Share

9. Permintaan Syifa

“Ayo, makan yang banyak.” Aku menyuapi Syifa yang masih pucat. Bibirnya putih dan kering. Kemarin Hb-nya sempat drop, sampai butuh transfusi sekantung darah. Awalnya aku mau memberi darah ini, tapi kondisi kelelahan membuat fisikku tak memenuhi syarat. Akhirnya pakai dari yang tersedia di rumah sakit saja.

Kami memindahkannya dirawat di rumah sakit, ini sudah hari ketiga. Alhamdulillah, hasil pemeriksaan sementara tidak ada yang serius, walaupun masih butuh pemeriksaan lanjut. Keadaannya mulai membaik. Jantungku sempat dag dig dug terus menerus melihat kondisinya kemarin, kini bisa menarik napas lega.

 Mas Danang juga menyusul, ia tak tega melihat keadaan Syifa saat Nay meneleponnya via video.

Ya Rabb … keadaan kemarin terasa menampar diri. Aku tersadar saat-saat kritis itu hanya ada kekuatan lewat munajat pada-Nya. Tuhanku … satu-satunya tempat berharap saat aku takut kehilangan Syifa. Saat kondisinya terlihat sangat drop, masih terngiang bagaimana hatiku menjerit memohon Tuhan tak mengambilnya.

Aku masuk ruangan, mendadak kaku melihat Syifa terisak memeluk bapaknya. Anak-anakku begitu dekat dengan Mas Danang.

Aku menghela napas, mencari kekuatan diri sembari mendekat.

“Loh kenapa nangis, Sayang? Besok kita boleh pulang,” ujarku mengusap kepalanya. Mas Danang juga mengusap-usap punggung gadisku.

“… Ma … aku itu terus mimpi Ayah pergi dari kita ….” Air mata ini seketika mengalir, panas dan perih menjalar sampai ke dada.

Syifa lalu meraih tanganku, melepas Mas Danang lalu memeluk dadaku, hingga aku dan suami saling pandang dalam jarak dekat. Mata lelaki itu berkaca.

“Mama, Ayah jangan pernah pisah, Syifa gak mau kehilangan dua-duanya.” Aku menegang. Tak bisa menahan isak yang kemudian menyesak ke luar. Kami bertiga pun berpelukkan erat. Lalu Naya juga Al yang ada di sini ikut memeluk kami dari belakang.

“Syifa gak mau kita pisaaah, huu.”

“Ssst … jangan bicara begitu. Berdoa saja, Nak. Lihat kan mama sama ayahmu di sini.” Aku terus menenangkannya, meski hati sendiri sulit ditenangkan.

Beberapa saat suasana haru gara-gara Syifa yang jadi sensitif karena mimpinya. Aku diam-diam menelan rasa bersalah. Terpikir ingin menyerah memang terbersit di benak, saat Mas Danang menuntut hartanya. Rasa ingin cerai dan segera membagi gono-gini biar semua usai, itu yang ada di kepalaku kemarin-kemarin.

Apa syifa merasakannya sampai sakit begini?

Ya Rabb … berikan yang terbaik sesuai kekuatanku.

*

Aku bertahan di sini sampai Syifa siap ditinggal. Mas Danang lebih dulu pulang, karena telepon April hampir tiap jam, maklum ia pergi sampai lima hari. Kecurigaan di sana kalau kami berbulan madu terdengar saat Mas Danang menerima teleponnya, dan berusaha menjelaskan.

“Kami tidak ngapa-ngapain, kenapa pakai curiga gitu? Sayang, tau kan hubungan kami seperti apa …?”

“Percaya. Kamu itu gak ada duanya.”

Gombal Mas Danang padanya membuatku mual.

Tidak ada sakit untuk itu, karena memang nafsuku sudah hilang padanya. Andai bukan karena anak-anak mungkin ini sudah cepat kulepas. Rasa padanya hanya tertinggal sayang, kasihan ia yang dimabuk oleh syahwat sampai sulit melihat kekurangan April. Percaya begitu saja padahal banyak isu April punya pacar lebih muda. Ah, entahlah. Kapan mata Mas Danang terbuka.

Aku pulang setelah Syifa checkup lengkap agar diri ini tenang, syukur hasilnya semua baik-baik saja. Entah karena begitu tertekan dengan mimpinya sampai pingsan, Syifa belum juga membuka semua.

*

“Kenapa baru bilang, Laras?! Ini penting buatku!” Bagai terpukul palu besi kepala ini mendengar laporan adikku.

Saat kami di Jakarta, Denok selalu nginap di tempat April dan ada tetangga yang lihat anak itu diajak ke kafe remang-remang.

Aku tak tahan lagi untuk diam. Denok masih di sekolah dan aku sekarang akan ke rumah wanita itu! Belum juga ganti pakaian sejak dari penerbangan tadi, mobil langsung kulajukan membelah jalan sampai baru sadar dengan kecepatan penuh. Emosi ini begitu ingin meledak.

Aku menolak keras ada orang yang akan merusak pikiran putriku.

Di rumah sederhana itu tidak ada orang. Parkiran kosong dan pavingnya berlumut juga berumput di selanya, sama seperti hati pemiliknya.

Sampailah aku di toko pakaian serba seratus ribu miliknya. Ada terparkir sedan mini second yang harganya di bawah 100 juta, pengganti mobil mewahnya dulu, bersebelahan dengan mobil Mas Danang. Berarti lelaki itu ada di sini. Bagus biar tahu kelakuan istrinya. Mereka ini memang hebat, susah dan punya hutang banya tapi tetap gaya pakai mobil. Urat malunya sudah putus.

“Halo, Ce. Aku di depan ruko Galaksi. Lanjutin rencana kita, ya.”

“Beneran kamu? Baguslah. Lanjutin.”

“Oke, siap. Xie xie, Ce.”

“Sama-sama, Aya.”

Aku turun dari mobil setelah simpan ponsel ke dalam tas.

“Mana bosmu?” Aku tak melepas kacamata hitam, bertanya pada penjaga pakaian yang tengah mengganti pajangan manekin.

“Ada di belakang, Bu.”

Tanpa bertanya lagi aku langsung ke dalam. Ruang belakang ini rupanya ada sebuah pintu kaca riben, semacam ruang kantor. Aku mendorong tanpa mengetuk. Tak disangka mata langsung tertuju pada dua orang yang tengah bercint*, sambil berdiri di sudut.

Kubuang muka ke arah tembok. Bagai disengat, permukaan kulit wajah ini terasa panas.

 “Kalian hewan? Begituan tapi pintunya tidak dikunci?!” Kalimat ini sulit kutahan.

Masih kuatur napas karena kaget lihat pemandangan barusan. Sangat menjijikkan.

Mereka terdiam. Aku yang masih menghadap tembok berbalik. “Bagaimana kalau Denok yang masuk ke sini?!”

Muka Mas Danang merah padam, rambut acak-acakan. Ia merapikan kemeja menutupi celana bagian depan. April yang memakai terusan di atas lutut terlihat senyum dikulum. Tidak punya malu, bangga dengan perbuatannya.

“… maaf, Dik. Aku kebetulan aja ke sini.”

“Karena kebelet sampai ninggalin tokonya ke sini?” Aku tersenyum sambil menahan badan yang gemetar. Lelaki ini benar-benar puber kedua. Ia sulit mengendalikan diri.

“April, kenapa kamu bawa Denok ke karokean Puri, hah? Kamu mau rusak otak anakku?!” geram ini memuncak, ingin kujambak rambut pirangya. Wajah itu sekarang memang makin cantik, tapi aku tak merasa jatuh di bawahnya. Sikap yang buruk lebih rendah dari apa pun.

“Itu cuma tempat nongkrong biasa kok, Kak-“

“Kak? Aku bukan kakakmu. Panggil Ibu. Bu Soraya!”

“Dik-“ Aku mengangkat telapak tangan, tanpa melihat Mas Danang. Meminta tak ikut campur. Ini urusan perempuan.

“Buatmu begitu biasa. Senang-senang, rame-rame buang uang. Goyang kepala ngikutin musik? Minum-minum, gak ada batas laki-perempuan? Buat kamu itu biasa kan?!” kutekan setiap kata biar Mas Danang mendengar jelas. “Sedangkan buat anakku yang pikirannya masih bersih, beda! Jangan pernah bawa Denok lagi, ingat itu!”

“Sudah, Dik, sudah. Mereka masih muda, butuh hiburan juga.”

“Jangan tutup matamu, Mas. Hiburan yang gimana dulu? Silakan orang ini mau jungkir balik, Mas, tapi jangan bawa-bawa Denok!”

Aku memelototi nyalang perempuan yang mengusap-usap rambutnya dengan jari. Andai jadi penjahat sudah kulenyapkan manusia tanpa malu ini.

April, kamu lupa semua jasaku sampai kamu ada di titik ini. Oh, orang sepertimu pasti tak akan paham apa itu syukur, sampai kamu merasakan sulit yang sebenarnya.

“Ruko ini bulan depan sewanya aku naikkan empat kali lipat. Jadi sisa yang sudah kamu bayar itu akan nutupi pembayaran bulan besok. Itu kalau kamu setuju, kalau tidak silakan angkat kaki.”

Ia membelalak. “Tapi ini sudah disewa setahun-“

“Dik apa maksudnya ini?” Mereka berdua menatapku dengan sorot mata sama. Kaget.

“Ruko ini milikku, atas nama Naya. Jadi sebagai ibunya aku berhak mengatur aset anakku. Tinggal kamu pilih mau bertahan atau ke luar.”

Aku tersenyum sambil melangkah keluar, hampir bertubrukan dengan seorang pemuda berwajah mirip aktor Korea. Matanya merah dan bau tak enak menguar dari tubuhnya.

Aku menahan langkah melihat apa yang terjadi.

“Beb, minta uangnya, Beb. Aku pengen, nih!”

Aku menganga, begitu pun mulut Mas Danang tadi terbungkam dengar ruko ini punyaku langsung menganga. Merah padam mukanya sembari meraih tengkuk baju pemuda itu.

“Kamu siapa, hah?! Apa-apaan ini?!”

April mundur ke pojok ruang. Wajahnya pasi seketika.

“Eh, Pak Tua, ini pacarku.” Ia menunjuk April. Muka pemuda itu terlihat dalam pengaruh obat, tatapan matanya sayu dan tidak fokus.

Pukulan mas Danang tepat mengenai pipinya membuat April terpekik. Ah, urus urusan kalian. Aku melenggang ke luar tanpa ingin ikut campur.

Teriakkan dari dalam sudah dipastikan keributan antara tiga orang itu. Aku hanya menatap pajangan pakaian yang terlihat sangat murahan. Sebentar lagi tempat ini kosong.

Mas Danang mana tahu kalau aku akrab dengan Cece Liu, pemilik lima deret ruko Galaksi. Teman yang rencanakan sandiwara ini, untuk membungkam kesombongan mereka. Dua orang itu nyicil avanza dan sedan pada teman Cece secara pribadi, tapi sering nunggak dan sulit ditagih. Sisa sewa yang masih 4 bulan tak akan dikembalikan, tapi untuk lunasi hutang mereka. Uh, kasihan sekali nasibmu, Mas, sebentar lagi tak punya roda empat yang bisa dibangga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status