"Papa enggak sayang Vian!" Kalimat keramat, batin Evan. Di depan putrinya yang masih mengenakan seragam putih abu-abu, lelaki itu mengepalkan tangan. "Apa salahnya, Pa? Vian udah gede! Udah tujuh belas! Pacaran aja enggak boleh?" Pipi Vian merah. Ia mengingat bagaimana ayahnya memarahi Glen di muka umum tadi. Kekasihnya itu pasti malu. Tahu sendiri kalau ayahnya sudah murka, mulutnya lebih pedas dari sambal rawit buatan nenek. Mengusap wajah, Evan menarik napas. "Pacaran? Untuk apa? Dengan siapa? Kamu bahkan enggak mengenalkan dia ke Papa, Vian. Kamu sehat?" Rahangnya yang tirus mengetat, mata si gadis memerah. "Papa udah enggak sayang Vian!" tuduhnya dengan wajah terluka. Kemudian, remaja itu berbalik, menaiki tangga dengan tergesa. "Vian?" Evan memanggil. "Navian Kaiandra Wijaya!" Suaranya menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Langkah Vian berhenti. Ia berbalik, menoleh dengan sorot marah pada ayahnya. "Papa udah enggak sayang Vian! Vian kesal! Vian enggak mau ngomong dulu sa
Hening. Sepi. Ketenangan yang ada di kediaman Evan terasa hampa kali ini. Rumah berlantai dua yang menjadi saksi lika-liku cinta Evan dan Kia itu tidaklah kosong. Bangunan itu berpenghuni, hanya saja masing-masing penghuninya tengah diselimuti kehampaan. Ada peristiwa jelek beberapa waktu lalu. Di kamar yang berada di lantai satu, yang beberapa tahun belakangan ditempati oleh sulung Wijaya. Di sana, Evan memergoki Vano hendak menyayat nadi. Kehebohan terjadi. Evan yang biasanya tenang menjerit histeris dan berusaha mencegah anaknya melanjutkan tindakan mengerikan itu. Dibantu istri dan putrinya, Evan akhirnya berhasil menjauhkan Vano dari pisau terkutuk tadi. Memang, Vano tak baik-baik saja setahun belakangan. Sejak kecelakaan tragis yang menyebabkan kaki kanannya pincang, Vano mengalami masa-masa sulit untuk beradaptasi dengan keadaan barunya. Mengasingkan diri, menarik diri, menjauhi semua orang, bahkan menunda pengerjaan tugas akhir kuliah. Evan tahu semua itu tidak mudah. Na
Sudah akan pulang, sudah duduk di atas jok sepeda motornya, Kai menemukan Samara menghampiri. Lelaki ini yakin benar-benar didatangi, sebab setahunya, sepeda motor karwayan lepas ibunya itu ada di sebelah kanan. Sekarang pukul satu siang, Kai dan Samara baru saja pulang mengajar. Kebetulan aneh, Kai dan gadis yang bekerja sampingan sebagai pengantar nastar Kia itu diterima menjadi guru honor di SD yang sama. Bertemu di rumah, bertemu lagi di tempat kerja. Kai mulai terbiasa, tetapi tetap merasa risih saat gadis dengan iris mata sewarna madu itu mendatangi dan muncul di hadapan muka seperti sekarang. Menurut Kai, Samara itu tidak tegak akalnya. Agak miring. Bayangkan, di hari pertama masuk kerja dan mereka bertemu, si gadis dengan rambut hitam sepunggung itu mengaku menyukai Kai. Di depan Kiandra pula. "Apa?" tanya Kai ketus saat Samara hanya diam saja di samping sepeda motornya. Kai menjadi sedikit jengkel saat gadis yang ada di depannya memasang ekspresi wajah santai, menuju da
Evan berjalan cepat menuju halaman belakang. Genggaman jemarinya pada pinggir keranjang sampah yang dibawa menguat. Gurat kemarahan tampak di wajahnya yang memang berkarakter tegas."Evan! Kamu mau apakan obat itu?"Pada teriakan sang istri yang berusaha menghentikan langkah, Evan berpura tuli. Ia marah, jika Kia ingin tahu. Dan pada obat yang ada di dalam keranjang sampah, Evan berniat membakarnya."Evan!"Evan membuang isi keranjang sampah ke atas tanah. Tak lama, Irna sang asisten rumah tangga yang diminta membawakan minyak datang."Evan!"Laki-laki itu mengguyurkan minyak tanah tadi ke tumpukan sampah di depannya. Memantik api, lalu membiarkan semua terbakar, termasuk obat yang tadi berusaha Kiandra selamatkan.Nyala api terlihat berkobar di mata lelaki itu saat menatap lurus pada sang istri. Membuang korek dan botol minyak, Evan menyeret Kiandra untuk masuk ke kamar lagi.Eva
"Kamu ... berani membohongiku?" Giginya bergemelatuk. "Kamu lupa aku nikahi untuk apa, Ki?"Dengan sisa keberanian yang ada, Kiandra menatap mata Evan. "Aku ingat. Aku ingat kenapa kamu perlu menjadikanku istri kedua.""Kamu ingat sama kesepakatan kita?"Cukup lama menunggu, Evan tak kunjung mendengar istri keduanya bersuara. Kia malah menunduk, membuatnya semakin geram.Tangan pria itu menarik dagu Kia. Membuat tatapan mereka bertemu. "Satu buah rumah. Uang untuk biaya pernikahan Rina. Uang sekolah Nando sampai lulus SMA. Kamu lupa aku membayar semua itu untuk imbalan supaya kamu memberikan aku satu orang anak?"Kia bungkam. Matanya panas dan memerah."Aku tidur di kamar kamu tiga kali dalam seminggu, selama setahun ini. Aku penasaran kenapa kamu belum juga terlambat datang bulan. Dan ternyata ini? Kamu bohong sama aku, Ki?""Aku enggak mau punya anak.""Kamu minum pil KB t
Evan terkekeh di tengah hujan. Pria itu berdiri di tepi jalan, di dekat sebuah pohon yang lokasinya tak jauh dari kompleks perumahan. Di bawah pohon itu, seorang perempuan tampak berjongkok dan menggigil kedinginan."Kamu baru mau kabur atau lagi mau pulang, Ki?"Evan mengusap wajah yang kuyup. Hujan yang sejak sore mengguyur belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti sepertinya. Pada perempuan pucat di bawah pohon, lelaki itu melempar tatapan menang.Kiandra kabur pukul dua pagi. Lidia sudah menangis-nangis meminta dilaporkan ke polisi, sebab orang tua Kia mengaku tidak didatangi anaknya. Evan menolak melakukan itu. Pria itu menunggu hingga malam dan lihat? Kiandra bisa ia temukan dengan mudah, 'kan?Evan mendekat pada Kia. Ikut berjongkok di depan perempuan itu. "Gimana? Udah kabur-kaburannya?"Kia tak menjawab. Bibir perempuan itu gemetar, seperti seluruh bagian tubuh yang lain. Dia kedinginan dan lemas.
Evan tak pernah merencanakan ingin memiliki dua istri. Satu saja, yang baik seperti Lidia saja, sulit ia rawat. Namun, mau tak keputusan itu harus diambil.Lidia dinyatakan dokter mengalami sedikit gangguan di rahimnya. Wanita itu sulit hamil. Sedangkan Dina, ibunya Evan sudah setiap hari mendesak cucu.Di usia pernikahan yang ketiga, saat usinya sudah 32 tahun, Evan pun akhirnya terpaksa menuruti saran ibunya untuk menikahi perempuan lain. Saat itu, proses bayi tabung yang ia dan Lidia jalani juga belum membuahkan hasil.Sungguh takdir yang kusut, Evan harus dipertemukan dengan Kiandra. Si perempuan keras kepala, banyak mau dan cengeng."Kia belum siap punya anak, itu karena kamu juga selalu dingin sama dia."Suara Lidia membuat Evan membuka kelopak mata. "Jadi, menurut kamu, aku yang salah? Semuanya salah aku?""Bersikap baik sama dia. Buat dia nyaman dan percaya kalau kamu layak dikasih anak
Evan Wijaya. Usia pria itu 33 tahun sekarang. Pendapat Kia tentangnya? Si rupawan yang bajingan.Contoh paling dekat dari sikap bajingannya itu, sekarang. Saat Kia masih ingin merebahkan tubuh di kasur karena memang masih lemas dan sedikit pusing, pria itu malah memaksanya ikut keluar rumah.Di malam hari yang lumayan berangin pula. Seperti sengaja sekali ingin membuat sakitnya makin parah. Katanya, ingin mengajak makan bakso. Namun, malah berhenti di warung nasi goreng.Kesal, Kia membiakan pria itu turun dari mobil dan masuk sendirian ke tempat makan. Sekitar tiga menit berlalu, Kia tertawa kecil saat melihat pria yang berstatus sebagai suaminya itu kembali menghampiri mobil."Kamu beneran sakit? Sempat-sempatnya bikin aku kesal?" Evan bicara tepat di samping Kia. Pria itu melepas seat belt yang masih melilit di tubuh istrinya."Aku enggak lapar. Kalau kamu mau kerepotan ngurusin aku yan