Share

Bab 6 : Dia yang Tidak Mau Kalah

Sepasang kaki jenjang, dibalut dengan sepasang hels yang terdengar bergemlatuk dengan marmer. Nela Amanda, wanita karir yang sudah hampir 12 tahun bekerja sebagai sekertaris perusahaan besar itu, memutuskan untuk berhenti bekerja disana. 

seperti yang kalian ketahui, jika sekarang ada mimpi yang harus Nela wujudkan. Yaitu menjadi istri kedua bagi seorang Satria Wiauthama. 

Nela sendiri sudah mengenal Satria, sejak masa perkuliahan, kebetulan Satria menjadi kakak tingkatnya. Sebenarnya Nela sendiri juga telah menaruh hati kepda Satria, namun karena Satria memilih menikah dengan Anisa. Rasa cinta itu harus terpaksa ia kandaskan

Dan sekarang, seperti sebuah undian berhadiah. Nela mendapati permintaan langsung dari pihak keluarga Satria, untuk memintanya menjadi istri kedua. Nela mana mau menolak. 

Tapi ternyata untuk menjadi istri kedua bagi seorang Satria tidak mudah, karena ada penghalang besar untuknya. Nela pikir penghalang itu harus ia musnahkan terlebih dahulu. 

Langkahnya terhenti, saat tepat berada di depan pintu rumah mewah. Hanya dalam sekali ketuk pintu itu terbuka yang menampilkan langsung sosok yang diincarnya. 

"Maaf, ada urusan apa datang kemari?" 

Wanita yang masih menggunakan apron itu bertanya. Matanya menelisik Nela dari bawah sampai ujung kepala. Dan saat itu perasaan Anisa mulai tidak enak.

"Apa nyonya Anisa sedang sibuk? saya berniat menemui anda datang kemari," sahut Nela dengan congak sombongnya

"Nggak. Silahkan masuk," Anisa menyuruhnya untuk duduk disofa ruang tamu

setelah Nela duduk, dia pun langsung menghujami berbagai pertanyaan untuk Nela 

"Ada perlu apa ya,mbak?"

"Sebelumnya kamu tau, siapa saya?"

Anisa menggeleng

"Perkenalkan, saya Nela calon istri keduanya Satria."

Dalam sekejap mata, Anisa mampu merasakan jika hatinya meluluh lantah tidak berdaya. Apa katanya tadi, calon istri kedua Satria? bukankah suaminya sendiri enggan untuk menikah lagi. 

"Maaf. Suami saya tidak ada rencana untuk menikah lagi. Jadi silahkan kamu keluar dari rumah saya," Anisa tidak ingin amarahnya mencuat. Sudah cukup baginya melihat Nela dalam waktu satu detik saja

Nela tertawa, yang malah membuat Anisa rasanya lebih kesal lagi

"Kata siapa? Bagaimana pun, Satria pasti akan menikahi saya. Jadi saya minta kamu dan Saya harus akur, karena kita akan menjadi istri dari suami yang sama."

Persetan, dengan apa yang wanita itu katakan. Karena menurut Anisa. Nela hanyalah orang yang tidak tahu diri. Satria sudah keras menolak untuk menikah lagi, tapi lihat kelakuan Nela. Seperti tidak ada malunya

"Oh iya. Kamu tidak bisa mengelak apapun lagi keputusan ini. Karena saya diminta langsung oleh tante Ratna dan bang Fahmi. Jadi, saya harap hubungan kita tetap baik-baik saja ya," dengan segan, Nela menepuk bahu Anisa pelan

Tidak tahu saja, jika Anisa sekarang sedang menaruh benci kepadanya. 

"Sampai ketemu lagi, ya," Nela tersenyum, yang menurut Anisa. Senyum itu menjengkelkan sekali

Dan, tanpa diusir Nela beranjak sendiri keluar dari rumahnya. Meninggalkan segala jejak tidak tahu dirinya, dihadapan Anisa. 

Setelah benar-benar tubuh Nela lenyap, dari pandangannya. Anisa dengan sisa tubuhnya  seketika saja melemas  ambruk ke atas sofa. Mengatur nafasnya yang terasa memburu, akibat dari menahan rasa kekesalannya. 

"Dasar wanita gila!" umpatnya

lalu kemudian Anisa merasa kepalanya pening "Dia juga bawa ibu sama bang Fahmi," decaknya prustasi

Anisa pikir dirinya tidak memiliki siapapun lagi, yang akan mendukungnya. Jika begitu, Anisa takut jika dirinya akan kalah. 

sementara, Anisa sendiri tidak mau Satria menjadi milik orang lain, Anisa hanya menginginkan Satria menjadi miliknya seutuh-utuhnya. 

***

"Kamu sudah bertemu dengan Anisa?" tanya Ratna, ditengah meminum tehnya bersama Nela di taman belakang rumahnya. 

Anisa mengangguk. Yang langsung dibalas dengan senyuman senang dari Ratna, seolah dia sangat puas dengan apa yang dilakukan oleh Nela

"Terus bagaimana reaksi dia?"

Untuk sesaat Nela, menyimpan kembali cangkir tehnya ke atas meja "Sepertinya dia cukup terkejut. Dan aku yakin, sekarang dia pasti lagi merasa takut karena gak punya siapa-siapa lagi yang mendukungnya."

"Bagus kalo gitu. Sekarang yang paling penting, kamu harus buat Satria meluluhkan hatinya sama kamu."

"Gampang."

"Kamu sudah punya rencana?"

Nela mengangguk, dengan senyuman khasnya yang terlihat licik! persis seperti nenek sihir yang sudah mengalahkan mangsanya 

"Aku akan jadi sekretarisnya Satria, aku juga sudah bilang sama bang Fahmi, dan dia setuju. Dia juga akan bantu, supaya aku bisa masuk kerja dikantornya Satria."

Dengan menjadi sekretaris untuk Satria, bukankah nanti akan membawa Nela ke dalam lubang pendekatan dengan Satria.Dan Nela berharap Satria akan bisa jatuh ke dalam lubangnya sampai tidak bisa kembali lagi.

Lagi-lagi Ratna tersenyum puas "Memang ibu gak salah pilih menantu."

Nela tergelak "Tenang saja bu, nanti saya akan berikan apa yang perusahaan butuhkan."

"Ya, ibu percaya. Kamu pasti bisa ngasih keturunan pewaris yang baik."

***

Di dalam ruangannya, yang memiliki arsitektur mewah itu terdapat sosok Satria dengan setumpuk berkas yang mesti dia kerjakan.

Sebagai pemimpin perusahaan, tentu menjadikan Satria menanggung banyak beban. Hari-harinya pasti selalu ada yang membuatnya lelah dan ingin menyerah dalam hidupnya. Tapi, Satria memiliki penawarnya di rumah, yaitu Anisa istrinya. 

menikah dengan wanita itu, adalah pilihan yang tepat selama hidupnya. Dan Satria pikir, tidak ada lagi wanita yang mampu mengantikan poisisi Anisa dihidupnya. 

Ponselnya berdering, dan Satria sedikit menukik heran, saat mendapati sambungan itu dari asiseten rumah tanggnya --Yati .

Tanpa mengurangi sedikit rasa pengabaian, Satria mengangkat telpon itu dan langsung mendengar suara Yati yang cemas, itu membuat Satria bertanya-tanya dalam hati yang panik juga. 

"Ada apa?"

"Pak, ibu pingsan di rumah. Tadi Saya sudah--"

"Saya pulang sekarang."

Gerak cepat, Satria langsung menyambar jasnya dan meninggalkan setumpuk pekerjaannya yang belum rampung. Tidak perduli. Bagaimana pun Anisa lebih penting dari setumpuk berkas itu. 

Saat membuka pintu, Satria disuguhkan oleh sekeretarisnya --Monika sepertinya dia akan mengatakan sesuatu hal yang penting kepada Satria. 

Tapi keadaan Satria yang terburu-buru membuat Monika terabaikan. 

"Tolong kamu, bereskan berkas yang belum saya kerjakan. Saya harus pulang."

"Baik pak. Sebelumnya ada yang mau saya bicarakan."

"Besok saja, saya buru-buru."

Satria berlari, meninggalkan Monika dengan menghela napasnya pasrah. Padahal apa yang akan dikatakannya sangat penting, tapi keliatannya ada yang begitu penting bagi satria ketimbang kabar pemindahan kerjanya ke kantor cabang di Bandung. 

Monika juga terkejut, saat mendapati perintah dirinya untuk bekerja di kantor cabang. Monika sih sebenarnya senang-senang saja, sebab Bandung adalah kota asalnya.

***

Dengan tergopoh-gopoh Satria sampai pada rumahnya, menaiki tangga untuk sampai pada kamarnya. Saat membuka pintu, Satria bisa melihat Anisa yang terbaring lemah diatas ranjang

Melihat pemandangan itu, justru membuat Satria putus asa. 

"Kenapa, kok bisa pingsan?" Satria bertanya kepada Yati, yang kebetulan ada disisi Anisa 

"Tadi ibu sempat nerima tamu. Tapi setelah itu, ibu keliatan banyak pikiran banget. Mungkin ibu pingsan karena banyak pikiran itu,pak," Yati sendiri sudah sangat mengerti, jika kondisi tubuh Anisa memang mudah sakit

"Sudah periksa ke dokter?"

Yati menggeleng "Ibunya gak mau, tadi saya sudah bilang buat panggil dokter aja, tapi ibu minta buat saya telpon bapak buat pulang."

Dari penjelasan Yati, Satria menjadi mengerti jika saat ini yang dibutuhkan Anisa bukanlah obat dokter tapi dirinya. 

"Yasudah, makasih."

"Sama-sama pak. Saya permisi dulu," Yati undur diri, karena tugasnya sudah selesai, dia kembali ke dapur untuk bekerja. 

Suara pintu yang tertutup terdengar, itu tandanya Yati sudah benar-benar keluar dari kamarnya. Dan, itu juga mengatarnya ke dalam keadaan yang sunyi. Hanya terdengar suara alunan napas Anisa yang menderu tenang

Satria menghela napasnya, menatap sang istri dengan pandangan penuh perhatian. Melihat Anisa terkulai lemas seperti ini, Satria entah kenapa selalu merasa bahwa itu adalah kesalah dirinya. 

Saat sedang menatap kedua manik mata Anisa yang terpejam, Satria begitu saja melengkungan senyumannya ketika mendapati Anisa yang membuka matanya. 

"Aku ada disini," katanya lembut, yang saat ini mampu membuat Anisa tersenyum ditengah kelemahannya

Anisa bernafas lega, saat mendapati satria yang duduk disampingnya, dengan kemeja putih kerjanya yang masih melekat pada tubuhnya. Dari situ, Anisa bisa tahu, jika Satria baru saja tiba dari kantornya

"Maaf, sebenarnya aku gak mau ganggu kamu kerja, tapi aku butuh kamu.”

kadang ada kalanya Anisa membiarkan dirinya egois, hanya untuk membuat Satria bersamanya, meski Anisa sangat tahu, jika tidak selamanya Satria terus berada disampingnya, karena ada perusahaan yang harus diurusinya. 

Tapi anehnya, Satria tidak mempermasalahkannya, Satria malah seakan membiarkan raganya digeggam terus menerus oleh Anisa. 

"Kamu lebih penting dari apupun,Nis bagi aku," kata Satria, seraya membawa Anisa ke dalam rengkuhannya. 

"Kenapa, ada masalah?"

"Tadi Nela ke rumah, dia bilang kamu dan Nela akan tetap akan menikah."

Dari penjelasan itu, Satria paham, jika kenapa Anisa seperti ini. 

"Kamu tahu kan, kalo banyak pikiran kesehatan kamu suka menurun. Jadi jangan buat diri kamu sakit,Nis. Kamu gak perlu khawatir, karena aku akan tetap selalu sama kamu, meski semua orang bilang aku harus nikah lagi."

Dalam hangatnya rengkuhan Satria, Anisa menangis. Seperti memberitahukan bahwa dirinya benar-benar takut

“Tapi mas, Nela bilang dia punya ibu sama bang Fahmi yang mendukung.Aku takut, kalo suatu hari nanti apa yang mereka rencanakan akan tetap terjadi.“

Disini Satria juga sama rapuhnya, jika harus dibandingkan Satrialah yang paling rapuh hatinya. Sebab dia yang paling mencintai Anisa seutuh hatinya

“Aku juga takut,Nis.“

Mendengar lirihan Satria, membuat Anisa semakin tidak yakin akan kekuatan cintanya lagi

“Terus kita harus gimana,Mas?“

Satria menggeleng, sebab dirinya juga tidak tahu lagi apa yang mesti ia perbuat. Ibu dan juga Fahmi sangat kekeh sekali, tidak mungkin jika Satria melawannya sendirian. Bisa jadi hanya akan melukai dirinya sendiri

“Kita harus saling percaya saja ya. Apapun yang terjadi kamu harus percaya sama aku.“

Anisa mengangguk 

Meski memiliki ketakutan yang teramat mendalam, untuk saat ini hatinya bisa cukup merasa tenang. Anisa tahu, ini semua karena cinta yang sama-sama dimilikinya

Next---

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status