Part 14Takdir selalu bisa menemukan jalan ceritanya sendiri. Sejauh apa pun Mbak Lika menutupi perselingkuhannya dengan Mas Ibram, pada akhirnya Mas Danu tahu juga. Ibu menjadi orang yang panik pertama kali mendengar kabar anak tiri dan menantunya baku hantam. Mungkin Abah sedang menenangkan Ibu sekarang. Aku sibuk menghangatkan makanan yang masih tersimpan di lemari. Setelah semuanya siap, Abah mengajak Mas Danu makan malam bersama. Kami tak banyak bicara di meja makan. Sesaat setelah selesai makan, mobil Mas Zaidan datang. Mas Danu segera bangkit dari duduknya, tetapi Abah menahannya. Mas Ibram masuk digandeng oleh Mas Zaidan. Wajah Mas Ibram pucat melihat kehadiran Mas Danu."Duduk, Ibram." Abah bersuara tegas. "Ini Nak Danu memergoki kamu dan istrinya berduaan di tempat tertutup. Apa yang kamu lakukan bersama istrinya tadi sangat tidak pantas. Sebetulnya apa maumu?" Mas Ibram terdiam. Mas Danu tengah berusaha menahan dirinya, mukanya merah padam. Ada urat menonjol terlihat jel
Part 15Takdir mungkin mengabulkan keinginan kita dengan caranya sendiri. Seperti cara yang barangkali tidak pernah terpikirkan olehku saat Denis menagih makan siang yang kujanjikan. [Bagaimana jawaban Ibu untuk pesanan makan siangku hari ini?]Pesan WA dari Denis masuk sesaat setelah aku mandi. Ah, sialnya karena masalah ribut-ribut semalam aku lupa bilang pada Ibu bahwa Denis memesan makan siang. Tak apa. Aku akan menggoreng telur dan tempe saja. Menunya sama dengan menu makan siangku."Laras, ini bekal makan siangmu." Tak kusangka Ibu sudah menyiapkan satu kotak makanan. Kupikir Ibu masih berbaring di kasur karena kejadian tadi malam. "Bu, temanku Denis juga minta dibawakan, Bu. Hanya saja Laras lupa bilang sama Ibu karena pikiran Laras kalut." "Teman sekantor? Ya sudah Ibu bikin satu lagi. Tunggu sebentar.” Ibu bergegas kembali ke dapur. Sesaat kemudian di tangannya sudah siap satu kotak makanan.” Siapa tadi namanya? Denis, ya? Jadi dia mau makan siangnya kembaran sama kamu?
Part 16Ini sangat tidak masuk akal! Mbak Lika mengakui dengan jujur kalau dia mengirimkan foto saat aku dan Mas Zaidan berbincang di ruang tamu? Ya Tuhan! Apa yang ada di pikirannya? Jadi dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya waktu itu? Lututku terasa lemas. Aku segera mencari pegangan di pinggir ranjang. Dadaku berdegup sangat kencang. Berkali-kali aku menggelengkan kepala tak percaya dengan ucapan Mbak Lika."Laras, Mbak minta maaf. Maafkan Mbak Lika yang tidak menyangka semua ini terjadi." "Mas Erlangga bilang apa saat Mbak Lika mengirimkan foto itu?""Awalnya dia diam, Laras. Dia hanya bilang terima kasih karena sudah mengirimkan foto itu. Mbak berusaha meyakinkannya kalau kamu selingkuh dengan Zaidan. Mbak saat itu membencimu karena kamu terlalu ikut campur urusan Mbak." Mbak Lika tergugu di hadapanku. Aku tidak tahu harus percaya padanya atau kuabaikan saja. Rasanya luka di hatiku yang belum mengering kembali dikucuri cuka. Perihnya menyayat tanpa bisa kutahan."Esoknya Erl
Part 1 Cahaya matahari membakar bumi dengan begitu garang. Di petala langit, sinarnya seperti menyiratkan pesan kemenangan sebelum senja jatuh merebutnya. Di rumah kami yang berhalaman luas, sedang terjadi perdebatan sengit antara Ibu dan kakak-kakakku. Ibu mengabarkan berita yang membuat kami semua terperenyak tidak percaya. Rasanya tidak mungkin Ibu mengucapkan kalimat itu. Ibu sudah terbiasa hidup sendirian setelah ditinggalkan Bapak. Ibu perempuan paling kuat yang pernah aku kenal. Kenapa hari ini mengeluarkan fatwa yang membuat kami bertanya-tanya? “Ibu mau menikah lagi.” Suara tegas itu sukses menghipnosis kami. "Ibu apa-apaan, sih, malu-maluin saja! Eling Bu, ingat sama cucu. Radith dan Ratih sudah gede, tahun ini masuk SMP, masa neneknya mau nikah lagi?" protes Mbak Tari kakak sulungku. Nama lengkapnya Astari Kusumadewi. Mbak Tari dan Ibu punya kepribadian yang mirip. Sama-sama tegas, juga sama-sama janda ditinggal mati. "Ibu ini sudah tua bukannya dibanyakin ngaji malah m
Part 2Di dunia ini ada beberapa hal yang disebut takdir, sisanya adalah pilihan. Aku memilih tidak mengikuti kemauan Ibu seperti juga kakak-kakakku. Bagaimanapun mereka sudah dewasa, sudah bisa memutuskan yang terbaik untuk kehidupan mereka sendiri. Ibu berbicara sangat lantang, seolah-olah sudah memperhitungkan apa yang akan dilakukan. Aku masih tidak bisa memahami maksud Ibu, tetapi memilih diam tanpa membantah. Apakah perselingkuhan kakak-kakakku bisa terhenti karena Ibu menikah lagi? Rasanya sungguh tidak masuk akal!Keesokan harinya Mas Bagus menelepon. Tumben Mas Bagus menelepon duluan. Biasanya aku menelepon hendak mengabari Ibu masuk angin saja sering ditolak atau tak mau mengangkat."Laras, bagaimana? Apakah Ibu sudah berubah pikiran?" tanya Mas Bagus ingin tahu. Aku jadi penasaran, bagaimana reaksinya jika kukabari sesuatu. Bukankah rencana Ibu ini juga ada hubungannya dengan dia?"Ibu sepertinya sudah mantab untuk menikah, Mas. Tadi pagi Ibu mengumpulkan KTP, KK juga, sep
Part 3Baik dan buruk adalah pilihan di dalam takdir. Takdir kita untuk lahir, pilihan kita untuk berbuat. Ibu memilih menikah lagi untuk menyelamatkan rumah tangga anak-anaknya. Tentu saja ini bukan pilihan mudah. Ibu sudah dua puluh tahun ditinggal Bapak. Tentu untuk menerima kehadiran laki-laki baru, Ibu butuh waktu. Tidak bisa secepat itu. Aku membuka pintu kamar Ibu perlahan. Jam 02.30 dini hari, Ibu pasti sedang salat Tahajud. Kami mempunyai rutinitas yang sama. Setelah salat biasanya aku lelap sebentar menunggu Subuh datang. Kali ini pikiranku tak tenang. Ibu sedang memutar tasbihnya ketika aku masuk ke kamar, lalu merebahkan diri di kasurnya. "Ibu pasti tidak bisa tidur nyenyak, kan?" tanyaku saat melihat ibu membuka mukenanya."Ibu kepikiran terus, Laras. Ibu bertanya-tanya apakah kamu tidak masalah jika ibu menikah sebulan lagi? Menurutmu apakah tidak lebih baik kamu mempercepat pernikahanmu?” "Mas Erlangga sudah merencanakan semuanya, Bu. Bagi Laras lebih baik jika Ibu
Bab 4Setiap orang punya takdirnya masing-masing. Tugas kita berusaha menemukan takdir terbaik kita. Sampai saat ini, aku masih meyakini usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Maka segera kukirimkan pesan kepada Mbak Riris.[Mbak, besok Laras mau ke rumah mengantar puding. Ada resep baru, biar dicicipin sama Dija dan Hanima, Mbak Riris ada di rumah jam tiga sore?]Tak lama kemudian, Mbak Riris membalas pesanku.[Wah terima kasih banyak, Laras. Mereka pasti senang. Besok Mbak Riris ada di rumah.]Mbak Riris iparku yang sangat sabar. Sebenarnya Mas Bagus melarangnya bekerja, apalagi setelah Dija dan Hanima lahir. Mereka mengikuti program bayi tabung dan mempunyai sepasang anak kembar yang kini berusia sebelas tahun. Mbak Riris akhirnya diperbolehkan bekerja di TK dekat rumah mereka setelah Dija dan Hanima mulai tumbuh besar. Kusapa Si Kembar yang sedang asyik bermain di pinggir kolam teras belakang. Mereka tertawa kegirangan saat menerima puding mangga susu yang sengaja aku buat s
Hidup adalah serangkaian kebetulan. Kebetulan adalah takdir yang menyamar. Lama-lama aku mulai menyadari bahwa kebetulan sesungguhnya tidak pernah ada. Hal yang sama juga berlaku saat dering telepon dari Mas Danu yang segera menyadarkanku bahwa posisi Mbak Lika mungkin tidak lagi aman. Ibu menatapku sambil menatap ponselnya yang masih kugenggam. Aku mencoba bersikap biasa, meskipun dadaku bergemuruh hebat."Telepon dari siapa?" tanyanya pelan.Duh, bagaimana ini? Apakah aku harus memberikan kepada Ibu, atau sebaiknya tak kubiarkan Ibu dan Mas Danu mengobrol?"Laras, sini teleponnya, barangkali penting." Terpaksa kuberikan telepon Ibu."Iya, Nak Danu, Waalaikumsalam. Kabar Ibu baik, gimana kabarmu? Ini masih di rumah atau sudah berangkat? Oh, baru sampai Bali. Lika tidak ada di sini. Lho, tidak ada di warung? Mungkin sedang ada keperluan. Jadi teleponnya mati? Apa perlu Laras pergi ke warung Lika? Nanti Ibu kabari Nak Danu? Tidak usah, baiklah. Maaf Nak Danu, Lika memang sering lupa ch