Share

DUA

"Mbak mau sekarang ke pasarnya?" tanya Fatimah ketika dia melihat Aisyah sudah rapih dengan gamis hitam dan menggunakan khimar berwarna abu-abu.

Aisyah mengangguk sebagai jawaban pertanyaannya Fatimah. "Abi, Aisyah harus berangkat pagi ke pasar. Karena kebetulan teman Aisyah baru membuka usahanya di sana, dan Aisyah diminta menjadi pelanggan pertamanya," izinnya pada sang abi yang kini sedang membaca koran sembari menyesap kopi.

Beliau menatap Aisyah, kemudian mengangguk. "Pergilah. Kamu sudah janji tepat waktu bukan pada temanmu itu? Tepatilah janjimu karena janji merupakan salah satu hutang yang harus kamu lunasi."

Begitulah Abi yang selalu menjawab dengan sedikit taburan agama di setiap ucapannya. Aisyah pun mengangguk, lalu meraih tangan abi dan menciumnya. Sebagai tanda bakti Aisyah pada Abi.

"Mbak, setelah dari pasar langsung ke rumah singgah, 'kan? Jangan lupa bawakan bakso untuk aku dan Mbak Nailah," ujar Fatimah disertai cengirannya.

"Tenang saja. Mbakmu ini enggak akan lupa kok sama pesananmu," ujarnya. "Abi mau sekalian Aisyah bawakan bakso?" tawarkannya pada Abi.

"Tidak usah. Kalau Abi makan bakso, nanti siapa yang akan makan masakan kamu. Lebih baik untuk Fatimah dan Nailah saja, Nak. Lagipula kesehatan Abi tidak mendukung juga," ujar Abi dengan sedikit gurauan. Aisyah dan Fatimah tertawa, karena memang Abi sudah tidak boleh makan makanan seperti itu. Banyak mengandung penyedap rasa tidak baik untuk kesehatan laki-laki yang menginjak umur lima puluh tahun itu.

Setiap pagi memang Aisyah sudah memasak untuk Abi. Masak untuk makan pagi dan siang, karena ketika siang hari Aisyah lebih banyak menghabiskan waktu di rumah singgah dan tidak sempat memasak. Maka dari itu dirinya selalu memasakkan untuk Abi setiap pagi sebelum pergi.

"Ya sudah, kalau begitu Aisyah berangkat ya, Bi. Fatimah nanti kamu ke rumah singgahnya naik motor mbak aja ya. Mbak mau naik angkot aja."

"Oke, Mbak."

"Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalam ...." jawab Abi dan Fatimah bersamaan.

Aisyah bergegas melangkah untuk mencari angkot yang biasanya lewat. Aisyah harus segera karena angkot yang melintasi rumahnya biasanya pada waktu pagi sekali. Jam tujuh saja sudah bisa dibilang tidak ada lagi.

🌞🌞🌞

Seperti dugaannya, ketika Aisyah melangkah keluar dari rumah angkot yang ditunggu pun lewat. Aisyah langsung menaikinya ketika angkot tersebut berhenti tepat di depannya.

Dan disinilah Aisyah, bersama penumpang lainnya yang mungkin tujuannya pun sama dengannya. Oh, tidak, karena Aisyah melihat ada beberapa anak sekolah yang duduk di bagian belakang. 

Jarak rumah ke pasar cukup jauh, membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit untuk sampai di pasar. Itu pun jika angkotnya tidak sering berhenti karena harus menunggu penumpang. Aisyah tidak menyalahkan sang sopir, karena dia memang mencari uang dengan cara seperti ini. Tapi, jika sedang telat-telatnya atau sedang buru-buru lumayan repot juga. Yang bisa dilakukan hanyalah mendumel di hati atau berdoa semoga sang sopir cepat dapat hidayah dan segera mengemudikannya dengan cepat. Ah, Aisyah tahu karena pernah merasakannya ketika masa sekolah dulu.

Aisyah memutuskan mengambil novel yang ada di ranselnya. Kebiasaan Aisyah ketika menunggu angkot yang perjalanannya cukup lama lebih baik dirinya membaca novel.

Lembaran demi lembaran dibuka untuk mencari pembatas yang  Aisyah selipkan sebagai tanda terakhir kali aku membacanya. Tapi, di saat Aisyah sudah menemukan pembatas buku tiba-tiba ingatannya melayang kembali ke masa lalu. Masa dimana Aisyah mendapatkan novel ini dari seseorang.

Ya, seseorang yang pernah menduduki cintanya di hati Aisyah. Dia Reza.

Saat itu Reza datang ke rumah singgah dengan senyum sumringah. Ternyata dia datang sambil membawa sebuah buku yang memang diincar Aisyah. Gadis ini yang mendapatkan hadiah novel yang sangat ingin dimiliki langsung bahagia. Karena Aisyah sudah mencari ke toko buku manapun tapi tetap hasilnya nihil. Aisyah tidak menemukannya, dan kini Reza datang membawa novel tersebut.

Aisyah ingat kala itu Reza pernah mengatakan agar dia menjaga buku ini.

"Aisyah, boleh aku meminta sesuatu dari kamu?" ucapnya kala itu.

Aisyah mengangguk. "Apa yang Mas Reza inginkan?"

"Tolong jaga novel ini seperti kamu menjaga hati untukku."

Aisyah langsung terenyuh. Sejak itu Aisyah meyakinkan bahwa dirinya memang mencintai sosok Reza. Sangat mencintainya dan akhirnya Aisyah pun menerima pinangan Reza sebagai kekasih halalnya.

Saat itu, memang Aisyah amat mencintainya. Tapi entah sekarang, karena kesedihanlah yang dirasakan kala Aisyah mengingatnya.

Ucapan Reza Aisyah akui begitu manis hingga ia isyah pun terperdaya olehnya. Memang, tidak ada yang tahu isi hati seseorang. Inilah yang membuat Aisyah mulai menancapkan rasa cinta untuknya.

Aisyah memang menjaganya hingga saat ini. Tapi bukan seperti apa yang diucapkan oleh Reza. Aisyah menjaga novel ini karena dia memang menyukainya dan tidak baik bukan membuang ilmu. Toh, pemberian Reza bukan hanya novel dan semuanya pun sudah Aisyah musnahkan. Tapi tidak dengan novel ini.

Aisyah menghela nafas pelan sembari memejamkan mata. Memang sakit ketika mengingat masa lalu yang penuh dengan kesedihan. Tidak ada gunanya dan hanya memberikan mudharat untuk diri sendiri.

"Pasar ... pasar ...." seru sang sopir. Aisyah pun tersentak dan selama inikah dia melamun memikirkan nasib cintanya. Hingga novel yang digenggam pun belum sempat dibaca.

Aisyah bergegas turun dan memberi uang selembar lima ribu pada sang sopir. Memang kalau naik angkot lebih murah dibandingkan naik kendaraan umum lainnya. Inilah mengapa Aisyah lebih menyukai naik angkot.

Aisyah langsung menuju tempat yang sudah dikirimkan Tanti --temannya-- yang akan membuka warung baksonya. Tidak jauh dari tempat dimana dia turun dari angkot.

Walaupun sempat bertanya sana sini, akhirnya Aisyah pun menemukan tempat Tanti berjualan. Ya namanya pasar, meskipun sudah mendapatkan alamatnya kita tidak akan mudah mencari tanpa bertanya pada pedagang disana.

"Assalamu'alaikum, Tanti," ucapnya memberi salam pada Tanti.

"Wa'alaikumussalam. Akhirnya kamu datang juga. Aku pikir kamu enggak akan datang." 

Aisyah tertawa kecil. "Abiku enggakidak pernah mengajarkanku untuk melanggar janji, Tanti. Dalam keadaan apapun kita harus tetap membayarnya, 'kan? Janji adalah hutang, dan aku enggak mau membawa hutang di akhirat nanti." 

"Kamu benar. Berat sekali jika hutang masih ada di pundak kita ketika kita sudah menghadap Sang Khaliq. Aduh, jadi inget sama ceramah Abi Zikri. Bagaimana kabar beliau?" 

"Alhamdulillah ... abi baik. Kita semua baik," ucap Aisyah.

"Alhamdulillah, Ma syaa Allah, aku lupa mengajakmu masuk. Ayo, masuk. Akan aku buatkan bakso spesial untukmu. Tanpa bihun, 'kan?" tanya Tanti. Ternyata dia masih ingat jika Aisyah memang tidak suka dengan bihun.

"Betul sekali. Tapi biarkan aku membayarnya, ya. Karena aku akan memesan dua lagi untuk dibawa pulang," kata Aisyah. Karena dia yakin pasti Tanti akan memberikannya bakso secara gratis. Aduh, sudah ge-er duluan.

"Tidak usah. Khusus untukmu saja enggak usah bayar. Baru yang dua pesanannya lagi kamu boleh membayarnya."

Aisyah tertawa, Tanti memang pintar jika diajak berdebat. "Baiklah, terserah kamu." 

Setelah itu, sembari pesanan baksonya selesai disiapkan Aisyah memilih bangku paling ujung depan. Aisyah meletakkan novel di atas meja begitu saja.

Aisyah melirik ke arah samping, Tanti memang pintar memilih tempat untuk berjualan. Tempatnya cukup ramai dengan banyaknya orang yang berlalu lalang. Sesekali diantara mereka melirik ke arah warung baksonya Tanti. Ada beberapa di antara mereka pun masuk ke dalam dan memesan bakso pada Tanti. Aisyah melihat ada raut bahagia yang terpancar dari wajah Tanti tatkala dia menerima pesanan. Aisyah sudah tahu sejak SMA Tanti memang memimpikan memiliki warung bakso sendiri, dan akhirnya impian itu pun terwujud.

"Ini pesananmu. Aku mau melayani yang lainnya dulu baru kita melanjutkan pembicaraan," bisik Tanti pada Aisyah, lalu gadis ini pun mengangguk dan langsung menyambar bakso yang ada di hadapannya ini.

Satu suap dirasakannya. Ternyata enak, tidak terlalu keras dan baksonya pun kenyal. Kuahnya pun segar tidak terlalu asin dan tidak terlalu gurih. Apalagi ditambah dengan sambal dan juga kecap, Ma syaa Allah enak sekali. Eh, kok aku seperti sedang iklan ya, hehe, Batin Aisyah.

Tak lama kemudian Aisyah merasakan warung baksonya Tanti sudah penuh dengan pembeli. Hanya menyisakan beberapa bangku kosong yang belum ditempati. Alhamdulillah, hari pertama warung baksonya Tanti laris manis.

Aisyah pun melirik jam mungil di tangan kirinya. Sudah hampir menunjukkan pukul setengah sepuluh. Aisyah pun memutuskan pulang karena kebetulan juga dia harus membantu Nailah dan Fatimah di rumah singgah. Sebelum itu, dia pamit pada Tanti yang sibuk dengan beberapa mangkok bakso di tangannya.

"Tanti, aku harus segera pulang. Kasihan Nailah dan Fatimah mereka pasti butuh bantuanku di rumah singgah. Nanti kita lanjut lagi aja ya pembicaraannya," ujar Aisyah padanya.

"Ya sudah, kamu hati-hati, ya. Oh, iya, ini pesanannya. Ingat, sering kesini loh karena aku ingin cerita banyak sama kamu." 

Aisyah mengangguk. "In syaa Allah, lagipula mungkin aku akan mendaftar menjadi pelanggan setiamu karena bakso buatanmu rasanya enak dan cocok dengan mulutku."

"Terima kasih. Baksonya cuma dua puluh ribu. Terima kasih sudah mencobanya," ucap Tanti sembari menyerahkan satu bungkus plastik besar berisi bakso.

Aisyah tertawa dan segera menyerahkan uang dua puluh ribu padanya. Setelah itu, dia pamit pulang dan tak lupa memberi salam padanya. 

"Aisyah, tunggu. Ini novel kamu ketinggalan!" seru Tanti dan Aisyah pun menoleh menatapnya. 

"Astaghfirullah, terima kasih. Aku lupa, hehe." 

Aisyah melanjutkan kembali perjalanannya. Kini dia harus segera sampai di rumah singgah. Hari semakin siang dan rumah singgah pun semakin membutuhkan bantuannya karena sebentar lagi anak-anak jalanan itu sudah pulang. Kasihan Nailah dan Fatimah jika harus mengurusnya berdua saja.

Namun, di tengah perjalanan ada seorang ibu-ibu dengan membawa banyak sekali belanjaan. Aisyah pun sempat terhimpit dan akhirnya bisa lepas juga. Tapi, ada satu hal yang tidak disadarinya ketika terhimpit tadi. Buku novel yang digenggam ternyata jatuh dan Aisyah tidak sadar akan hal itu.

Hingga membuat seorang laki-laki yang kebetulan melintas dan melihat buku jatuh tepat di hadapannya. Dia segera memanggil Aisyah tapi gadis ini tidak mendengar. Lalu, dia pun mengejar langkah Aisyah yang semakin menjauh.

Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah sedang memberi selembar uang untuk seorang pengemis. Ada detakan jantung tak karuan yang dirasakan oleh laki-laki itu. Tapi kesadarannya kembali ketika dia melihat Aisyah melangkahkan langkahnya. Laki-laki ber-jas itu pun mengejar Aisyah dengan berlari.

"Assalamu'alaikum, Mbak," ucap salam laki-laki tersebut.

Aisyah menoleh ke belakang. "Wa'alaikumussalam. Ada apa, ya?"

Laki-laki itu terlihat gugup. Dia sempat terbata-bata menjawab pertanyaan Aisyah. "Anu, ini bukumu terjatuh." 

Aisyah pun melirik pada tangan kekar si laki-laki, dan beralih ke arah tangannya. Benar saja novel itu kini sudah berpindah tangan. 

"Ma syaa Allah, terima kasih sudah menemukannya. Saya sendiri enggak sadar kalau novel saya terjatuh!" pekiknya sembari mengambil novel yang diserahkan laki-laki tersebut.

"Kalau begitu, saya permisi dulu. Assalamu'alaikum ...." Lanjut Aisyah dan kini sudah meninggalkan laki-laki tadi dan sempat melihat wajah tampannya. Lalu, dia segera menundukkan kepala karena tidak baik jika harus menatap lama wajah yang bukan makhrom.

"Wa'alaikumussalam ...." lirih si laki-laki tadi sembari menatap kepergian Aisyah.

Entah atas dorongan apa, diam-diam laki-laki ini yang belum diketahui namanya pun tersenyum simpul.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status