"Kamu gak anter mereka, Mas?"
"Emang muat motor satu dipakai berempat? Porsi jumbo lagi."Seketika aku tertawa lepas. Bahkan perutku sampai sakit gara-gara tak dapat berhenti tertawa. Satu yang menjadi pertanyaanku, kenapa tidak dari kemarin Mas Reza menolak permintaan kakaknya? "Udah ah, ketawa terus. Mas mau berangkat ya. Jangan ke mana-mana!""Siap komandan!" jawabku seraya menggerakkan tangan kanan ke kening, persis seperti saat ucapara bendera. Aku masih berdiri, menatap punggung Mas Reza hingga hilang di balik pagar. Puas mengantar Mas Reza aku pun masuk kembali ke rumah. Senyum merekah saat melihat rumah sepi, penuh kedamaian. Lega luar biasa. Aku duduk di kasur lantai seraya menonton televisi. Acara kartun menjadi pilihan terbaik dibanding berita politik yang membuat pusing tujuh keliling. Beginilah hidup yang kunikmati dua tahun ini. Ponsel milikku menjerit berulang kali. Nama Mbak Nida tertera jelas di layar benda pipih tersebut. Dia adalah salah satu supplier pakaian muslimah. Sudah tiga tahun ini kamu bekerja sama. Bermula dari teman, aku pun nekat menjadi reseller pakaian muslimnya. Pantang menyerah menjadi kunci hingga aku berada di titik ini. Sayangnya keluarga Mas Reza selalu menganggapku benalu karena aku tak bekerja kantoran seperti yang mereka inginkan. Mereka tidak tahu dari rumah pun aku bisa mendapatkan uang. Pemikiran kolot yang mengakar di keluarga suamiku. Bekerja itu keluar rumah dengan pakaian seragam dan tas yang selalu dibawa. Mereka tidak tahu, tanpa keluar rumah aku dapat menghasilkan uang jutaan tiap bulannya. Jeritan ponsel terus memenuhi ruangan ini. Segera aku geser gambar telepon ke atas. "Lama banget sih, Li! Ngapain aja kamu?" ucap Mbak Nida kesal. "Lagi nonton si kembar di televisi, Mbak," jawabku tanpa rasa bersalah. "Kartun muluk, Li. Sekali-kali nonton sinetron kek."Aku hanya menanggapinya dengan tawa. Bukan aku tidak mau menonton, tapi kehidupanku saja sudah penuh drama. Bagaimana nasibnya kalau menonton drama rumah tangga. Oh, tidak! Pasti tambah pusing kepalaku. "Ada apa, Mbak?""Gamis pesanan kamu sudah Mbak kirim. Dua hari lagi sampai.""Makasih, Mbak.""Kamu gak pengen buka toko offline, Li? Progresnya bagus kalau kamu pegang. Tiap hari saja ada saja yang pesan pakaian, kan? Kamu juga bisa jual aksesoris dan sendal."Hampir tiap hari Mbak Nida mengatakan demikian. Namun aku belum siap dengan resiko yang terlalu besar. Belum lagi modal yang dikeluarkan, aku belum memiliki uang sebanyak itu. Tabunganku sudah habis untuk membangun rumah. "Nanti Mbak kalau aku sudah memiliki modal. Uang aku sudah habis untuk membangun rumah.""Mbak tunggu, Li."Sambungan telepon dimatikan setelah Mbak Nida lelah membujuk diriku. Sebenarnya bukan hanya membujuk, dia juga bersedia meminjamkan modal. Aku saja yang takut melangkah ke depan. Ketukan pintu mengalihkan perhatianku. Tak lama suara menggelegar masuk ke telinga. Siapa lagi kalau bukan pengantar paket, Mas Bardi. "Paket, Mbak Lili!" teriaknya lagi karena aku belum jua membuka pintu. Bahkan tubuhku masih enggan meninggalkan dua kembar yang menggemaskan. Rasanya ingin membawa satu untuk dibawa pulang, pasti menyenangkan. "Mbak Lili!"Aku pun beranjak dari tempat ternyaman. Aku tinggalkan si kembar yang asyik bermain di lapangan. Semoga saja dia tak merajuk lalu ganti siaran. Ah, aku belum puas menontonnya meski adegan itu selalu berulang. Mas Bardi menyilangkan kedua tangan di dada saat pintu kubuka lebar. Senyum yang biasanya nampak seketika hilang. Dia kesal menungguku terlalu lama. "Si kembar lagi meski!" ucapnya membuatku meringis. "Makannya kalau datang jangan di jam si kembar." Bardi mengerucutkan bibir. Wajahnya masih datar dengan tatapan kesal yang tergambar jelas di sorot netranya. Lelaki itu benar-benar merajuk. "Ini paketnya, Mbak," ucapnya seraya menyerahkan paket yang di bungkus karung. "Makasih, Mas.""Iya, besok lagi aku antar sore saja."Mas Bardi pun pergi setelah memberikan paket tersebut. Dia meninggalkanku dengan paket besar itu. Perlahan aku tarik karung besar itu. Sesekali aku berhenti karena tangan lelah menarik pakaian-pakaian tersebut. Ternyata berat juga, pantas saja Mas Bardi merajuk karena lelah mengangkat dan menunggu. Satu persatu pakaian aku keluarkan dari karung. Aku kelompokkan sesuai pesanan masing-masing. Sebagian pakaian yang belum bertuan aku masukkan ke dalam lemari dekat ruang keluarga. Untung saja Mbak Risma tak sempat melihat ini. Bisa hangus jika pakaian itu dilihat Mbak Risma. Dia akan merajuk meminta satu atau dua. "Mbak Lili! Mbak Lili!" teriak seorang perempuan dari luar. "Siapa lagi tamu kali ini?" gumamku lalu beranjak dari kasur lantai. "Mbak Lili!" "Bu Sulis, ada apa?" tanyaku pada tetangga tak jauh dari rumah. "Tamunya Mbak Lili sudah pulang?" tanyanya seraya melirik ke dalam rumah. Namun tak ia temukan sosok yang dicari. "Maksud Bu Sulis kakak ipar saya?" "Iya, perempuan dengan rambut pendek dan anaknya yang gendut, Mbak.""Iya itu kakak ipar dan keponakan saya, Bu. Memangnya ada apa, ya?" Bu Sulis diam sesaat. Perasaanku semakin tak enak melihat ekspresinya. Semoga saja bukan hal buruk yang hendak ia katakan. Mbak Risma memang pernah kemari beberapa kali. Namun baru kali ini dia menginap di sini. Dulu ia selalu mencari hotel terdekat karena tak nyaman dengan rumah kecil ini. Baru kemarin ia menginap, itu karena keuangan yang tidak baik-baik saja. Dia datang meminta bantuan tapi sikapnya tak mau direndahkan. Dia masih ingin terlihat kaya meski isi dompet tidak tersisa. "Ada apa, ya, Bu?""Memangnya saudara ipar kamu tidak bilang, Mbak? Cerita barang kali?"Aku menggeleng, "saya tidak tahu, Bu. Kalau tahu pasti tidak akan bertanya pada ibu, kan?""Saudara Mbak Lili kemarin sore hutang di tempat saya."Aku menelan ludah dengan susah payah. Perasaan tak enakku terjawab sudah. Lagi-lagi Mbak Risma dan Niko mencari masalah baru. Tidak lelahkan mereka mengusik hidupku? Bahkan memberikan beban padaku. "Bu Sulis tidak salah orang, kan?" tanyaku sedikit hati-hati. Aku takut pertanyaanku menyinggung perasaan tetanggaku, bahkan memutus silaturahmi yang terjalin. "Gak kok, Mbak. Ini tagihannya." Bu Sulis memberikan sebuah kertas berisi tagihan belanja. Rokok saru slop Rp. 250.000,-Pulsa Rp. 210.000,-Jajan Rp. 72.000,-"Total utang mereka Rp. 532.000,- Mbak. Katanya yang bayar Mbak Lili atau Mas Reza. Karena Mbak Lili dan Mas Reza gak pernah utang dan selalu belanja di tempat saya, jadinya saya percaya, Mbak.""Ya Allah ... Ya Robbi, cobaan apa lagi ini?""Tolong dibayar, ya, Mbak. Mau buat modal soalnya."Aku menghela napas, mengeluarkan sesak yang memenuhi rongga dada. Mas Reza, akan kutagih atas perbuatan saudara kamu.Aku sudah duduk di teras rumah. Berkali-kali aku melirik jam yang menempel di dinding ruang tamu. Hingga pundak terasa pegal karena terus menoleh ke dalam. Namun hingga pukul 16.30 Mas reza belum menampakkan batang hidungnya.Mas Reza bekerja di salah satu pabrik farmasi yang berada di kota ini sebagai supervisor. Lokasinya pun lumayan jauh dari rumah, 15 sampai 20 menit untuk bisa sampai ke sana. Tentu semua tergantung padat tidaknya lalu lintas.Tidak lama suara motor metik terdengar mendekat. Sontak aku mengalihkan pandangan ke arah halaman, benar saja itu Mas Reza, suamiku."Assalamualaikum," ucap Mas Reza seraya berjalan mendekat. Sebuah kantung plastik berwarna putih susu menempel di tangan kanannya.Aku menjawab salamnya kemudian melangkah mendekat. Seperti yang sudah-sudah, mencium punggung tangan suami setelah ia selesai bekerja menjadi suatu keharusan. Bahkan tertanam akhirnya menjadi kebiasaan.Aku masih menengadahkan tangan setelah selesai mencium punggung tangannya. Mas
"Za, ibu tunggu kirimannya!"Sambungan telepon dimatikan sepihak sebelum satu kata keluar dari mulutku. Aku terpaku sejenak dengan ponsel masih berada dalam genggaman. Entah kenapa aku menjadi linglung, tak tahu harus berbuat apa."Ibu bilang apa, Li?"Mas Reza menyentuh pundak, menghilangkan siluet ibu mertua dari anganku. Kemudian berganti dengan ruangan gelap dan tampilan film yang diputar di layar besar."Ibu minta uang, Mas.""Astagfirullah, Mas lupa belum kirim uang ke ibu."Mas Reza dengan cepat mengambil ponsel dari tanganku. Dengan lihai jemarinya menari di atas layar benda pipih tersebut. Dia mengirim sejumlah uang untuk ibunya."Kamu kirim berapa, Mas?" tanyaku sedikit hati-hati."Rp. 1.500.000,00 Li. Kata ibu bulan ini banyak keperluan."Aku diam, kembali fokus menatap layar besar itu. Adegan hantu muncul tiba-tiba kini tak berarti lagi. Dalam kepalaku hanya dipenuhi rasa penasaran dengan nominal yang masuk ke rekening ibu mertua.Bukan ... Bukan aku melarang Mas Reza memb
"Kita berkemas sekarang, Li. Besok pagi kita berangkat ke Salatiga.""Salatiga ... mau ngapain, Mas? Bukannya besok kamu kerja?"Aku masih tak mengerti kenapa Mas Reza tiba-tiba mengajakku pulang kampung. Apa mungkin ada sesuatu yang darurat, tapi apa? Jangan bilang ada kabar duka. Mas Reza menghela napas beberapa kali. Tanpa diminta bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Apa jangan-jangan dugaanku benar, ada keluarganya yang meninggal? Bapak atau ibu? Astagfirullah ... kenapa aku jadi berpikiran yang tidak-tidak? "Bapak gak kenapa-kenapa, kan, Mas?" Sontak ingatan tertuju pada bapak mertua. Beliau sering kali mengeluh kecapekan di usianya yang sudah kepala enam. "Bukan bapak, Li. Rara hamil."Aku melotot dengan mulut terbuka lebar. Rara hamil, gadis itu hamil? Kenapa bisa seperti ini? Tunggu ... aku tidak salah dengar, kan? "Perempuan yang datang tadi pasti Rara, Li. Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Kenapa Rara bisa hamil. Kenapa dia tega mencoreng nama baik keluarga?"Aku mem
“Apa Ibu bilang?”“Kamu gimana sih, Li? Kalau orang tua ngomong didengerin! Capek ibu ngulang berkali-kali. Denger,ya ... rumah kamu dipakai Reno sementara, setidaknya sampai Masmu dapat kerja dan bisa ngontrak rumah sendiri.”Allahu Akbar!Setidaknya sampai Masmu punya kerja? Lalu kapan? Kenapa mereka memakai tanpa izin dariku? Kunci duplikat memang dibawa oleh bapak karena kami jarang pulang kemari. Kami berniat tinggal di sini satu bulan lagi, setidaknya sampai rumah itu selesai 100 %. Namun apa yang aku dapatkan, rumah baruku justru dipakai kakak ipar.“Kenapa ibu tidak bicara sama kami dulu? Harusnya ibu meminta izin pada kami sebelum kunci itu ibu berikan kepada orang lain.”“Orang lain kamu bilang, Za? Reno itu kakak kandungmu. Saat ini dia sedang kesusahan, sudah sepantasnya kamu dan Lili membantunya, bukan justru mengusirnya.” Ibu meletakkan cangkir teh dengan kasar. “Ingat ya, Za kamu berhutang budi pada Reno,” pekik ibu kemudian masuk kamar.Aku terduduk lemas di kursi ka
"Rara kabur, Za!""Kabur, Bu? Kenapa bisa?""Reza mana? Kasih teleponnya ke Reza!" serunya. Aku menghela napas. Sabar ... Sabar, ini ujian pernikahan. Aku mengelus dada kemudian membangunkan Mas Reza dari alam mimpi. "Apa, Li? Nanti Mas cuci piringnya. Mas ngantuk ini.""Ini ibu telepon, katanya Rara kabur.""Kabur?"Mas Reza terperanjat, seketika dia sambar ponsel yang ada di tangan kananku. Aku hanya memperhatikan wajah panik dari lelakiku. Beberapa kali dia mengusap wajah kasar. Dia bingung dan khawatir dengan adik perempuannya. "Reza ke sana sekarang, Bu!"Mas Reza meletakkan ponsel di atas kasur lantai. Dengan cepat ia berlari menuju kamar. Aku pun mengikuti ke mana langkah kakinya. Namun entah kenapa aku tak bersiap, ada perasaan ragu yang membuatku memilih diam terpaku. "Kamu di rumah saja, Li. Aku tahu kamu masih kecewa dengan ibu.""Tapi, Mas.""Nanti aku bilang ada kepentingan lain."Mas Reza segera pergi meninggalkan rumah. Setelah kepergiannya, ada perasaan tak nyaman
"Benar ini kediaman saudara Reza?""Iya, Pak. Suami saya tidak kenapa-kenapa, kan?" tanyaku cemas, aku tidak bisa membayangkan hal buruk terjadi pada Mas Reza. "Suami ibu?""Bapak ke sini ingin mengatakan jika suami saya kecelakaan, begitu?"Aku perjelas perasaan khawatir yang menyelimuti diri ini. Bukankah kedatangan polisi selalu berkaitan dengan kasus dan kecelakaan. Mas Reza tidak mungkin mengalami sebuah kasus, sehingga kecelakaan seketika terlintas di kepalaku. "Saya tidak tahu menahu tentang Pak Reza, Bu. Kedatangan saya kemari untuk menyampaikan jika adik Pak Reza berada di rumah sakit.""Rara maksud Bapak?""Iya, saudari Rara pingsan di jalan tak jauh dari kantor kami. Tidak ada KTP atau pun ponsel, setelah saudari Rara sadar kami baru bisa mencari informasi."Aku bernapas lega, ternyata bukan kecelakaan yang terjadi pada Mas Reza. Polisi itu justru menemukan orang yang kami cari-cari. "Di mana rumah sakitnya, Pak? Saya akan segera ke sana."Lelaki bertubuh tegap dengan ku
"Sarapan dulu, Mas, Bu?" Aku meneguk air putih hingga tandas tak tersisa. Sedikit aku lirik perempuan paruh baya yang masih berdiri dengan menyilangkan kedua tangan di dada. Apa ibu tidak capek?"Kamu itu harusnya di rumah. Tidak malu keluyuran dengan perut besar begitu, Ra? Ibu malu, Ra! Malu punya anak sepertimu!"Braak!Kursi kayu itu di dorong keras ke belakang, Rara segera pergi menuju kamar. Teriakan Ibu tak mampu mengubah pendirian adik suamiku itu. Tidak lama terdengar pintu dibanting keras. Aku menghela napas melihat sikap perempuan bergelar ibu. Saat anaknya terpuruk, harusnya dia mampu menjadi pelindung, memberi kenyamanan agar Rara tak semakin terluka. Namun ibu hanya mementingkan perasaannya sendiri. Dia lupa, Rara butuh perhatian bukan nasihat apalagi caci dan maki. Rara jelas salah karena telah melakukan perbuatan terlarang. Namun sebagai keluarga, kita harus tetap memberi semangat. Bukan justru menjatuhkan mentalnya yang tinggal lima persen tersebut. Setelah keper
Sudah dua hari ibu menginap di sini. Jangan tanya lagi seperti apa mentalku, hancur tak berbentuk. Tiap hari selalu ada drama yang ia ciptakan. "Lili!"Benar, bukan ... baru juga dibicarakan, ibu sudah mengeluarkan ajian maut. Aku menguatkan mental sebelum akhirnya melangkah mendekati ibu. Perempuan yang sudah melahirkan suamiku itu tengah asyik menonton acara televisi. Sinetron dengan ganre drama rumah tangga menjadi serial yang tak pernah terlewatkan. "Ada apa, Bu?" tanyaku pelan. "Ibu pengen selat Solo, buatkan, ya!" pintanya tanpa menoleh ke arahku sedikit pun. Fokusnya masih satu, serial favoritnya. Aku menghela napas, menghilangkan rasa kesal dalam dada. Ingin rasanya menegur, tapi terhalang rasa tak enak. Seperti ini perasaan menantu pada umumnya. Wahai para mertua, mengertilah. Ah, sayangnya ibu tidak pernah peduli. "Beli saja, ya, Bu. Sudah siang, Mas sayurnya juga sudah lewat," rayuku. "Sekali-kali minta tapi tetap gak dikasih. Percuma punya menantu tapi apa-apa bel