Edinburgh, Skotlandia, Agustus 1997
Seorang anak kecil berusia lima tahun duduk di sisi jendela apartement, kaki kecil berjinjit mencoba melihat ke bawah, memperhatikan sekelompok orang berpakaian eksekutif berkeliaran membawa kendaraan, beberapa orang di antaranya berjalan di luar.
Orang-orang itu terlihat seperti mengintai, ada telepon di tangan dan ada senjata di balik jass yang dikenakan. Mereka sering melihat ke unit jendela apartementnya berada, seakan tengah mengawasi sesuatu.
Kelompok orang aneh itu sudah berada di dekat gedung apartement sejak beberapa bulan yang lalu, dan mereka datang silih berganti seakan tengah menjaga sesuatu, namun sejak kemarin jumlah mereka terlihat menjadi lebih banyak.
Irish hijau di sepasang mata indah seorang anak kecil terlihat berkilauan, anak itu mengerjap, wajah mungilnya sedikit pucat begitu tanpa sengaja bertatapan dengan salah satu di antara mereka.
“Ibu, paman-paman jangkung itu terus melihat ke sini,” ucap Leary memberitahu.
“Jangan hiraukan mereka.”
“Bagaimana jika mereka ke sini?”
“Mereka tidak akan mengganggu, kemarilah dan bantu ibu membereskan pakaian yang ada di sini,” sahut Olivia di kamar.
“Aku kan masih kecil, tugasku bermain,” jawab Leary menopang dagunya.
“Apa kau tahu, anak baik itu selalu bisa diandalkan saat dibutuhkan?” nasihat Olivia di dalam kamar.
Leary membalikan badan dan berlari menghampiri Olivia yang terlihat sibuk karena hari ini mereka akan pergi ke London. Leary bersenandung senang membuka koper dan memasukan semua pakaiannya untuk membantu Olivia.
“Aku ingin membawa boneka-bonekaku,” ucap Leary.
“Bawa tiga saja,” jawab Olivia dengan senyuman.
“Kenapa?”
“Bonekamu terlalu banyak, jika nanti kita memiliki waktu, ibu akan membelikan boneka baru untukmu di sana.”
Leary berlari mencari-cari boneka yang paling di sayangnya untuk dibawa, dia merapikan sisa boneka yang anak di tinggalkan ke dalam sebuah box agar nanti jika dia kembali pulang, mainannya tidak berdebu.
Olivia menarik mundur kursi rodanya mendekati ranjang, dia mendorong ke atas ranjangnya dan melihat rentetan senjata dari berbagai jenis, tersusun rapi di bawahnya dalam keadaan yang belum terakit. Semua senjata itu adalah alat kerja yang selalu dia gunakan selama ini.
Olivia melirik Leary yang sibuk menumpuk bonekanya, lalu kembali melihat senjatanya yang harus dia bereskan lebih dahulu.
Olivia menarik keluar semua senjata miliknya dan mamasukannya ke dalam sebuah plastic sampah, dia akan mengirim senjata itu kepada temannya dan meminta bantuannya agar bisa mengirimnya secara menyusul ke Inggris.
Apartement ini pasti akan di geledah selepas Olivia pergi.
Selesai membereskan senjatanya, Olivia pergi ke depan pintu karena di sana, ada seorang pemuda yang memakai jaket mahasiswa tengah menunggu di depan pintu.
Pemuda itu masuk ke dalam karena ada sesuatu yang ingin dikatakan dengan Olivia secara langsung, tidak aman membicarakan hal seperti ini di telepon.
“Hanya ini barangmu?” tanya Elisio Hemilton mengangkat plastic sampah berisi senjata.
Olivia mengangguk samar, wanita itu melihat ke belakang untuk memastikan jika Leary masih berada di kamar dan sibuk berpamitan kepada boneka-bonekanya.
“Inggris bukan daerah kekuasaan keluarga Hemilton, namun aku masih ingin meminta bantuanmu,” kata Olivia.
Alis Elisio sedikit terangkat. “Kau tidak akan langsung bertemu dengan keluargamu?”
Olivia tersenyum sedih dan menggeleng, situasi yang tidak memungkinkan menahan Olivia tetapharus menyembunyikan diri.
Eliso berdeham tidak nyaman, pemuda itu berkata, “Kau butuh bantuan apa?”
“Aku akan mengirim informasi yang kau butuhkan dua bulan lagi, syaratnya hanya satu, lindungi nyawaku dan Leary. Bergeraklah di tempat jauh. Jika aku meninggal sebelum menyelesaikan balas dendamku, tolong ambil Leary sebelum dia di ambil orang lain, berikan dia pada adikku, jangan kepada siapapun.”
Elisio mendengus dengan gelengan samarnya. “Kau tahu sendiri kan, aku dan adikmu adalah musuh?”
“Aku mohon,” lirih Olivia memohon.
“Baiklah,” jawab Elisio tidak punya pilihan. Pemuda itu mengeluarkan beberapa gepok uang dari balik jaketnya dan memberikannya kepada Olivia, “Aku tidak bisa banyak membantumu, hanya itu uang yang kumiliki.”
Napas Olivia tertahan di dada, matanya terlihat berkaca-kaca menerima uang itu. “Terima kasih.”
“Semoga berhasil,” Elisio berbalik dan segera pergi keluar dari apartement itu.
Elisio adalah seorang remaja yang terlihat biasa, namun siapa sangka jika sebenarnya dia adalah putera dari pemipin mafia besar di negara Neydish. Olivia sudah mengenalnya sejak dia memiliki kerjasama dengan ayah Elisio.
Elisio memiliki ambisi besar dalam memperluas daerah kekuasaan sebelum dia menggantikan posisi ayahnya, karena hal itulah dia membutuhkan Olivia yang mengetahui banyak jaringan.
Olivia tidak membutuhkan apapun selain keselamatan Leary dan bisa berkumpul kembali dengan keluarganya secepatnya.
Di sini sudah tidak aman lagi, Olivia harus segera pergi membawa puterinya, dia tidak ingin terlibat pekerjaan apapun lagi selepas menyelesaikan tugasnya dan menyingkirkan banyak orang yang memiliki musuh pribadi dengannya di Skotlandia dan beberapa negara lainnya.
Meskipun kini dia sudah tidak bertugas lagi, sepertinya ini bukan akhir dari segalanya karena masih banyak kelompok yang ingin memburunya dan mengorek informasi dari Olivia.
Kini, satu-satunya jalan untuk bisa mendapatkan ketenangan adalah dengan pergi ke Inggris, tempat terakhir musuh-musuh utamanya bersarang, sekaligus tempat terbaik untuk pertumbuhan puterinya karena di sana ada adik kandung Olivia.
To Be Continued..
Olivia, dia adalah seorang penembak jitu dari tim khusus badan intelejen swasta yang memiliki peranan penting dalam perputaran bisnis besar. Olivia tidak hanya ditugaskan untuk melumpuhkan musuh, dia juga dipercaya dalam menyampaikan beberapa misi rahasia.Olivia sempat berhenti bekerja setelah melahirkan Leary. Setelah leary berusia tiga tahun, mau tidak mau Olivia harus menerima tugas lagi, sayangnya tidak berselang lama setelah itu, semuanya berakhir dalam pengkhianatan di dalam sebuah misi fiktif yang membuat kakinya lumpuh permanen.Satu tahun yang lalu..Seseorang yang selama ini Olivia anggap sahabat terbaiknya telah mengkhianatinya, dia menembak kaki Olivia di tengah hutan atas bayaran kekasih mantan suaminya.Lebih menyedihkannya lagi, ketika Olivia terluka parah ditinggal sendirian di hutan, seorang anggota organanisasi menyiksanya dan memaksa Olivia membuka suara untuk memberitahu rahasia yang selama ini Olivia ketahui.Tidak ada yang bisa Olivia lakukan selain diam membung
Olivia duduk di kursi rodanya keluar dari bandara, seorang pria berpakaian serba hitam mendorongnya dan mengantar Olivia masuk ke dalam mobil.Pelukan Olivia pada Leary menguat, wanita itu tertunduk menatap lekat puterinya dengan nanar, mengusap wajah mungilnya dengan tangan gemetar. Olivia menutupi tubuh kecil Leary dengan jaketnya agar tidak banyak orang melihat wajah puterinya.Mobil yang ditumpangi Olivia bergerak pergi meninggalkan bandara. Sepanjang jalan Olivia memperhatikan setiap bangunan yang dilewatinya dengan tatapan sendu menyimpan luka.London, tempat ini menyimpan banyak kenangan.Di sini, Olivia sempat merasakan arti dicintai, diperlakukan begitu baik, di sini juga Olivia merasakan artinya sebuah pengkhianatan yang sangat menyakitan, dan semua yang pernah Olivia rasakan itu tidak terlepas dari sosok suaminya, Darrel McCwin.Pria itu berhasil membuat Olivia memutuskan untuk menikah dengannya dan belajar menjadi seorang isteri juga ibu yang sempurna untuk keluarganya. B
“Orang-orang gila itu masih mengikutimu?” Tanya Willis begitu Olivia muncul dan duduk di hadapannya.Samar Olivia tersenyum, “Aku akan mengatasinya secepat mungkin. Sekarang kau harus menjadi penerima beberapa senjata yang aku kirimkankan ke sini, mungkin dalam tiga hari lagi akan segera datang.”“Itu tugas terakhirku kan?”“Benar.”“Kuharap kau mulai betah tinggal di sini, tokoku berjarak satu kilometer dari sini, datanglah jika ingin,” ucap Willis seraya beranjak dan tersenyum dengan tenang.“Willis,” panggil Olivia menahan sejenak langkah Willis. Wajah Olivia terangkat, berpandangan dengan Willis. Olivia berkata, “Leary masih sangat kecil, dia pasti akan sedih jika kini harus tinggal di desa seperti ini. Kuharap kau tidak keberatan, jika aku mengatakan kepada Leary kalau kau saudaraku dan kau bibinya Leary.”Willis bersedekap, terdiam sejenak menimang-nimang keputusan apa yang harus dia ambil. “Baiklah, panggil saja aku bibi Willis,” jawab Willis.“Terima kasih sudah membantuku.”
“Lama tidak bertemu." Tubuh Olivia menegak, bahunya ikut menegang, wanita itu berekspresi dingin, namun kilatan di matanya jelas menunjukan permusuhan yang sangat kuat. “Kau tidak mau menyambut tamumu?” tanya Wony dengan senyuman mengejek melihat keterdiaman Olivia yang terkejut. “Lama sekali kita tidak bertemu,” ujar Wony lagi dengan tatapan merendahkan, melihat penampilan sederhana Olivia yang tidak ada bandingannya dengan dirinya. Genggaman Olivia menguat pada tongkatnya, rupanya Wony masih mengikuti informasinya selama ini, termasuk kedatangannya ke London. Olivia tidak menyangka jika Wony akan langsung menemuinya dalam waktu secepat ini. Olivia membuang napasnya beberapa kali, menetralkan kemarahannya agar bisa bertindak rasional. “Ada urusan apa datang ke sini?” tanya balik Olivia dengan tenang. “Aku hanya ingin bertemu denganmu. Kupikir kau akan luar biasa setelah pergi, tapi ternyata, kini menjadi seperti gelandangan.” Olivia membalasnya dengan senyuman hormat. “Sama, aku
Kesenangan Wony berakhir menjadi waspada karena pengawal yang dia andalkan tidak lebih seperti pecundang lemah yang tidak dapat menumbangkan perempuan cacat seperti Olivia.Wony sedikit mundur dan terlihat waspada, wanita itu takut jika kini giliran dia yang dihabisi Olivia.Olivia berbalik, dengan langkah gemetar dan wajah pucat pasi, Olivi mendekati Wony dengan belati yang berlumuran darah di tangannya.Olivia mengayunkan belatinya di belakang kepala Wony sampai membuat gulungan rambut Wony terlepas dan setengah dari rambut-rambutnya yang terawat berjatuhan di bahu akibat tajamnya belati.Napas Wony tertahan seketika, gertakan Olivia berhasil membuat kakinya gemetar ketakutan tidak memiliki tenaga untuk berdiri apalagi berbicara.“Berhenti mengusikku, hiduplah dengan tenang dengan semua hal yang telah kau curi. Aku sudah menganggap Darrel pria sampah, dan aku tidak mungkin memperebutkan sampah yang kubuang denganmu,” peringat Olivia tidak main-main.“Jaga bicaramu Olivia, aku bisa
Pagi-pagi Leary terbangun dan disuguhkan oleh pemandangan indah di sekitar rumahnya. Leary dapat melihat padang rumput hijau yang luas, udara segar dan gemercik suara air di sungai, tumbuhan yang tumbuh dengan baik, ini adalah pemandangan baru yang dia lihat.Leary senang jika ternyata keadaan sekitar rumahnya tidak semenakutkan apa yang telah dilihat tadi malam.Di hari kedua mereka tinggal, Olivia mengajaknya pergi menyapa beberapa tetangga baru mereka, lalu jalan-jalan untuk membeli keperluan stock makanan.Setelah sekian lama terjebak di apartement dan tempat penitipan, akhirnya kini Leary bisa berlarian dengan bebas tanpa perlu menggunakan jaket tebal dan memakai topi seperti menyembunyikan diri.Selama ini, ketika di Skotlandia, Leary tidak bisa berlarian menikmati kota Edinburg yang memiliki bangunan cantik seperti di gambar-gambar buku dongeng.Selama ini Olivia selalu berusaha menyembunyikan wajah Leary dari siapapun, karena kini dia berada di desa, Olivia mengizinkan Leary
“Apa aku memiliki ayah? Kenapa kita selalu terus berdua saja?”Olivia tersentak kaget, pupil matanya melebar, dalam beberapa detik wanita itu membeku tidak dapat berkata-kata, apalagi menjawab pertanyaan sederhana Leary. “Apa aku juga memiliki kakek nenek seperti di dalam dongeng?” tanya Leary lagi memperhatikan keterdiaman Olivia yang membeku. Keterdiaman Olivia yang tidak menjawab menambah rasa ingin tahu Leary.“Kenapa kau menanyakannya?” bisik Olivia terbata.Leary berkedip pelan, merasakan kesedihan mendalam di mata Olivia, lama anak itu terdiam sampai akhirnya dia menjawab. “Jika aku punya ayah, bukankah nanti, ayah akan memukul orang-orang yang jahat kepada kita? Aku juga mau di gendong oleh ayah, aku mau melakukan natal bersama seperti anak-anak lainnya yang berkumpul dengan keluarga, dapat hadiah dari nenek kakek mereka,” jawab Leary pelan penuh kepolosan.Hati Olivia tertohok begitu dalam sampai terasa sakit mendengar jawaban sederhana puterinya, mata Olivia mulai panas did
“Jach.”“Kau tinggal di mana? Apa aku boleh bermain denganmu?” tanya Leary lagi berantusias, anak itu tidak memahami kesibukan Jach dan sekarung arang yang harus segera di antarkan.Jach menarik tangannya, “Aku tinggal di dekat hutan, perbatasan desa, sekarang aku harus kembali bekerja membantu nenekku. Sampai nanti,” pamit Jach terburu-buru pergi meninggalkan Leary.Leary berbalik melihat kepergian Jach, kaki kecilnya berlari mengejar. “Tunggu Jach!” panggil Leary dengn teriakan.Langkah Jach kembali terhenti, menunggu Leary yang mendekat sambil merongoh sesuatu dari saku dressnya. Tangan mungil Leary terulur, menyerahkan beberapa buah permen yang dimilikinya. “Sekarang kita berteman kan?” tanya Leary.Tubuh Jach menegang kaget, anak laki-laki itu sampai mengerjap mencoba meyakinkan diri jika apa yang telah di dengarnya bukan ilusi. Dalam keraguan Jach mengangguk seraya menerima permen pemberian Leary.Bibir mungil Leary mengukir senyuman, menunjukan dua buah giginya yang ompong dan