Share

Bab 5 : Ibu Membawa Calon Untuk Saya

Entah mimpi apa semalam, hari ini Satria di datangi lagi oleh ibunya. Yang lebih parah, kini wanita itu membawa seseorang. Yang Satria tidak mengenalinya. Perempuan itu hanya tersenyum manis di samping Ratna, sesekali melirik ke arah Satria dengan pandangan yang penuh harap, jika boleh jujur Satria benci tatapan perempuan itu

“Kenalkan ini Nela, anaknya teman ibu,” Ratna membuka suara, yang membuat perempuan di sebelahnya unjuk keberadaan dengan mengulurkan tangannya kepada Satria.

Satria geming, menatap uluran tangan itu sampai akhirnya dia membalasnya, sebab tidak ada pilihan lain

“Nela,” perempuan itu lebih dulu menyebutkan namanya

Barulah disusul oleh Satria “Satria,” setelah itu Satria buru-buru melepaskan tautan tangannya

“Jadi maksud ibu apa, bawa Nela kemari?”

Hawa-hawanya sudah bisa dihirup tidak enak, Satria bisa bertaruh jika ibunya ini bermaksud untuk mendekatkan dirinya dengan wanita itu.

“Ibu sudah bilangkan, kalo kamu harus menikah lagi.”

Satria hanya menghela napasnya prustasi. Bukankah dirinya sudah bilang jika tidak mau.

“Bu, Satria tidak mau.” Dan Satria sekarang bisa mengetahui, maksud sang ibu membawa Nela kemari. Dia akan menjodohkannya dengan wanita itu

“Satria. Apa kamu tidak memikirkan masa depan perusahaan keluarga?”

“Satria bisa tanggung sendiri bu.”

“Tidak. Ini juga tugas ibu, jadi inilah keputusan ibu kamu harus terima.”

Sungguh Satria pikir kenapa ibunya bertindak konyol seperti ini. Apa dia tidak memikirkan bagaimana perasaan Anisa.

“Satria gak bisa bu harus menduakan Anisa.”

Sang ibu mendengus “Apa yang kamu harapkan lagi dari wanita itu. Kamu harus punya keturunan, dan Anisa sampai sekarang belum juga bisa mengandung anak kamu!”

“Bu, Anisa pasti akan hamil, tunggu saja.”

“Sampai kapan? Ibu sudah tua, kamu mau biarin ibu meninggal lihat kamu belum juga punya anak? Begitu?”

Rasanya sudah lelah, berkata dengan ibunya sendiri yang kekeh memintanya untuk menikah lagi. satria paham maksud sang ibu hendak ingin membuat dirinya cepat mempunyai keturunan, tapi menurut Satria cara itu salah, jadi dia segan untuk menolak.

“Biar ibu yang bilang langsung sama Anisa. Kamu gak usah khawatir.”

Dengan begitu saja, mampu membuat Satria melotot “Satria gak mau bu. Satria gak mau menikah lagi, titik!” setelah mengucapkan keinginannya, Satria yang sudah tidak tahan lagi dengan rasa kekesalannya itu berlalu pergi begitu saja, keluar dari ruangannya

“Satria mau kemana kamu, ibu belum selesai bicara?!”

Teriakan itu tidak di respon oleh satria, laki-laki itu tetap pada pendiriannya untuk meninggalakan ruangan.

Ratna menghela napasnya. Kemudian pundaknya mendapati sentuhan halus dari tangan Nela, wanita itu tersenyum “Sudah bu, jangan dipaksa nanti urusannya akan lebih berantakan lagi.”

“Kita bisa buat Satria meluluh dengan cara yang lain,” Nela memberi saran.

Sebenarnya Ketimbang Ratna yang antusias ingin menikahkan putranya bersama Nela. Nela sendiri lebih antusias, bagaimana tidak seorang Satria yang gagah dan mapan itu tidak meluluhkan hatinya.

Ratna menoleh, dan mendapati sepasang mata penuh keyakinan dari Nela “Kamu mau berusaha?”

Nela mengangguk, sebelumnya dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya “Bukannya aku sudah bilang bu, kalo aku benar-benar sangat mencintai Satria? Maka dari itu aku bersedia berusaha untuk meluluhkan hatinya.”

Nela sendiri sebenarnya tidak masalah jika rencana pernikahannya sedikit lambat, sebab dia tahu, Satria bukan tipe laki-laki yang mudah untuk termakan rayuan, untuk itu dia akan membuat Satria jatuh ke dalam pelukannya.

Nela pikir, ini adalah kesempatan bagus untuk menjadi seorang istri dari Satria, meski hanya dijadikan istri kedua.

***

Di sinilah Satria berada, diruangan kakaknya. Terlihat Fahmi sedang meletakan secangkir kopi untuk adiknya. Kemudian membuka suara “Jadi ibu bawa perempuan untuk kamu nikahi lagi?”

Satria menangguk. Fahmi bisa melihat bagaimana rasa prustasinya Satria. Dia sangat tahu, jika adiknya ini sangat tidak mau menikah lagi

“Bagus dong.”

Jawaban itu mampu membuat Satria melotot, ternyata ibu dan kakaknya sama saja

“Kalian sama saja rupanya!”

“Itu Nela kan?”

“Abang tahu?”

Fahmi mengangguk “Abang yang sarankan dia untuk jadi istri kedua kamu. dia anaknya om Tomi, sahabat bapak. Ternyata anaknya juga mau sama kamu, jadi abang pikir Nela cocok.”

Rasanya Satria ingin menyumpal mulut itu dengan apapun, asal tidak bersuara lagi. hatinya kini sepenuhnya sudah merasa kesal. Niatnya dia datang kemari, untuk mencari pembelaan. Tapi ternyata salah, abangnya sama saja dengan ibu

“Sampai kapan pun saya gak mau menikah lagi!” kata Satria dengan bersungguh-sungguh

“Kalo begitu, cepat punya anak. Kalau bisa dalam waktu dekat ini.”

Persetan dengan kata kakaknya itu, Satria sudah enggan mendengar apapun lagi dari fahmi maupun ibunya.

Mereka benar-benar berubah menjadi manusia yang pemaksa. Satria pikir mereka hanya memikirkan perusahaan, tidak dengan Anisa.

***

Di dalam rumah besar yang nampak lengang karena hanya ditinggali oleh tiga orang saja. Anisa,Satria dan satu asisten rumah tangganya Yati.

Memang rumah ini sudah sangat meminta untuk menghadirkan sosok anak kecil, tapi lagi-lagi Anisa mesti di timpa kabar buruk lagi, jika program kehamilannya gagal.

Alih-alih menjadi seorang ibu, Anisa memilih untuk disibukan dengan kegiatannya di rumah seperti menanam tanaman, membuat berbagai macam kue,dan banyak membaca buku.

Tadinya Anisa meminta Satria untuk membuatkannya toko kue. Tapi Satria menolak, karena tidak ingin Anisa nantinya kelelahan, dan berujung sakit, karena sebenarnya Anisa tipe orang yang mudah sakit, jika kecapean.

Kali ini Anisa sedang membereskan lemari suaminya. Anisa selalu dibuat aneh sekaligus mendecak sendiri, karena lemari Satria selalu akan tampak berantakan padahal nyaris setiap hari Anisa merapihkannya.

Di tengah kesunyiannya, pintu kamar terbuka, menampilkan Satria dengan wajah lelahnya.

Anisa lantas terseyum hangat. Inilah yang Satria suka kepada Anisa, wanita itu selalu bisa menjadi penawar bagi rasa lelahnya

“Tumben pulang cepet,” Anisa bersuara seraya mengambil alih, tas kerja dan jas hitam dari tangan Satria

Laki-laki itu tersenyum, mulanya merasa lelah, kini hanya dengan melihat wanita yang sangat dicintainya lelah itu seakan lenyap

“Kebetulan lagi gak banyak kerjaan.”

“Oh gitu. Terus sekarang mau langsung mandi, apa makan dulu?”

“Enaknya sih peluk kamu dulu,” kata Satria dengan wajah merayunya

Anisa terkekeh “Mandi dulu, badan kamu kotor.”

Satria pasrah, sebab tubuhnya di tepis begitu saja oleh Anisa saat dia baru saja merentangkan tangannya.

Kemudian sepasang kakinya melangkah menuju kamar mandi.

Tanpa sepengetahuan Anisa jika Satria sedang menekuk wajahnya sedih. Bukan karena Anisa menolak untuk dipeluk, tapi karena mengingat permintaan sang ibu.

Melihat bagaimana Anisa tersenyum manis seperti tadi, membuat hatinya beribu-ribu kali lipat tidak ingin melihat hati Anisa menangis.

Seiring tubuh Satria yang lenyap dibalik pintu kamar mandi, Anisa melanjutkan lagi merapihkan pakaian suaminya. Meletakannya kembali ke dalam lemari.

“Sayaangg...”

Anisa menoleh cepat ke arah kamar mandi, dan mendapati suaminya yang menyembulkan kepalanya, untuk sesaat Anisa tertawa melihat kekonyolan Satria “Apa?”

“Tolong cukurin kumis aku dong!”

Lagi Anisa tertawa, kali ini dengan perlakuan Satria yang kadang seperti anak kecil padahal umurnya sudah menginjak angka 35 tahun

Dengan begitu Anisa melangkah, menuruti permintaan sang suami. Anisa tidak pernah menolak apapun yang Satria inginkan dia akan layani.

Kini keduanya duduk di kursi kecil. Menghadap satu sama lain. Anisa yang fokus mencukur kumis suaminya, dan Satria yang sedang menikmati bagaimana pergerakan tangan Anisa diatas dagunya.

“Kayanya minggu kemarin baru aku cukur deh, tapi sekarang udah tumbuh lagi,” suara Anisa

Satria tersenyum kuda “Maaf.”

Anisa menukik heran “Maaf kenapa? Untuk segala hal lagi?” kemudian Anisa terkekeh

Satria menggeleng “Ya, buat kamu terus nyukurin kumis aku. Pasti kamu cape.”

Dan lagi Anisa tertawa “Apaan sih, cuman perkara cukur kumis doang.”

“Kamu gak risih?”

Anisa menggeleng, kemudian tersenyum cerah, menatap suaminya. Seperti mengisyaratkan bahawa dirinya benar-benar tidak keberatan dengan hal ini.

Satria tertegun, dalam hatinya seakan terus menguar bahwa dirinya benar-benar selalu dibuat jatuh cinta oleh Anisa. Setiap harinya, sifat Anisa yang lembut seakan memiliki energi untuk menambahkan rasa cinta di dalam hati Satria

Untuk sesaat, kini keduanya terdiam. Hanya menyuarakan suara alat cukuran kumis yang bergesekan dengan dagu Satria, merontokan bulu-bulu kecil itu ke atas lantai kamar mandi yang dingin.

Keduanya saling terdiam. Dalam keterdiaman itu, jelas mereka seperti sedang menyimpan suatu hal yang besar. Sampai Anisa menyuarakan hatinya terlebih dahulu

“Mas?”

“Heem?”

“Sebaiknya kamu terima wanita itu.”

Sesaat, hati Satria melonjak tinggi, berdegup kencang dengan hanya mendengar perkataan itu. Satria jelas tahu kemana pembicaraan itu menuju

“Ibu udah bilang sama kamu?”

Anisa mengangguk, tapi dengan sorot wajah yang Satria ketahui itu sorot wajah yang putus asa.

“Gak akan aku terima, Nis. Sampai kapan pun!”

Dan bodohnya Anisa malah bertanya “Kenapa?”

“Ya karena aku masih mencintai kamu. aku hanya ingin kamu yang jadi istri aku.”

“Tapi,Mas. Perkataan ibu itu benar.”

“Perkataan yang mana?!”

Satria jelas sedang kesal, Anisa tahu. Untuk itu dia menahan napasnya sesaat hanya untuk menerima kemarahan Satria, dengan pernyataannya yang konyol. 

“Karena kita belum juga bisa punya anak, dan aku harus menikah lagi, untuk mengatasi masalah itu?” Satria mendengus pelan “Gak ada satupun perkataan ibu yang benar. “

Sejauh ini Anisa sudah cukup sadar diri. Dirinya yang merupakan gadis biasa tanpa pangkat dan kasta tinggi, mendapatkan hal besar dari sosok Satria.

Membuatnya merasa belum mampu untuk mengasihi lelaki itu dengan setimpal,maka dari itu dia menguatkan hatinya untuk berpasrah diri, membiarkan Satria untuk menikah lagi. karena dengan itu, Satria bisa mendapatkan sebuah keturunan yang harus sekali dia dapati. 

“Mas tapi aku beneran gak pa-pa.”

“Aku yang gak pa-pa,” jawab Satria cepat

“Dengerin aku,” Satria menangkup wajah sang istri, agar bisa menatap sepasang manik Anisa dengan lebih mudah “Bagi aku, kamu adalah wanita yang sudah cukup membuat aku bahagia. Gak ada yang lain. Dan aku yakin, kita bisa,Nis. Kita bisa punya keturunan, kamu jangan khawatir.”

Anisa melenguh, merasa apa yang dikatakan dirinya itu sangatlah salah, yang malah membuat Satria tidak baik-baik saja.

“Maafin aku,” katanya lirih

“Jangan kaya gini lagi ya? Aku gak suka.” Yang dibalas anggukan dari Anisa

Setelah itu Satria membawa Anisa ke dalam pelukannya, “Cuman kamu wanita aku satu-satunya. Kamu jangan coba-coba buat nyuruh aku punya wanita lain lagi, karena jelas aku gak bisa.”

“Maafin aku,mas. Juga terima kasih, karena sudah menerima aku apa adanya, walaupun selama ini aku belum bisa ngandung anak kamu.”

Satria mengangguk, benar-benar tidak mempersalahkan hal itu, tangannya yang halus membelai surai Anisa. Seakan meminta Anisa untuk lebih kuat lagi ke depannya, karena Satria yakin, besok atau hari-hari yang akan datang, pasti akan ada masalah yang lebih besar lagi yang harus mereka hadapi. Ini baru permulaannya saja.

next---

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status