"Aku senang kau kembali, Athena. Bagaimana apakah mereka masih bersikeras?" Ansel bertanya saat ia menemui Athena di kedai kopi miliknya itu. Lelaki itu tersenyum lembut, tatapan matanya begitu teduh dan hangat. Cukup lama Athena menatap Ansel, wanita itu terlihat mengamati dengan begitu jeli. Ansel melambaikan tangannya di depan wajah Athena, membuat wanita itu berkedip. "Oh, ya. Aku belum tahu soal itu," kata Athena terkejut."Oh, aku kira kau membawa kabar baik, Athena. Sejujurnya aku juga cemas memikirkan tentang itu." Ansel menatap ke luar kedainya, di mana dari sana terlihat beberapa kedai yang menjual aneka makanan khas. "Aku mencemaskan mereka, Athena. Tidak mudah untuk memulai semua itu.""Aku tahu, sebenarnya aku juga sudah berusaha, namun belum ada jawaban." Athena kembali menatap Ansel, sepertinya ia mulai yakin kalau mereka orang yang berbeda. Thanos tak akan bicara selembut itu, apalagi sampai memikirkan nasib orang lain."Ansel, apakah kau memiliki saudara kembar?"Pe
"Maafkan sikap Ciara, Athena. Aku tidak menduga dia akan seperti itu. Biasanya dia bersikap manis, kuharap kau tidak membencinya." Ansel mengatakan itu dengan menyesal.Athena menggeleng sembari tersenyum kecil, "Aku tidak masalah dengan itu, jangan khawatir. Mungkin dia tidak terbiasa dengan tamu wanita di rumah. Lagipula ini memang terkesan aneh. Kita baru saja saling mengenal dan kau mengundangku untuk makan siang di sana. Seharusnya aku lebih tahu diri. Aku minta maaf, Ansel.""Tidak, jangan begitu. Ciara...entahlah apa yang ada di dalam kepalanya sampai ia mengatakan hal seperti itu. Tapi sebenarnya dia gadis yang menyenangkan, Athena. Aku benar-benar tidak enak hati karena ini. Kuharap kau tidak keberatan untuk makan siang denganku lagi." Ansel menatap Athena dan wanita itu cukup terkejut dengan tawaran Ansel. makan siang dengannya lagi? "Kau mau, kan?" kata Ansel lagi. "Ehm, itu...""Katakan saja di mana kau tinggal, aku yang akan mengunjungimu. Itu kalau kau tidak keberatan.
"Dia belum kembali?" Thanos menatap ke dalam ruang kerja Athena, meja wanita itu terlihat kosong. "Ya, Tuan Thanos. Athena mengajukan cuti untuk beberapa hari. Apakah anda ingin saya memanggilnya?" Tanya Jane yang merasa hal ini tak biasa. Thanos bukanlah tipe atasan yang akan menemui bawahannya seperti ini. "Tidak, aku hanya ingin memastikan apakah dia sudah kembali. Dan kau..." "Ya?""Maksudku, apakah kau tahu sesuatu tentang Athena?" Thanos terlihat gugup saat mengatakan itu, membuat Jane menautkan alisnya. "Tentang apa, Tuan? Apakah Athena melakukan kesalahan?" Jane menatap Thanos, rasa penasaran wanita itu terlihat begitu jelas. "Bukan itu. Tapi..." Thanos berhenti, ditatapnya Jane sesaat. "Tidak, bukan apa-apa." Lelaki itu melangkah ke luar begitu saja, meninggalkan Jane yang masih menatapnya bingung. "Ada apa dengannya? Athena pasti melakukan sesuatu sampai Thanos turun tangan sendiri mencarinya. Oh, ternyata aku tidak tahu apa-apa di sini. Wanita itu diam-diam menyembun
Ansel mendekati ibunya, yang saat itu sedang duduk di teras rumah sambil membuat adonan kue. Hari ini mereka akan kedatangan tamu, teman jauh yang diharapkan bakal menjadi besan. Sudah lama mereka tidak bertemu, karenanya sang ibu ingin membuat sesuatu yang istimewa dengan tangannya sendiri. "Apakah mereka jadi datang?" Tanya Ansel memperhatikan tangan terampil ibunya saat mengadon."Tentu saja, nanti malam mereka tiba. Perjalanannya cukup jauh, memakan waktu hingga beberapa jam untuk sampai ke rumah ini. Memangnya kenapa?" Ibunya bertanya tanpa melihat Ansel. "Jangan katakan kau mau pergi, kau harus bertemu mereka dan membantu ibu. Ayahmu mungkin akan pulang terlambat, dia selalu sibuk," gerutu ibunya.Ansel tersenyum, "Dia sibuk untuk memenuhi kebutuhan di sini, kan? Jangan marah, Mom. Aku tidak akan ke mana - mana. Aku juga ingin melihat siapa calon suami Cia.""Calon suami? Mom berharap begitu, tapi apakah mereka akan berjodoh?""Kita lihat saja nanti saat mereka bertemu. Cia gad
Ciara menatap pemuda yang duduk berhadapan dengan dirinya itu, sementara Ansel memilih untuk duduk di sisi adiknya. Wanita paruh baya itu tersenyum, ia tak menyangka kalau bocah lelaki yang dulu dilihatnya tumbuh menjadi lelaki tampan nan mapan. Kabarnya lelaki itu seorang dokter muda di sebuah rumah sakit swasta yang cukup terkenal. "Apa kabarmu, Amira? Sudah lama kita tak bertemu." Kata wanita paruh baya itu kepada sahabat kecilnya dulu. Amira meraih tangan Kane, menyentuhnya lembut. "Aku sangat gembira mendengar kau mengundang kami ke rumah ini, Kane. Setelah sekian tahun lamanya, kau membesarkan Ciara dengan baik." Senyumnya mengembang dan menatap Ciara dengan mata teduhnya itu. Kane tertawa, membalas tangan Amira di yang berada di punggung tangannya itu. "Kau juga, Sean terlihat begitu gagah dengan kemeja itu."Amira tersenyum, "Ciara pasti menyukai Sean, kan?"Ciara seketika menatap Ansel, ia tak tahu menahu soal pertemuan ini. Ibunya hanya mengatakan akan ada tamu dari jauh
Sean duduk di sana, menunggu Ansel meracik kopi untuk mereka. Tak butuh waktu lama bagi Ansel, lelaki itu kini kembali dengan dua gelas kopi di tangannya. Memberikan satu kepada Sean.Sean tersenyum saat aroma kopi yang terlihat nikmat berpindah ke hidungnya, aroma yang memang tak biasa. "Aku ingin mencobanya," ucap Sean yang mencicipi kopi itu dengan sebuah sendok kecil."Kau menyukainya?""Ini nikmat, tak seperti kopi yang pernah kuminum. Kau hebat, ya? Ehm, tapi kau bilang ingin mengatakan sesuatu tentang Ciara. Tentang apa itu?"Ansel menatap Sean yang terlihat tak sabar dengan ucapannya tadi, lelaki itu tersenyum kecil. "Ciara adalah gadis yang manja, dan aku adalah salah satu orang yang memanjakan dia. Yah, dia satu - satunya adikku. Mungkin karena ini sikapnya terkadang sedikit menjengkelkan. Dia memang tidak suka basa - basi. Sebenarnya itu cukup bagus, dia tegas dan tahu apa yang dikatakannya. Hanya saja, dia lupa kalau kata - katanya terkadang melukai orang lain. Tapi, Sean,
Wanita itu menatap kelu, rasa sakit setelah melahirkan kedua putranya bahkan masih terasa. Tubuhnya lemah, namun ia sudah dihadapkan pada pilihan yang begitu sulit. Tak pernah terbayang di benak Nares jika ia harus memilih satu diantara kedua bayi kembarnya itu. Nares menggeleng pelan, seolah menolak perintah suaminya. "Aku tidak bisa, Megan." Ucap Nares lirih. Kebahagiaan yang seharusnya Nares dapatkan justru berubah menjadi duka yang dalam. "Aku tidak pernah memintamu untuk melahirkan bayi kembar, Nares. Karena aku hanya membutuhkan satu putra untuk menjadi penerusku. Pewaris De Aluna Company!" Megan mengatakan itu dengan tegas, tak sedikitpun ada rasa belas kasihan di dalam dirinya. "Tapi mereka adalah putramu, Megan. Tidak bisakah kau berubah pikiran?" Nares menitikkan air matanya, suaranya begitu serak saat ia memohon kepada Megan. "Peraturan ini sudah ada sejak dulu, Nares. Tak seorangpun boleh mengabaikannya. Kau tidak berhak untuk memberi pertimbangan!" Lelaki tampan denga
Megan tersenyum saat melihat Nares yang begitu cantik dengan gaun putih tulang itu. Rasanya ia tak sabar untuk kembali menyentuh istrinya. Lelaki itu memeluk Nares, mengecup leher jenjang wanita muda itu. Nares berpaling seakan ingin memberitahu Megan jika ia tak ingin. Tapi Megan bukanlah lelaki yang bisa ditolak begitu saja. "Sudah lama, Nares. Aku sangat rindu padamu." Megan berbisik di sisi telinga Nares, mengecup daun telinga wanita itu. Nares tidak menjawab, hatinya telah pahit karena perlakuan Megan lima tahun lalu kepada salah satu putranya. Ia bahkan tak memberi reaksi kepada Megan. "Bagaimana kalau kita pergi ke sebuah tempat, Sayang. Kita habiskan malam berdua di tempat itu. Kau sangat menyukai laut, bukan? Aku bisa menyewa villa di sana kalau kau mau." tawar Megan sembari mengusap kedua lengan terbuka wanita itu. "Aku tidak ingin pergi, Megan." Nares menjawab lirih, ia bahkan tak ingin menatap wajah lelaki itu. "Mau sampai kapan kau begini, Nares? Kau tidak peduli pada