir sedemikian rupa.

"Hmh, sangat estetik. Keluarga yang mempunyai darah seni yang tinggi seperti ini harusnya tidak punya anak yang punya sifat seperti es batu," Widi ngedumel sendiri.

Ning-nang-ning-nung!

Widi terhenyak. Tiba-tiba saja rungunya menangkap suara gending Jawa yang terdengar begitu merdunya. Suara gamelan tanpa diiringi suara sinden itu terdengar begitu sakral dan menghanyutkan dirinya.

Widi seolah terlena dan tanpa sadar menutup matanya. Ia pun merasakan kantuk yang teramat sangat dan merasa tubuhnya sangat kaku dan dingin saat itu juga.

Entah apa yang terjadi selanjutnya Widi tak ingat, yang terakhir ia ingat adalah tubuhnya yang terasa ringan dan gelap yang menyelimutinya.

***

"Aku semakin ilfiil dengan wanita itu, Ma. Bisakah Mama mempercepat pernikahan kami dan setelah itu aku ingin pergi dari rumah ini secepatnya," ucap Heru sembari membuka jas yang menutupi tubuhnya.

"Sudahlah, anggap saja kau menolong wanita yang membutuhkan, bagaimanapun orang tuanya itu adalah rekan kerja papamu dulu,"

"Mama tak tega ketika ia harus membayar hutang papanya kepada kita, apalagi ia harus menjadi wanita penjaja cinta bersama ibu tirinya," ucap wanita yang saat itu duduk di kursi goyangnya sembari menatap ke arah jendela yang saat itu tertutup oleh hordeng berwarna abu-abu.

"Mama kasihan kepadanya tapi tidak pada Heru? dia wanita murahan, Ma. Sudah banyak laki-laki yang menjamahnya. Heru tak sudi menyentuhnya!" Pemuda tampan itu kemudian membalikkan tubuhnya dan menatap geram dirinya sendiri yang saat itu menghadap ke arah cermin. 

Wanita yang memakai daster berwarna hitam itu kemudian mengangkat tubuhnya dari kursi goyang dan melangkah ke arah anaknya.

Tangannya yang putih dengan aksesoris cincin emas berbentuk bunga di jemari manisnya itu menyentuh lengan anak kesayangannya.

"Kau tak perlu menyentuhnya, mama hanya minta kau jangan sedikitpun jatuh cinta kepadanya, anggap saja Ia adalah budak yang kita tolong dari tuannya yang kejam,"

Heru tak menjawab. Ia masih kesal dengan mamanya yang mempunyai sikap sangat lembut dan juga dermawan. Bisa-bisanya ia menjadikan anaknya sendiri untuk menikah dengan wanita yang katanya penuh dengan penderitaan.

Kadang Heru merasa heran. Apa benar tidak ada maksud lain di balik keinginannya menjodohkan dirinya dengan wanita itu? karena jelas wanita itu tidak masuk sedikitpun kriteria mamanya apalagi dirinya.

"Mama yakin tidak ada motif lain di balik keinginan Mama yang nyeleneh ini," ucap Heru curiga.

Ucapan hari itu membuat wanita berparas cantik itu menatap dirinya dengan tajam.

"Maksudmu apa?! Mama tidak mungkin berbuat buruk kepada orang lain, kau tahu sendiri Heru, bagaimana Mama baiknya kepada orang-orang di sekitar mama, termasuk para karyawan kita," jawab wanita itu dengan suara yang ditekan, membuat nyali Heru menjadi ciut.

"Sudah, Mama mau menemui calon pengantinmu dulu, Mama dengar ia pingsan di ruang tamu tadi. Kamu ini bagaimana, dia adalah tamu malah kau tinggal pergi begitu saja," wanita bernama Widyawati itu menunjukkan raut wajah masam pada Heru yang tiba-tiba menatapnya heran.

"Pingsan? padahal tadi Heru melihat  dia baik-baik waktu ditinggal ke kamar,"

Tanpa mendengarkan ucapan anaknya lagi, wanita itu pergi begitu saja meninggalkan Heru dan melangkah menuju kamar tamu di mana Widi sedang tertidur.

 ***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status