Share

7. Kasihan Sekali Kamu, Mas

Cukup di benak kutahan rasa terkejut. Pernah berfirasat akan begini akhirnya, melihat bagaimana borosnya mereka menghambur uang, hanya tak menyangka kalau secepat ini terjadi.

Aku tetap diam menunggu ia selesai bicara.

“… aku ada cicilan besar dan tambang lagi ngadat.” Wajahnya terpasang memelas.

“Sebesar berapa kok sampai terpikir jual pabrik, Mas?”

Ia memberanikan diri menatapku. “Hutang di bank hampir milyaran, Dik … belum lagi yang pribadi, ini gara-gara aku main saham.”

“Yang online itu?” Ia mengangguk lemah. “Ya Allah sejak dulu aku menentang keras Mas lakuin itu. Resikonya besar.”

“Terlanjur … rumah mungkin akan disita. Sebagian isinya diambil Jumri, puluhan juta uangnya kupinjam.”

Aku menghela nafas berat. “Kalian boros sekali. Belum setahun sudah mandi hutang. Kenapa bisa kelepasan begitu?”

“Pabrik dijual juga gak akan bisa nutupin kalau begitu, Mas. Lepasin semua aset kalian. Lunasi semua, biarkan barang habis asal lepas dari pinjaman, apalagi yang berbunga. Mobil, rumah lepasin semua. Pabrik itu untuk nyari rupiah biarpun sedikit hasilnya.

“Justru itu April tidak mau lepas mobilnya. Rumah itu juga suratnya di bank, paling-paling disita tanpa harga. Sudah nunggak dua bulan ini, Dik.”

Jujur sisi hitam hatiku mau tertawa melihat memelasnya wajah suami. Ia seperti anak tertua yang meminta jajan padaku. Kamu memang lemah atur keuangan, Mas. Tambah lagi binimu itu cuma tahu buang uang tanpa pikir berusaha. Kasihan sekali.

“Aya paham, Mas … semoga urusan Mas Danang cepat selesai. Tapi pabrik juga sedang masa sulit. Sejak permintaan menurun gaji karyawan juga menyusut, banyak yang berhenti cari kerja lain. Suratnya pun aku pakai buat nyari dana kemarin pas lagi sulit-sulitnya, jadi kurasa tidak akan ada yang tertarik membelinya. Coba jual rumah yang Mas tempati itu sebelum disita bank, sisanya kan bisa dipakai nutupi yang lain.”

Aku cuma bisa menyarankan tapi juga ragu. Mana ada orang mau membeli bangunan yang sedang bermasalah dengan bank, kecuali dengan harga rendah.

Ia mengangkat wajah lesu.

“Kayu kita?”

Aku menarik napas panjang. “Itu satu-satunya untuk ngebulkan dapur, biaya anak sekolah. Kasihan anak-anak kalau itu dilepas.”

“Tapi kita bisa mulai usaha lain, Dik.”

Sampai di sini tubuhku menegang, gemerutuk gigi menahan geram, darah mengalir cepat memanaskan kepala.

“Kita pernah mulai dari nol saat CV belum ada apa-apanya. Ayo kita mulai lagi. Aku sedang tertekan ditagih terus. Aku bingung, Dik.”

Tahukah kau Mas Danang, lelaki super egois! Di saat susah kau memohon ke sini, tapi saat senang kau hamburkan dengan hujan kesenangan pada yang lain. Maaf aku bukan tong sampahmu …!

“Mas itu dulu, kita pernah sulit dan Mas mau aku mengulangi kesulitan itu lagi?!” Nada suaraku meninggi. “Ini sudah tidak ada hubungan denganku. Obrolkan baik-baik dengan April, mulailah membagi bebanmu padanya, jangan hanya membagi kesenangan. Kalian pasti bisa mulai dari nol.”

Ia menatapku sebentar lalu memandang kosong dinding.

“Apa kamu tidak bisa membantu? Tabungan asuransi masa tua bukankah bisa dicairkan saja?”

“Apa? Kenapa jadi semua mau diambil? Kita ini makin tua, kesehatan kita mana tahu ke depannya.” Aku tertawa tanpa suara. Silakan Mas Danang buat keputusan sendiri, yang pasti aku gak sanggup berpikir yang berat-berat. Mulailah dengan istrimu itu. Ia pasti bisa diandalkan.” Aku berdiri, menggeser kursi.

“Anak-anak butuh biaya. Naya juga mau masuk kedokteran seperti kakaknya, jauh-jauh hari ia sudah tentukan UI kampusnya. Doakan saja itu lancar. Mas harus bangga pada mereka. Kita akan punya dua calon dokter, keturunan Danang Wiratama, bukankah itu membanggakan, Mas? Jadi biarkan aku mengawal anak-anak tanpa diberatkan dengan hal yang tidak penting.”

Mau melangkah menjauhinya, tapi unegku belum tuntas terkatakan. “Aku yang anak-anak andalkan, tanggunganku empat, Mas. Jadi tolong jangan tambah lagi. April kan belum punya anak, yang ia pikirkan cuma satu, kamu. Masa gitu aja gak bisa!” Tersenyum sangat manis kuberikan, seraya menepuk pundaknya.

Sempat tertangkap ada kerut dalam di antara alisnya. Ah ternyata ia cepat menua saat jauh dariku. Mungkin ubannya juga lebih dari puluhan sekarang.

Ia lelaki yang dulu penuh kewibaan, makin kehilangan pengakuan atas kapasitas lama bisa mengepalai warga. Jabatan RW sudah terlepas, apalagi kegiatan bersama karibnya berkurang, acara penting pun mulai tak diundang. Kurasa ini hukuman sosial yang menyakitkan, saat harga diri biasa tinggi tiba-tiba turun karena salah pilih jalan.

*

“Aya, sudah tau belum kalau rumah Danang disita? Ada tulisan itu di depan rumahnya.”

Seorang teman langsung menanyai itu saat kami bertemu.

“Aku gak tau. Mas Danang belum cerita,” dustaku segera mengalihkan perbincangan pada pekerjaan saja.

Teman ini pemilik mebel, aku sudah tiga bulan kerjasama dengannya sebagai pemasok bahan. Kita sama-sama perempuan yang aktif bisnis, ia baru saja meneruskan bisnis suami yang belum lama meninggal.

“Suka heran sama kamu bisa secuek ini. Apa beneran gak mau tahu? Aku juga pernah lihat April jalan sama orang loh.”

“Malas ah bahas itu, mending pikirin nyari duit buat anak-anak.”

Segala hal mengenai hati dan mereka ingin kulepas. Biarkan aku mencari kebahagiaan sendiri.

‘Mama jemput.’

Chat Syifa. Aku gegas pamit pada kawan ini menuju ke sekolah anak.

Tak sengaja mata lihat seorang perempuan berjalan kaki di trotoar seberang. Orang yang sangat kukenal. April.

Aku perlambat laju mobil.

Tak lama sebuah motor besar berhenti di sebelahnya lalu ia segera naik ke boncengan, memeluk tubuh lelaki berjaket kulit itu erat. Siapa itu? Apa teman kuliahnya?

Ah! Kuusap kasar permukaan wajah. Untuk apa juga aku harus mengurusi? Kembali kulajukan kendaraan menuju belokan ke sekolah Syifa.

Apakah pengkhianatan dibayar sama? Kasihan sekali kamu, Mas ….

*

Setelah sempat bertahan dengan bisnis-bisnis baru, kudengar kabar Mas Danang kembali terpuruk, itu kutahu dari teman-teman, sebab ia tak cerita apa pun saat kami bertemu. Hanya wajah kusut yang makin kurus itu memberitakan secara tak langsung. Semua asset tersisa habis. Sekarang mereka menyewa rumah sederhana, dan ia mulai sering pulang ke rumah ini.

Aku meminta anak-anak tetap tenang dan fokus dengan sekolah mereka. Naya sudah kuliah, dan Syifa bersiap menyusul sang kakak masuk perguruan tinggi negeri juga di ibukota. Keinginan mereka sekolah jauh, dan aku hanya mendukung. Sebuah rumah kusewa untuk mengirit biaya. Mereka kumpul dalam satu rumah tak jauh dari kampus.

April juga sudah lulus kudengar membuka toko pakaian di simpang empat kota. Mas Danang juga baru buka toko ponsel di pasar. Modal pinjaman seorang teman baik yang masih percaya padanya.

“Aku ikut senang, Mas. Kalian bisa bangkit. Yang pentingkan hutang tidak ada,” ucapku saat ia ada di rumah. Sedikit curhat tentang usaha barunya.

Mas Danang tengah menyeruput teh, duduk bersamaku dan Denok yang kini sudah SMA. Ia masih manja pada bapaknya. Sambil kami ngobrol Denok sesekali menyahut sambil mencabut uban pendek yang katanya gatal seperti kutu. Aku belum merasakannya.

Hubungan kami sekarang seperti sebatas teman, aku terbuka kapan ia mau bicara dan datang ke rumah, karena memang diri tak menyimpan dendam apa pun.

“Wisuda Kak Almira apa Ayah ikut?” Denok bertanya. Mas Danang lalu mendongak.

“Emang boleh ayah ikut?”

“Ya bolehlah, ya kan, Ma?”

Aku mengangguk, tak lupa senyum.

“Bawa Bunda April boleh?”

“Kak April, Yah. Kita tetap ogah manggil Bunda.” Denok manyun, Mas Danang tertawa. Ia selalu gagal menyuruh anak-anak memanggil istrinya Bunda. Aku pun geli kalau sampai putri-putriku memanggil April begitu. Mereka itu pernah akrab sebagai adik kakak, tentu aneh langsung memanggil lain. Aku saja tak setuju.

“Iya, iya, gimana kalau Kak April ikut?”

“Mas …” Aku membuka suara. “ini hari spesial Almira, kalau mau liburan sendiri silakan setelah wisuda aja. Bukan sama kami,” tegasku.

“Dik, April mau kamu menganggapnya sebagai saudara. Bukan dibedakan begini. Urusan ekonomi aja kalian sudah jauh beda, loh, kamu kok selalu buat pembatasan begitu.”

Syut! Darah ini terasa cepat naik ke ubun-ubun. Sepertinya arah pembicaraan mulai panas.

“Sayang Denok, masuk kamar dulu gih, mama sama Ayah mau bicara.” Kupandangi tenang bungsuku itu. Meski mereka sudah besar aku tak mau anak-anak mendengar pembicaraan serius orang tua.

Mas Danang terlihat jadi sensitif, ia menatapku tak suka.

“Kamu itu sudah terlalu egois.”

Mataku menyipit. “Tuduhan macam apa ini, Mas? Di mana letak salahku?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status