Share

Bab 3

Hari kini aku memanjakan diri di beauty day spa. Bagiku spa adalah kewajiban yang harus disempatkan. Sesibuk apapun diriku, aku akan selalu punya waktu untuk mempercantik diri.

Tentang semalam, aku dan Zahra telah berbaikan. Kini aku tinggal menyusun pergerakan untuk menggapai misi, yakni mendapatkan Ramdan, si pengusaha tampan yang menggoda iman.

Kutuntun pikiranku ke alam hayalan. Membayangkan Ramdan yang suatu saat bisa kujadikan tempat sandaran. Pijatan pelayan membuat anganku berandai-andai jika Ramdan yang melakukan.

Ahh Ramdan...

Kringggg kringgggg!

Buyar sudah imajinasi yang mulai meliar. Kulirik ponselku yang mengganggu otak kotorku.

"Hallo Ra? Ada apa?" tanyaku pada Zahra.

Bisa kutangkap suara bising di seberang sana. Sayup-sayup ku dengar tangisan bocah yang menggema.

"Ris, aku boleh minta tolong nggak?" tanya Zahra dengan nada khawatir.

"Aku lagi body massage Ra, ntaran aja ya minta tolongnya," sahutku pada Zahra.

"Tapi ini penting Ris, aku lagi di rumah sakit!" ucap Zahra.

"Rumah sakit??" tanyaku memastikan.

"Iya, aku nolongin orang kecelekaan. Trus inikan harus bayar administasi, sedangkan dompetku ketinggalan!" ucap Zahra panjang lebar.

"Trus mau minjem uangku, gitu?? Budgetku udah habis buat pijat- pijat cantik," sahutku jujur.

"Kamu datengin Mas Ramdan ya, ajak dia ke sini ntar aku kirim alamat rumah sakitnya," ucap Zahra kemudian mematikan sambungan sepihak.

Aku mengerjap, mencerna ucapan Zahra. Sedetik kemudian aku baru sadar bahwa ini adalah kesempatanku mendekati Ramdan.

Tanpa mengulur waktu, aku pun mengakhiri kegiatanku.

Butuh waktu setengah jam untuk sampai di kantor Mas Ramdan, terlebih aku harus menunggu taksi online yang kupesan.

"Mbak, ruangan Mas Ramdan di mana?" tanyaku pada bagian resepsionis.

"Emmm, sebelumnya sudah ada janji apa belum Mbak?" tanya pegawai cantik sembari tersenyum ramah padaku.

"Bilang saja sama Mas Ramdan, Riska mau ketemu gitu!" pintaku pada si pegawai.

Dengan segera staf resepsionis itu menghubungi Mas Ramdan dengan telepon duduk.

"Mari Mbak, saya antar ke ruangan Pak Ramdan," ucap pegawai itu sembari berjalan lebih dulu.

Ruang Mas Ramdan yang merupakan pemilik perusahaan berada di lantai 5. Untuk sampai ke sana hanya perlu menggunakan lift yang telah tersedia.

"Ini ruangannya Pak Ramdan mbak, saya tinggal dulu ya," ucap staf resepsionis sembari meninggalkanku.

Tanpa menunggu jeda, aku segera mengetuk pintu ruangan si pengusaha muda.

Tok tok tok.

"Masuk!" ucap Mas Ramdan dari dalam.

Sejenak aku membenahkan penampilanku. Merapikan mini dress yang mebalut tubuhku.

Ceklek.

"Hallo Mas?" sapaku pada Mas Ramdan.

Sontak Mas Ramdan yang tadinya berkutat dengan berkas-berkas menoleh ke arahku.

"Emm... Pintunya jangan ditutup Ris!" cegah Mas Ramdan saat aku memegang gagang pintu.

Aku pun mengangguk, kulempar senyum manis seraya melangkahkan kaki mendekat ke arahnya.

"Ada apa?" tanya Mas Ramdan.

Sejenak kuperhatikan mata Mas Ramdan yang tadinya menatapku beralih pada dada. Diteguknya saliva, pertanda dia sedikit tergoda.

"Mas jangan liatin gitu!" ucapku berpura-pura ketus.

Tanganku sengaja kuletakkan di depan dada agar terkesan aku tak berniat menggoda.

"Ahh maaf!" ucap Mas Ramdan seraya memalingkan wajahnya.

Saat Zahra memintaku datang pada mas Ramdan, aku sengaja mengganti pakaian. Karena Mas Ramdan lelaki normal, maka kugunakan keindahan tubuhku yang ideal untuk menggoda iman Mas Ramdan.

"Ada perlu apa kamu ke sini Ris?" tanya Mas Ramdan yang tak lagi menatapku.

"Zahra di rumah sakit!" ucapku singkat.

Sontak Mas Ramdan melotot ke arahku.

"Rumah sakit? Kok bisa? Dia kenapa? Tadi pagi baik-baik aja kok, atau..."

"Zahra nggak papa, dia nolongin orang kecelakaan trus katanya lupa bawa dompet," ucapku dengan jelas.

Sedikit iri menyelinap, saat ekspresi Mas Ramdan yang begitu khawatir pada Zahra. Sebegitu cintakah ia pada Zahra?, hingga saat aku mengatakan rumah sakit dia begitu panik.

"Zahra nyuruh kamu berangkat ke rumah sakit bareng aku Mas," ucapku lagi.

Sejenak, Mas Ramdan menghela napas lega.

"Kirain Zahra yang kenapa-napa...tapi, kenapa Zahra nggak bilang langsung ke aku?" tanya Mas Ramdan menatapku curiga.

"Ih, mana aku tahu, tadi tuh dia nelpon aku pas aku lagi body massage, tanya aja langsung ke dia!" ucapku ketus.

Mas Ramdan pun tampak mencari ponselnya.

"Pantesan nelpon kamu, hpku low batt!" ucap Mas Ramdan seraya menunujukkan layar ponselnya yang mati.

Segera kusodorkan ponselku.

"Nih, telpon aja Zahra. Bilang kamu mau berangkat sendiri gitu!" ucapku masih dengan nada ketus.

"Loh, tadi katanya Zahra nyuruh berangkat bareng kamu?" tanya Mas Ramdan seraya mengernyitkan alis.

Aku mendengus , tentu saja aku tersinggung saat Mas Ramdan menatapku dengan sorot curiga, tanpa dia jelaskan aku bisa membaca pikirannya yang berprasangka buruk padaku.

"Emang iya, tapi akunya udah nggak mau. Kamu pikir aku sengaja dateng ke sini buat goda kamu apa? Kalau bukan disuruh Zahra aku juga nggak mau!"

Tanpa peduli pada ekspresi Mas Ramdan, aku segera berbalik dan melangkah ke luar.

"Loh loh Ris, kok jadi ngambek sih!" seru Mas Ramdan.

Aku tak memggubris, ku ayunkan terus kaki jenjangku menuju pintu.

"Riska!"

Tanpa kusangaka, Mas Ramdan menarikku hingga tubuhku menabrak tubuhnya.

Untuk sepersekian detik kami menatap lekat dalam jarak yang dekat.

"Apaan sih mas!" ucapku seraya mendorong tubuh Mas Ramdan.

Sejujurnya dalam hati aku merasa senang, posisi kami yang dekat pasti menimbulkan kesan untuk Mas Ramdan. Hanya saja untuk menarik perhatian Mas Ramdan lebih dalam aku harus terlihat jual mahal.

"Maaf, bukan maksudku ..." ucapan Mas Ramdan terhenti. Dia tampak salah tingkah.

"Ahh sudahlah, ayo kita berangkat ke rumah sakit," ucap Mas Ramdan seraya mendahuluiku.

Mas Ramdan berjalan dengan langkah lebar, membuatku kewalahan menyejajarkan jalan agar beriringan.

"Aku kan udah bilang nggak mau berangkat bareng kamu," ucapku saat kita sudah berada dalam lift.

"Udahlah Riska, kalau Zahra nyuruh kamu nemenin aku, ya udah ikutin aja!" ucap Mas Ramdan.

Aku pun diam. Sesekali mataku melirik Mas Ramdan yang lebih tinggi dariku.

"Godain ahh," bisikku dalam hati.

Ting

Aku berdecak dalam hati, baru saja aku akan menggoda Mas Ramdan tapi lift sudah terbuka. Aku pun memutar otak, mencari cara agar bisa lebih dekat dengan Mas Ramdan.

"Arrrgh..."

Tiba-tiba aku terjungkal karena tangga teras yang tak kuperhatikan.

"Loh Ris, kok bisa?" tanya Mas Ramdan yang telah berbalik ke arahku.

Aku meringis, sambil memijat pergelangan kakiku.

"Sakit??" tanya Mas Ramdan yang sudah berjongkok seraya memandang kakiku. Oh tidak, kurasa Mas Ramdan tak fokus pada kaki yang kupijat, matanya mengarah pada paha yang terbuka.

"Eggghh, sakit masss," lenguhku dengan suara sexi yang kusengaja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status