Share

Bab 3. Ucapan Pedas Ibu Mertua

Aku kembali meletakkan ponsel di atas nakas. Setelahnya, kembali kubaringkan tubuhku. Berkali-kali aku mencoba memejamkan kedua netraku, namun tak kunjung berhasil juga. Sesekali aku menatap wajah tampan suamiku, wajah tampan yang disempurnakan dengan senyuman yang begitu melembutkan.

Dengkuran halus terdengar dengan jelas berasal dari bibir Mas Narendra. Pertanda jika lelaki itu benar-benar terlelap dalam tidurnya.

"Sepertinya aku harus cari ponsel Mas Narendra yang aku lihat tadi," batinku. Setelahnya, aku pun secara perlahan bangkit dari pembaringan. Lalu aku melangkah dengan mengendap-endap menuju dimana meja kerja suamiku berada.

Aku pun mulai mencari ponsel, kugeledah tas dan setiap laci yang ada. Namun tak kunjung kutemukan juga.

Aku mendudukkan tubuhku frustasi. Entah dimana Mas Narendra menyimpan benda pipih asing itu.

"Sayang, kamu ngapain?"

Aku tersentak kaget saat mendengar suara suamiku, seketika jantung seperti berdegup lebih kencang. Aku menoleh ke arah suami, seketika otak berpikir dengan keras untuk mencari alasan. Tak mungkin aku berkata jujur.

Melihatku yang masih terdiam, lantas membuat Mas Narendra melangkah ke arahku.

"Nggak apa-apa, Mas. Aku tadi habis dari kamar mandi, perutku diare. Rasanya nggak nyaman banget mau tidur. Jadinya aku duduk di sini deh." Satu-satunya alasan yang bersarang di kepalaku akhirnya aku utarakan.

"Minum obat gih, ada persediaan kan? Kalau nggak ada biar Mas cari ke apotek yang buka 24 jam, sepertinya ada kok, nggak jauh juga."

"Nggak usah, Mas. Tadi udah minum kok. Udah nggak terlalu melilit juga, ayo kita tidur."

Akhirnya kami pun melangkah secara beriringan menuju pembaringan.

****

"Sarapan, Mas."

"Wah, nasi goreng seafood ya. Tau aja kalau Mas lagi pengen nasi goreng buatan kamu," timpal Mas Narendra sembari mendudukkan tubuhnya di kursi. Setelahnya aku pun mulai memindahkan dua centong nasi goreng ke piring suamiku.

Kini, sepiring nasi goreng dan kopi manis sudah terhidang di depan lelaki itu.

"Terima kasih, ya." Aku mengangguk.

Aku turut mendudukkan tubuhku setelah menyiapkan sarapan untuk diriku sendiri.

Aku dibuat terkejut saat baru saja suamiku menyuapkan sendokan pertama ke mulutnya, tiba-tiba lelaki itu memuntahkan makanan yang baru masuk. Bahkan, dengan cepat Mas Narendra langsung menuangkan secangkir air putih lalu diteguknya hingga habis tak bersisa.

"Kenapa, Mas? Nggak enak ya?"

"Kamu nggak nyicipin ya tadi masakannya? Apa kamu melamun? Atau ngantuk karena semalam diare dan nggak bisa tidur?"

Aku hanya mengerutkan kening. Berikutnya, kusuapkan sesendok nasi goreng buatanku. Dan benar saja, hal yang sama aku lakukan!

Kumuntahkan nasi goreng yang baru masuk itu. Rasanya benar-benar sangat asin. Entah berapa sendok tadi aku memberikan garam ke dalam masakanku. Bahkan karena terlalu asinnya, hingga menimbulkan rasa pahit di lidahku.

"Nggak biasanya kamu masak kayak gini. Kamu kenapa? Apa masih sakit? Kalau masih sakit, nggak usah dipaksakan untuk beberes atau masak. Kamu istirahat saja, ya. Nanti kamu pesan makanan di luar saja."

Sungguh, aku benar-benar tidak bisa fokus pagi ini. Pikiranku dipenuhi oleh terkaan-terkaan pada suamiku.

Mungkinkah Mas Narendra berselingkuh?

Mungkinkah apa yang dikatakan wanita itu adalah suatu kebenaran?

Mungkinkah Mas Narendra menguras harta wanita itu untuk mendirikan usaha itu?

Mungkinkah, mungkinkah dan mungkinkah. Itulah yang memenuhi pikiranku saat ini.

"Hey, kamu kenapa, Sayang? Kamu baik-baik saja?"

Aku terkesiap mendengar ucapan suamiku. Sontak saja aku menatap ke arahnya.

"Kamu kok melamun? Apa ada yang kamu pikirkan, kamu benar-benar tidak seperti biasanya." Sorot mata lelaki itu seperti tengah menelisik setiap ekspresi wajahku.

Aku menghembuskan napas berat.

"Apa aku boleh menanyakan sesuatu, Mas?" Satu kalimat dengan susah payah aku ucapkan. Bahkan, aku harus memainkan ke sepuluh jemariku untuk menghilangkan rasa gugupku.

"Hm, nggak jadi deh, Mas." Aku mengurungkan niat.

Sungguh, sedikit pun tak ada nyali untuk menanyakan hal itu. Aku tak ingin Mas Narendra merasa aku telah mencurigainya.

"Apa sih? Katakan saja, Sayang. Nggak perlu ragu begitu. Uang Belanja habis?"

Aku menggeleng.

"Kamu ingin beli sesuatu?"

Lagi, aku menggeleng.

"Lalu apa?"

"Nggak jadi, Mas. Lupakan saja," ucapku membuat wajah itu semakin terlihat bingung.

"Kalau memang soal uang belanja yang kurang, kamu katakan saja. Atau kamu menginginkan sesuatu, beli saja. Kalau nggak ada uang, mintalah. Jangan dipendam atau nggak berani ya. Ingat, kamu itu istriku. Aku hanya ingin melihat kamu bahagia. Itu saja."

Wajarkah aku mencurigai suamiku jika dirinya saja selalu bersikap baik seperti itu? Tak sampai hati rasanya jika aku menanyakan soal sosok wanita itu.

"Maaf ya, Mas, pagi ini Mas harus berangkat kerja dengan perut kosong."

"Gapapa, nggak setiap hari juga. Mas maklumi, kamu sedang tidak sehat. Kalau begitu Mas berangkat dulu, ya. Biar nanti Mas pesan makanan buat sarapan."

Aku hanya mengangguk. Setelahnya aku turut berdiri dari tempat dudukku. Dan akhirnya kuantarkan Mas Narendra keluar untuk melepas kepergiannya bekerja.

"Oh ya, hari ini Mas ada lembur. Sepertinya bakalan pulang larut malam. Tidak perlu menunggu Mas sampai pulang, kalau sudah ngantuk, tidurlah," ucapnya sembari kami melangkah secara beriringan menuju ke depan, dengan tangan kanan suamiku yang merangkul pundakku dan tangan kanan yang menenteng tas kerja.

"Iya, Mas."

****

Hari terus berganti dengan hari. Hingga tanpa sadar dua bulan sudah kejadian itu berlalu. Beberapa kali wanita itu menghubungiku, namun aku mengabaikannya. Panggilan tak kujawab, pesan pun tak kubalas.

Bahkan, saat wanita itu kembali mendatangi rumahku, dengan sengaja aku tak menemuinya. Itulah sebabnya aku tak pernah lagi keluar dan membuka pintu rumah utama seperti hari-hari sebelumnya.

Selama dua bulan ini, pikiranku terus terusik. Sedikit pun tak pernah kurasakan ketenangan seperti dulu kala. Perasaan tenang, nyaman dan bahagia sebelum kedatangan wanita itu.

Tok!

Tok!

Tok!

"Fiona! Buka pintunya!" Suara Ibu mertua terdengar dari arah depan. Aku yang sedang duduk di depan tv pun lantas bangkit dari tempat duduk, mematikan televisi lalu melangkah ke depan.

"Lama amat sih bukanya, ngapain aja kamu di dalam!" sungut Ibu Mertua sembari masuk ke dalam melewatiku begitu saja. Langkahnya terhenti lalu menatapku dari ujung kepala hingga kaki dengan sorot mata yang ... entah.

"Astaga, Fiona! Kenapa penampilanmu seperti ini?! Astaga, lihatlah tubuhmu begitu kurus, seperti orang yang tidak pernah diberi makan suamimu. Lalu, lalu lihatlah wajahmu! Ya Allah, Fiona! Kulitmu begitu kusam dan jerawat memenuhi wajahmu!" Ucapan Ibu seketika membuat kedua tanganku menyentuh tubuh lalu meraba kulit wajah.

"Kerjaan cuma makan tidur tapi jaga penampilan aja nggak becus! Apa kamu lupa Fiona, jika suamimu di luar sana dikelilingi wanita-wanita karir dan cantik? Kalau penampilanmu saja seperti ini, apakah suamimu bakalan betah di rumah?! Udah buruk rupa, mandul pula!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status