Juwi sudah memakai kebaya bertudung hijab yang menutupi kepalanya. Hiasan rangkaian bunga melati menambah anggun wajah Juwi. Hiasan yang natural, membuat Juwi tampak cantik dan mempesona. Juwi beberapa kali melotot melihat dirinya di cermin, beberapa kali menyeringai, cemberut kemudian tertawa.
Tampak aneka ekspresi yang ia lakukan, tetap saja wajahnya cantik dan ayu. Persis artis korea yang sedang dipakaikan kebaya pernikahan. Ibu masuk ke kamar Juwi.
"Sudah siap?"
"Sudah, Bu. Ini ... mmm ... Juwi deg-degan," ucap Juwi sambil menggenggam tangan ibunya. Bu Nur mengusap kedua tangan Juwi.
"Ga papa, wajar jika kamu merasa deg-degan. Pertama kamu akan malam pertama lagi, setelah dua bulan dilockdown. Kedua, kamu harus siap bertemu dengan mertua kesayangan kamu. Siap-siap dicakar," bisik Bu Nur menakut-nakuti Juwi.
"Yaah, Ibu kok gitu? Alesan keduanya bikin Juwi mules nih," rengek Juwi memegang perutnya yang tiba-tiba keram.
"Alesan
Bu Dewi sedang duduk di sofa depan televisi, saat ponselnya berdering, tanda pesan masuk. Suaranya cukup nyaring membuat Sarah yang duduk tidak jauh dari sana ikut menoleh."Mah, HP-nya tuh!" ekor mata Sarah tertuju meja dapur, tempat Bu Dewi meletakkan ponselnya."Iya," sahut Bu Dewi, sambil bangun dari duduknya, berjalan ke dapur.Matanya menatap serius ponsel mahal berlogo apel segigit. Memencet kode layar, lalu membuka pesan gambar yang masuk.Besan Bu LaniNama yang tertera di sana. Namun tanda loading masih berputar. Bu Dewi kembali duduk di sofa."Siapa, Mah?" tanya Sarah penasaran."Mamanya mantan kamu.""Mama Mas Devit, Mah?" pekik Sarah tertahan, wajahnya gembira. Saat mengetahui mamanya dan mama Devit masih berkomunikasi dengan baik."Iya, ini kirim gambar, tapi muter terus. Sinyalnya jelek nih!""Gambar apa, Mah?""Ga tau juga Mama. Paling gambar tas, Mama Devit'kan juala
"Sedang apa, Pa?"Pak Aryo menoleh, dengan wajah bingung."Sepatu papa ga ada, Bu.""Ada tuh, tadi ibu pakai ke warung!" sahut Bu Nur dengan polosnya. Ia meletakkan bungkusan di atas meja kitchen set.Pak Aryo terkekeh."Walah, ga anak, ga istri, ga mantu. Senang banget sih pake sendal atau sepatu Papa.""Sendal Ibu ketinggian, jadi pinjem sepatu Papa tadi," sahut Bu Nur sambil menyeringai. Pak Aryo hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah istrinya."Ibu sampe diliatin orang, siang-siang pake gamis beling-beling kondangan tapi sepatunya bapak-bapak, kebesaran lagi! Hampir tertinggal tadi saat ibu melangkah," kekeh Bu Nur kembali mengingat hal baru saja ia alami."Sepatu apa batu sih, Pa? Berat bener!""Iya itu makanya, Papa sengaja beli sepatu baru yang berat, biar gak ada yang ambil, eeh...masih kecolongan juga." Pak Aryo terbahak."Ini yang bikin aku gak bisa mo
"Mama!"Semua orang yang hadir di sana menoleh kaget ke asal suara menggelegar milik Pak Aryo, mereka saling pandang dan bertanya-tanya, apa kiranya yang terjadi?."Wanita ini memang kurang ajar!" teriak Bu Dewi lagi, sambil terus menarik tangan kiri Bu Nur, sedangkan Pak Aryo menahan tangan Bu Nur yang sebelah kanan."Lepaskan tangan ibu saya!" suara Juwi terdengar lantang dengan kebaya yang ia gulung sampai pinggang, rok batik juga terangkat sampai lutut. Wajah Juwi terlihat memerah, di sampingnya ada Devit yang mencoba menahan.Plaaakk!Sebuah tamparan mendarat di pipi Bu Nurmala, semua tercengang. Termasuk Pak Aryo yang syok. Di luar kendalinya, tiba-tiba tangan Bu Dewi melayang ke pipi Bu Nurmala."Sarah, bawa mama pulang!" Pak Aryo mencoba menahan amarahnya dengan menatap tajam Sarah. Pak Aryo menarik Bu Nurmala kencang, hingga berhasil lepas dari cengkraman Bu Dewi."Papa selingkuh, Papa jahat! dan wanita tua
Rumah Devit telah sepi, tersisa Pak Aryo, Bu Nur, dan Salsa. Pak RT dan Bu RT juga telah kembali ke rumahnya. Pak RT akhirnya memakai sendal Pak Aryo, karena kebenaran ukuran kaki mereka sama. Pak Aryo meminta maaf kepada Pak RT karena sudah membuat tidak nyaman dengan insiden Juwi, beserta hilangnya sendal Pak RT. Apalagi Pak RT bercerita silsilah sendal tersebut."InsyaAllah, saya minggu depan mau ke Jepang, Pak. Nanti saya gantikan ya, Pak," ucap Pak Aryo benar-benar merasa tidak enak."Wah jadi ngerepotin nih Pak Aryo, gak usah Pak. Jadi ga enak saya.""Ga papa Pak. Jangan sungkan! Maaf karena acara saya sendal bagus Bapak jadi hilang.""Eh, beneran Pak Aryo ga usah!" Pak RT masih menolak."Ya sudah kalau begitu.""Tapi, kalau ada warna hitam sih, boleh deh! tapi kalau tidak ada, coklat juga boleh." Pak Aryo dan Pak RT akhirnya tertawa bersama, mereka bersalaman, sebelum keduanya pamit pulang.Pak Juna dan Dewo juga su
Sarah termenung di kamarnya setelah semalam, dia mendengar kisah lama kedua orang tuanya. Ia cukup terkejut dengan kenyataan bahwa mamanya merebut papanya dari ibu Juwi dengan cara yang tidak baik. Kedua matanya berkaca-kaca, mungkinkah ia yang mendapat balasan dari kesalahan masa lalu ibunya? Berulang kali ibunya meminta maaf kepada Sarah dengan air mata yang tak berhenti mengalir semalaman.Sarah menemani mamanya tidur di kamar, tak sampai hatinya melihat ibunya yang sedih semalam. Sarah membalikkan tubuhnya menjadi terlentang, menatap langit kamar yang sepi. Ada dua ekor cicak berkejaran, entah apa yang mereka perebutkan? Mata Sarah kunjung beralih dari sana. Tangannya tanpa sengaja menyentuh ponsel. Tiada pesan masuk dari siapa pun. Bahkan dari suaminya, tak ada pesan apapun sejak dua hari yang lalu. Ia menatap hampa ponselnya, wajahnya seketika sendu.Tumben, pikirnya. Ia melihat kontak ponsel suaminya, kontak yang ia tulis dengan nama Nyebelin. Ih nga
Devit menggandeng tangan Juwi saat keluar kamar. Juwi sudah memakai pakaian rapi, celana kulot warna coklat, dipadu padankan dengan kemeja motif bunga bewarna abu."Mau ke mana kalian?" tanya Bu Nur keheranan, karena melihat Devit dan Juwi sedikit tergesa."Mau ke kantor polisi, Bu," sahut Devit sambil mencari sesuatu di samping lemari dapur. Juwi tengah menghampiri Salsa di ruang TV."Hah? emang Sarah sudah di ...""Iya, Bu. Sudah, ini Devit dan Juwi mau ke sana.""Bang, ayo." Juwi menghampiri Devit yang tengah berbincang dengan ibunya."Wi, kamu jangan perpanjang masalahnya ya, Wi. Bagaimana pun, Sarah adalah kakak kamu," pesan Bu Nur dengan raut wajah khawatir."Lihat saja nanti, Bu," sela Devit, sambil mencium punggung tangan Bu Nurmala. Bu Nurmala hanya menghela nafas panjang. Sungguh ia tidak ingin bermusuhan dengan siapapun. Namun, entah kenapa? Sedari dulu, ada saja yang tidak suka dengannya, bahkan sam
****Sarah tak mampu memasukkan nasi soto itu ke dalam mulutnya, semuanya hambar dan sakit. Seperti hatinya yang kini enggan, tatkala sang suami akan mengantarnya kembali ke rumah kedua orangtuanya. Kenapa aku harus bersedih?bukankah ini yang aku inginkan, lepas dari Jono selamanya. Tapi kenapa sakit sekali rasanya.Mereka makan saling berhadapan tanpa memgeluarkan suara, Jono juga berusaha dengan keras, agar nasi dapat masuk ke dalam mulutnya. Namun tiada rasa saat menyentuh lidahnya."Makanlah yang cepat, taruh saja piringnya di sana! tidak usah dicuci!" titah Jono sambil meletakkan sendok di atas piring. Acara makan ia sudahi dengan sedikit gusar."Ah, iya. Saya lupa. Kamu bahkan tidak pernah mencuci piring di rumah ini," sindir Jono meninggalkan Sarah yang sudah banjir air mata.Selama dua bulan lebih bersama Jono, ia tersadar. Tak ada pekerjaan rumah yang ia lakukan dengan baik. Mencuci dan setrika selalu ke laundry,
Happy reading~Sarah membuka matanya pelan, sayup-sayup ia mendengar suara orang sedang bercakap-cakap. Namun rasa sakit di kepalanya masih sangat kuat, hingga ia memejamkan matanya kembali. Sambil mencoba mengingat hal yang terakhir terjadi padanya.Ah, ya. Suaminya pergi meninggalkan rumah, tepat ia jatuh terjerembab di ruang tamu. Sarah mencoba kembali membuka matanya secara perlahan, namun yang ada rasa sakit di kepala dan rasa mual di perutnya."Sarah, kamu sudah sadar Nak!" Bu Dewi tersenyum tipis, sembari mengusap lembut lengan Sarah."Sarah di mana, Ma?""Kamu di rumah sakit. Mama menemukanmu tadi pagi, pingsan di atas karpet. Tidak ada Jono disana. Apa yang terjadi Sar?"Mata Sarah kini mengabut kembali, tetes demi tetes air matanya turun membasahi kedua pipinya. Ia sudah ditinggalkan oleh suaminya, dadanya terasa terhimpit batu karang. Sakit sungguh sakit, namun ia tidak mampu mengucapkan rasa sakit