Aku kembali meletakkan ponsel di atas nakas. Setelahnya, kembali kubaringkan tubuhku. Berkali-kali aku mencoba memejamkan kedua netraku, namun tak kunjung berhasil juga. Sesekali aku menatap wajah tampan suamiku, wajah tampan yang disempurnakan dengan senyuman yang begitu melembutkan.
Dengkuran halus terdengar dengan jelas berasal dari bibir Mas Narendra. Pertanda jika lelaki itu benar-benar terlelap dalam tidurnya."Sepertinya aku harus cari ponsel Mas Narendra yang aku lihat tadi," batinku. Setelahnya, aku pun secara perlahan bangkit dari pembaringan. Lalu aku melangkah dengan mengendap-endap menuju dimana meja kerja suamiku berada.Aku pun mulai mencari ponsel, kugeledah tas dan setiap laci yang ada. Namun tak kunjung kutemukan juga.Aku mendudukkan tubuhku frustasi. Entah dimana Mas Narendra menyimpan benda pipih asing itu."Sayang, kamu ngapain?"Aku tersentak kaget saat mendengar suara suamiku, seketika jantung seperti berdegup lebih kencang. Aku menoleh ke arah suami, seketika otak berpikir dengan keras untuk mencari alasan. Tak mungkin aku berkata jujur.Melihatku yang masih terdiam, lantas membuat Mas Narendra melangkah ke arahku."Nggak apa-apa, Mas. Aku tadi habis dari kamar mandi, perutku diare. Rasanya nggak nyaman banget mau tidur. Jadinya aku duduk di sini deh." Satu-satunya alasan yang bersarang di kepalaku akhirnya aku utarakan."Minum obat gih, ada persediaan kan? Kalau nggak ada biar Mas cari ke apotek yang buka 24 jam, sepertinya ada kok, nggak jauh juga.""Nggak usah, Mas. Tadi udah minum kok. Udah nggak terlalu melilit juga, ayo kita tidur."Akhirnya kami pun melangkah secara beriringan menuju pembaringan.****"Sarapan, Mas.""Wah, nasi goreng seafood ya. Tau aja kalau Mas lagi pengen nasi goreng buatan kamu," timpal Mas Narendra sembari mendudukkan tubuhnya di kursi. Setelahnya aku pun mulai memindahkan dua centong nasi goreng ke piring suamiku.Kini, sepiring nasi goreng dan kopi manis sudah terhidang di depan lelaki itu."Terima kasih, ya." Aku mengangguk.Aku turut mendudukkan tubuhku setelah menyiapkan sarapan untuk diriku sendiri.Aku dibuat terkejut saat baru saja suamiku menyuapkan sendokan pertama ke mulutnya, tiba-tiba lelaki itu memuntahkan makanan yang baru masuk. Bahkan, dengan cepat Mas Narendra langsung menuangkan secangkir air putih lalu diteguknya hingga habis tak bersisa."Kenapa, Mas? Nggak enak ya?""Kamu nggak nyicipin ya tadi masakannya? Apa kamu melamun? Atau ngantuk karena semalam diare dan nggak bisa tidur?"Aku hanya mengerutkan kening. Berikutnya, kusuapkan sesendok nasi goreng buatanku. Dan benar saja, hal yang sama aku lakukan!Kumuntahkan nasi goreng yang baru masuk itu. Rasanya benar-benar sangat asin. Entah berapa sendok tadi aku memberikan garam ke dalam masakanku. Bahkan karena terlalu asinnya, hingga menimbulkan rasa pahit di lidahku."Nggak biasanya kamu masak kayak gini. Kamu kenapa? Apa masih sakit? Kalau masih sakit, nggak usah dipaksakan untuk beberes atau masak. Kamu istirahat saja, ya. Nanti kamu pesan makanan di luar saja."Sungguh, aku benar-benar tidak bisa fokus pagi ini. Pikiranku dipenuhi oleh terkaan-terkaan pada suamiku.Mungkinkah Mas Narendra berselingkuh?Mungkinkah apa yang dikatakan wanita itu adalah suatu kebenaran?Mungkinkah Mas Narendra menguras harta wanita itu untuk mendirikan usaha itu?Mungkinkah, mungkinkah dan mungkinkah. Itulah yang memenuhi pikiranku saat ini."Hey, kamu kenapa, Sayang? Kamu baik-baik saja?"Aku terkesiap mendengar ucapan suamiku. Sontak saja aku menatap ke arahnya."Kamu kok melamun? Apa ada yang kamu pikirkan, kamu benar-benar tidak seperti biasanya." Sorot mata lelaki itu seperti tengah menelisik setiap ekspresi wajahku.Aku menghembuskan napas berat."Apa aku boleh menanyakan sesuatu, Mas?" Satu kalimat dengan susah payah aku ucapkan. Bahkan, aku harus memainkan ke sepuluh jemariku untuk menghilangkan rasa gugupku."Hm, nggak jadi deh, Mas." Aku mengurungkan niat.Sungguh, sedikit pun tak ada nyali untuk menanyakan hal itu. Aku tak ingin Mas Narendra merasa aku telah mencurigainya."Apa sih? Katakan saja, Sayang. Nggak perlu ragu begitu. Uang Belanja habis?"Aku menggeleng."Kamu ingin beli sesuatu?"Lagi, aku menggeleng."Lalu apa?""Nggak jadi, Mas. Lupakan saja," ucapku membuat wajah itu semakin terlihat bingung."Kalau memang soal uang belanja yang kurang, kamu katakan saja. Atau kamu menginginkan sesuatu, beli saja. Kalau nggak ada uang, mintalah. Jangan dipendam atau nggak berani ya. Ingat, kamu itu istriku. Aku hanya ingin melihat kamu bahagia. Itu saja."Wajarkah aku mencurigai suamiku jika dirinya saja selalu bersikap baik seperti itu? Tak sampai hati rasanya jika aku menanyakan soal sosok wanita itu."Maaf ya, Mas, pagi ini Mas harus berangkat kerja dengan perut kosong.""Gapapa, nggak setiap hari juga. Mas maklumi, kamu sedang tidak sehat. Kalau begitu Mas berangkat dulu, ya. Biar nanti Mas pesan makanan buat sarapan."Aku hanya mengangguk. Setelahnya aku turut berdiri dari tempat dudukku. Dan akhirnya kuantarkan Mas Narendra keluar untuk melepas kepergiannya bekerja."Oh ya, hari ini Mas ada lembur. Sepertinya bakalan pulang larut malam. Tidak perlu menunggu Mas sampai pulang, kalau sudah ngantuk, tidurlah," ucapnya sembari kami melangkah secara beriringan menuju ke depan, dengan tangan kanan suamiku yang merangkul pundakku dan tangan kanan yang menenteng tas kerja."Iya, Mas."****Hari terus berganti dengan hari. Hingga tanpa sadar dua bulan sudah kejadian itu berlalu. Beberapa kali wanita itu menghubungiku, namun aku mengabaikannya. Panggilan tak kujawab, pesan pun tak kubalas.Bahkan, saat wanita itu kembali mendatangi rumahku, dengan sengaja aku tak menemuinya. Itulah sebabnya aku tak pernah lagi keluar dan membuka pintu rumah utama seperti hari-hari sebelumnya.Selama dua bulan ini, pikiranku terus terusik. Sedikit pun tak pernah kurasakan ketenangan seperti dulu kala. Perasaan tenang, nyaman dan bahagia sebelum kedatangan wanita itu.Tok!Tok!Tok!"Fiona! Buka pintunya!" Suara Ibu mertua terdengar dari arah depan. Aku yang sedang duduk di depan tv pun lantas bangkit dari tempat duduk, mematikan televisi lalu melangkah ke depan."Lama amat sih bukanya, ngapain aja kamu di dalam!" sungut Ibu Mertua sembari masuk ke dalam melewatiku begitu saja. Langkahnya terhenti lalu menatapku dari ujung kepala hingga kaki dengan sorot mata yang ... entah."Astaga, Fiona! Kenapa penampilanmu seperti ini?! Astaga, lihatlah tubuhmu begitu kurus, seperti orang yang tidak pernah diberi makan suamimu. Lalu, lalu lihatlah wajahmu! Ya Allah, Fiona! Kulitmu begitu kusam dan jerawat memenuhi wajahmu!" Ucapan Ibu seketika membuat kedua tanganku menyentuh tubuh lalu meraba kulit wajah."Kerjaan cuma makan tidur tapi jaga penampilan aja nggak becus! Apa kamu lupa Fiona, jika suamimu di luar sana dikelilingi wanita-wanita karir dan cantik? Kalau penampilanmu saja seperti ini, apakah suamimu bakalan betah di rumah?! Udah buruk rupa, mandul pula!""Narendra itu lelaki tampan dan mapan, Fiona! Mudah bagi dia untuk mencari istri yang bisa memanjakan matanya!"Ucapan Ibu terus terngiang-ngiang di telingaku. Meskipun apa yang dikatakannya adalah fakta, namun hal itu terasa begitu sesak di dada. Aku mengamati cermin yang ada di depanku. Cermin yang memantulkan bagaimana bentuk fisikku saat ini. Wajah yang berjerawat, kulit kusam, dan lingkaran hitam di sekeliling kedua netraku. Ditambah tubuh yang begitu kurus menambah kesan tak menarik lagi. Sungguh, aku sama sekali tak menyadari. Aku terlalu tenggelam pada masalah yang mendera, masalah yang belum sanggup kucari bagaimana kebenarannya. Kedatangan wanita itu benar-benar membuat perubahan pada diriku. Hidup tak tenang, makan pun tak berselera. "Fiona, aku mau ada acara makan malam. Siapkan pakaian terbaikku, ya." Suara Mas Narendra terdengar dan menyadarkan lamunanku. Aku menoleh, lelaki itu baru saja keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk putih yang ia lilitkan seb
Emosi yang sedari tadi kutahan, kini sudah berada di puncak ubun-ubun dan siap untuk diledakkan. Cepat, aku melangkah mendekat ke arah suamiku. Dan begitu sudah dekat, aroma keringat khas setelah melakukan olahraga ranjang pun menguar di indra penciumanku. 10 tahun kami berumah tangga, sudah cukup membuatku hapal dengan hal kecil seperti ini. "Mas?!" pekikku dengan kedua tangan yang terkepal. Napasku begitu memburu seiring emosi yang semakin menguasai diriku. "Bekas apa di lehermu itu, Mas?!" Aku menatap lekat ke arah Mas Narendra tanpa menyentuh bekas yang kurasa begitu menjijikkan. Masih aku berusaha menekan kuat-kuat rasa emosi Mendengar ucapanku, Mas Narendra mendekatkan wajah ke cermin. Dan dengan ekspresi yang tak bisa kutebak, lelaki itu kembali menoleh ke arahku. "Ini bekas lipstik, tadi ada tragedi. Temen kantor mau jatuh, aku tangkap. Terus mungkin tidak sengaja bibirnya menyentuh leherku." "Oh ya? Bekas lipstik?""Ya. Memangnya apa lagi?" Gegas aku mengambil tisu yan
Begitu panggilan terputus, kuletakkan ponsel di tempatnya semula. Setelahnya kusandarkan tubuhku lalu kuhela napas dalam-dalam dan kukeluarkan secara perlahan, berharap mampu meredamkan gejolak di dalam dada dan bisa berpikir secara tenang. "Apa aku harus ke rumah ibu ya?" lirihku. "Ya, daripada penasaran Mas Narendra pergi liburan dengan siapa. Lebih baik aku memastikannya saja."Gegas aku bangkit dari tempat dudukku, lalu melangkah menuju kamar setelah kuambil ponsel yang ada di meja. Dan begitu sampai di kamar, cepat aku mengganti baju. Duduk di depan cermin sembari memoleskan make up tipis ke wajahku. Pandangan yang semula tertuju pada cermin beralih ke sebuah ponsel yang berdering. Aku pun segera mengangkat panggilan itu. "Halo, selamat siang, Mbak Fiona. Saya sudah sampai di depan rumah sesuai alamat yang tertera pada pesanan di aplikasi." Suara seorang lelaki terdengar saat panggilan itu terhubung. "Baik, Pak. Saya segera keluar."Panggilan ku
[Padahal besok pagi jam 9 mau berangkat ke Bandara, menjemput kakak perempuan tersayang. Tapi apalah daya, tiba-tiba dapat kelas di kampus.]Aku memicingkan kedua netraku saat membaca serangkaian kalimat status what'sapp milik Mona–adik iparku. "Siapa yang dimaksud kakak perempuan tersayang? Mereka kan hanya 2 bersaudara. Mas Narendra anak pertama, dan Mona anak kedua. "Yaudah, seneng-seneng saja di sana. Besok kalau pulang hati-hati ya. Besok ibu nggak bisa jemput, soalnya jam 9 ada acara arisan sama ibu-ibu kompleks."Seketika ucapan Ibu Mertua kemarin kembali terngiang-ngiang di telingaku.Dan begitu aku mengusap layar datar itu–bertujuan untuk mengomentari status what'sapp Mona– tiba tiba saja status tersebut menghilang, yang artinya sang pemilik menghapus status tersebut. ****Semalaman aku memikirkan apa yang harus aku lakukan. Bertindak atau diam, dan aku memutuskan akan menemui Mas Narendra bersama temannya itu di Bandara. Ya, aku melakukan itu bertujuan agar Mas Narendra
KETIKA SELINGKUHAN SUAMIKU DATANG KE RUMAHKUBAB 8Fiona membeku, menatap punggung Narendra dan Aruni yang semakin mengecil dengan ekspresi wajah yang begitu menyedihkan.Wanita berusia 33 tahun itu pun lantas menghembuskan napas berat, dan ia melangkah dengan gontai. Seolah-olah seperti tak ada lagi semangat dalam hidupnya. Fiona terus mengayunkan kedua kakinya dengan pandangan kosong, hingga tiba-tiba ....Bugh!Tubuh kurus itu terjerembab karena seseorang menabrak pundak Fiona. "Astaga ... maaf, Mbak. Maaf." Seorang lelaki yang menabrak tubuh Fiona ingin membantunya berdiri, namun Fiona enggan menerima. Wanita itu lantas bangkit sendiri, pandangan yang menunduk, kini terangkat. Hingga sepasang mata Fiona pun membelalak. "Fahri?" "Fiona?" Berbeda dengan Fiona, lelaki yang bernama Fahri menatap heran ke arah Fiona. Bahkan pandangan lelaki itu menyorot tubuh Fiona mulai ujung kaki hingga ke atas kepala. "Hey, gitu amat lihatnya."
KETIKA SELINGKUHAN SUAMIKU DATANG KE RUMAHKUBAB 9Fiona tertegun mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir Fahri."Kita duduk dulu di sana, ya. Tenangin diri kamu dulu," ajak Fahri dan Fiona mengangguk. Gegas Fahri melangkah dan diikuti Fiona di belakangnya. "Minumlah dulu." Fahri mengulurkan sebotol air mineral yang baru saja ia ambil di tas ransel miliknya. Fahri terus menatap wajah Fiona dengan perasaan penuh kasihan. Fiona menerima botol yang diulurkan oleh Fahri, lalu ia pun berujar, "Terima kasih." Setelahnya, Fiona membuka tutupnya lalu mulai menyesap air mineral itu hingga akhirnya tenggorokan yang semula kering, kini teraliri. "Sejak kapan, Fi? Kenapa kamu diam saja?" Fahri kembali menodongnya dengan pertanyaan saat melihat teman di masa lalunya sudah terlihat membaik. "Entahlah." Singkat Fiona menjawab, dan tentu saja membuat Fahri mengerutkan kening. "Apa kamu sedang buru-buru?" "Enggak. Jadwal putriku tiba masih 30 menit lagi," ucap Fahri dengan lemah setelah meli
KETIKA SELINGKUHAN SUAMIKU DATANG KE RUMAHKUBAB 10Mobil yang dikendarai oleh Narendra, dan Aruni yang ada di sampingnya masuk ke halaman rumah yang dihuni oleh Fiona. Kendaraan roda empat itu pun berhenti tepat di depan pintu utama. "Terima kasih ya sudah menuruti apa yang aku inginkan," ucap Aruni dengan begitu manja. Bahkan kali ini ia sedang memeluk mesra lengan Narendra. "Apapun yang kamu inginkan, selagi bisa, akan aku lakukan." Tangan Narendra mengusap lembut pucuk kepala Aruni. Mendengar ucapan dari sang kekasih, membuat Aruni melebarkan senyumannya. Setelahnya, ia mendaratkan kecupan mesra di pipi milik Narendra. "Ayo turun lalu masuk." "Semoga saja istrimu yang kata ibu seperti risoles itu menerima keputusanmu ya, Sayang." "Harus! Aku sudah siapkan senjatanya agar Fiona tidak bisa berkutik," ucap Narendra penuh dengan rasa percaya diri."Dan aku percaya sama kamu." Sepasang kekasih itu pun saling melempar senyum. Gegas mereka membuka pintu– bergerak keluar–lalu kemba
KETIKA SELINGKUHAN SUAMIKU DATANG KE RUMAHKUBAB 11Begitu Fiona memasuki ruang tamu, kedatangannya langsung disambut oleh Aruni yang tersenyum ke arahnya. Fiona mencebik, lalu dirinya mendudukkan bokong di sofa yang paling jauh jaraknya dengan sofa yang diduduki oleh Narendra bersanding dengan Aruni."Cepat katakan apa yang ingin kalian bicarakan, aku tak cukup banyak waktu." Fiona menyandarkan punggung. Pandangannya tertuju pada kuku-kuku yang dimainkannya, Fiona sama sekali tak tertarik menatap sepasang kekasih gelap itu. "Fi, karena kamu sudah mengetahui hubungan kami, jadi rasa-rasanya tidak perlu lagi kami bersembunyi- sembunyi. Kamu pasti tau dong apa sih tujuan dua orang dewasa dan berlawanan jenis jika sampai menjalin hubungan?" "Sudahlah, Mas, tak perlu muter-muter. Katakan saja langsung ke pokok permasalahannya." Fiona menjawab dengan kalimat menohok. "Katakan saja, Sayang. Sepertinya memang tidak perlu berbasa-basi." Kali ini Aruni bersuara. Membuat Narendra menoleh lal