Share

Kebangkitan Pejuang Api
Kebangkitan Pejuang Api
Author: Belarvcn

1. Hanya Anak Biasa

Suara terompet dan parade memenuhi seisi kota hari ini, padahal masih dua pekan sebelum pertunangan Sang Pangeran. Dengan malas kubuka mata dan kupaksakan tubuhku untuk bangun. Setelah mengumpulkan nyawa sesaat, aku bergegas mandi lalu menyiapkan sikat, lap kain, serta semir sepatuku ke dalam kotak tua yang kugunakan untuk berkeliling mencari pelanggan.

Diriku masih tak bisa lepas dari bayang-bayang orang tuaku. Melihat kotak semir ini saja mampu mengingatkanku pada memori bersama mereka. Memori-memori hangat, seperti saat kami bertiga menjadi tim yang baik dalam urusan membuat alas kaki yang apik. Ayah sangat rapi dan teliti dalam mengerjakan sepatu-sepatunya, aku hanya membantu sedikit dengan memberi semir dan mengelapnya. Sedangkan ibu, ia yang menjadi bos kami yang baik, yang memberi semangat dan sepiring biskuit buatannya yang lezat.

Sayangnya, semakin kuingat, semakin sesak pula dada ini. Aku masih lari, belum bisa menerima semuanya.

Karena itu, aku berakhir di sini. Derasnya suara gemericik air memberi kesan tersendiri untukku. Menenangkan. Sering kusempatkan waktu di sela pekerjaan untuk mampir sejenak ke sungai kecil ini. Letaknya sukar untuk dijamah, sangat cocok untuk tempat menyendiri. Nyaman, keteduhannya sampai hingga hati dan pikiranku.

Akan tetapi, ada sesuatu yang aneh. Rasanya seperti ada mata yang mengawasiku dari kejauhan. Aku segera memutar kepala, mencoba mencari siapa yang mungkin sedang memperhatikanku. Namun, hanya semak-semak yang tergerak oleh hembusan angin dan pohon-pohon tinggi yang menyambutku.

Aku mencoba untuk tidak memperdulikan ini. Berusaha fokus menikmati lantunan arus di tepi sungai. Hembusan angin tiba-tiba berhenti menyapaku. Suara kicauan burung juga tidak lagi terdengar dengan tiba-tiba. Sunyi. Perasaanku tidak enak, ini seperti ketenangan sebelum sebuah bencana besar.

“Akhirnya aku menemukanmu, Gio”

Tunggu, suara siapa itu? Seperti ada yang memanggilku. Kutolehkan kepalaku untuk yang kedua kalinya. Namun, lagi-lagi nihil. Kali ini aku hanya mendapati seekor burung hantu yang bertengger di pohon tak jauh dari aku duduk.

Kuperhatikan dengan seksama, tatapannya seperti menghunus ke arahku. Sekali lagi aku dibuat bingung, mengapa ada burung hantu di pagi hari?

aku memilih bangkit dan beranjak pergi. Setiap langkahku terasa diikuti bayangan tak terlihat yang tampak mengikuti setiap gerakanku. Saat melewati gugusan pohon rimbun, aku memilih bersembunyi di baliknya, berusaha menajamkan telinga. Setelah itu, terdengar lirih suara langkah kaki. Benar, ternyata aku memang diikuti.

Dengan perasaan cemas, kuambil apapun di sekitarku untuk menjadi alat membela diri, berjaga-jaga jika yang mengikutiku adalah preman jalanan. Suara langkah kaki itu semakin dekat, aku menegakkan punggungku bersiap untuk menyambut siapa yang mengikutiku daritadi.

“AAAA.” Teriakan terkejut berasal dari pria di hadapanku setelah melihat kemunculanku yang tiba-tiba sembari mengacungkan sebilah dahan.

Bisa kukenali dia, tidak, semua orang di kota ini mengenalinya pula. Dengan seragam merah khasnya, dan kumis di sudut bibirnya, juga perawakannya yang tegas membuatnya ditakuti oleh warga. Mayor Aron, pimpinan militer Kerajaan Cosvan. Orang ini pula yang membantuku dalam penyelidikan kasus orang tuaku.

Sebenarnya aku berutang banyak padanya. Sebab, atas kebaikannya, aku bisa mengetahui sedikit tentang kejadian naas yang menimpa mereka. Dia yang membantu membujuk hakim agar mau melakukan pencarian kedua orang tuaku. Meskipun hasilnya tidak seperti yang diharapkan, aku tetap bersyukur atas kebaikannya.

“Mayor Aron, apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku padanya.

“Kau mengagetkanku, Gio. Aku hanya berpatroli di dekat hutan ini. Kau sendiri mengapa ada di sini?” telisik Mayor Aron.

“Aku hanya bersantai di tepi sungai, sebelum aku merasakan ada orang lain di sini, dan ternyata memang benar,” jawabku jujur padanya.

“Sebaiknya kita keluar dari sini. Pertunangan Pangeran Nicholas sebentar lagi, banyak tamu dari kerajaan lain, sayangnya banyak pula pencurian yang terjadi akhir-akhir ini. Jangan percaya dengan orang asing, Gio.” Perbincangan santai terjalin diantara kami sembari keluar menuju keramaian.

Aku termasuk orang yang mengagumi pria ini juga, dulunya aku bermimpi untuk menjadi tentara sama sepertinya, tapi itu hanya menjadi mimpiku untuk selamanya. Diriku yang sekarang harus bisa bertahan dengan menjadi penyemir sepatu, seperti yang seharusnya kulakukan saat membantu ayah.

***

Sinar hangat matahari menerpa wajahku dengan lembut, berbanding terbalik dengan keadaanku yang sedikit berantakan. Bajuku mulai lusuh, banyak coretan hitam di sekujur tubuhku, bau keringat bercampur matahari juga menambah lengkap penampilanku. Mungkin, bagi sebagian orang aku dianggap menjijikan, tapi bagiku itu adalah tanda bahwa aku bekerja dengan maksimal.

Bisa dibilang hari ini adalah hari baikku, banyak warga asing di penjuru negeri datang kemari, banyak pula pelangganku hari ini. Sudah terhitung empat orang mengandalkan jasaku menyemir sepatu, padahal belum dua jam aku berkeliling.

Kusandarkan punggungku sebentar di pinggir kolam taman untuk beristirahat sejenak. Segan diriku untuk duduk di bangku yang disediakan, karena banyaknya kelompok bangsawan di taman ini. Kutatap kepingan koin di tasku dengan bahagia, aku bisa membelikan beberapa makanan untuk Bibi Mia dan Evan saat pulang nanti.

Akan tetapi, perhatianku langsung teralih akan kehadiran kereta kuda yang sangat mewah berdiri tepat di hadapanku. Kereta berwarna hitam dengan goresan warna emas di beberapa sisinya itu menampakkan seorang pria tua di dalamnya dengan penjaga menyeramkan di kanan kiri kereta. Salah satu dari mereka memerintahkan untuk melayani si pria tua.

Tidak bisa kutebak dari kerajaan mana asalnya rombongan ini. Aura mereka sangat menyeramkan, membuatku bergidik ngeri. Jangankan untuk bertanya, menjawab tawarannya saja aku hanya bisa mengangguk. Meskipun begitu, aku tetap harus bekerja dengan profesional.

Kuambil sikat dan lap kain dari dalam kotak, bersiap membersihkan sepatu untuk pelanggan kali ini. Dengan hati-hati kubersihkan noda dan kotoran yang menempel pada sepatu itu. Kuseka setiap sudut dan lipatan dengan teliti, kini saatnya menyemir sepatu. Kuambil pasta sepatu dari dalam kotak, lalu mengoleskan dengan lembut di beberapa bagian sepatu yang ada di hadapanku. Kusikat dengan gerakan yang lembut dan hati-hati, memberikan kilau yang sempurna pada permukaan sepatu.

“Hey, Nak, namamu Giovanni Colton bukan?” kata Sang Empunya sepatu tiba-tiba. Aku sedikit terkejut, pelanggan yang sedari tadi diam dengan cerutu yang terselip di bibirnya itu tampak seperti pedagang kaya lengkap dengan jas mewah yang membalut tubuhnya. Bagaimana ia tahu namaku?

“I-iya, Paman.” Gawat, kenapa suaraku bergetar saat menjawabnya?

“Apa kau tahu tentang ‘Orfeo ed Euridice’ karya Christoph Willibald?” tanya pria tua.

Sesungguhnya aku tahu kisah itu, kisah yang amat romantis sekaligus tragis, tetapi aku hanya membisu, mengamati maksud dan tujuan pria mencurigakan ini. Dengan ekspresi datar, ia tetap membolak-balik surat kabar di tangannya.

“Kisah tentang penyelamatan Euridice dari alam baka oleh pasangannya, Orfeo. Atas izin Dewa, Orfeo, diberi kesempatan untuk mengambil jiwa istrinya di alam kematian. Namun, akibat dari sifat ceroboh dan kurang sabar dari Orfeo, ia gagal mendapatkan kembali jiwa Euridice yang akhirnya menghilang untuk selamanya.” Sepertinya ia telah selesai dengan sesi dongengnya.

Dengan telaten, pria tua itu melipat kembali surat kabarnya. “Dalam kisah ini, aku yang akan berperan menjadi Dewa, menuntunmu ke alam kematian untuk menyelamatkan Gabriel dan Eva, serta akan kupastikan kau sebagai pemeran Orfeo, tidak melakukan hal bodoh yang berujung pada kesedihan abadi,” pungkas pria itu kepadaku.

Mataku membola mendengar akhir ceritanya, bagaimana bisa dia mengetahui nama orang tuaku? Bahkan ia mengetahui mereka telah meninggal? Apa-apaan ini? Hatiku dibuat bergejolak, pikiranku mendadak pening. Apa maksudnya menjadikan hidupku layaknya drama tragis? Aku tidak tahu harus menimpalinya apa.

“Hey, Nak, ikutlah denganku, kau akan bisa bertemu dengan Gabriel dan Eva,” lanjut pria itu mengajakku dengan senyum menyeramkan.

“Tidak, Paman, maaf aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku,” jawabku sambil bergetar. Aku harus segera menyelesaikan satu sepatu ini dan keluar dari situasi gila ini.

“Ayolah, Nak, mereka berdua belum meninggal, kau hanya perlu menyelamatkan mereka. Jadi, ayo ikutlah denganku!” paksa pria tua itu. Tidak, ini tidak benar, sudah tiga tahun mereka meninggalkanku seorang diri, tidak mungkin mereka masih hidup tanpa mengabariku.

“Akkhh, lepaskan tanganku, Paman!” Sungguh gawat, apa aku akan diculik? Tak kehilangan akal, kugigit tangan yang menggenggam pergelanganku. Yang kemudian terjadi adalah diriku terhempas ke belakang. Para pria besar penjaga itu sedang sibuk menolong si pria tua.

“Tcihh, dasar anak kurang ajar, aku kemari untuk membantumu!” bentak pria menyeramkan itu.

Aku memandang dengan penuh rasa takut ke arah pria yang sedang memegangi tangannya kesakitan. Segera kuberlari menjauhi tempat itu.

Mimpi apa aku semalam, bisa-bisanya bertemu dengan pelanggan menyeramkan seperti dia.

Sepertinya ia adalah rentenir yang mengincarku untuk melunasi utang ayah dan ibu. Tapi, aku tidak ingat mereka pernah berutang ke rentenir gila. Mungkin, orang tuaku meninggalkan utang yang begitu banyak, hingga pria tadi datang mencariku setelah tiga tahun ini.

Bualan tadi bisa jadi modus baru, aku curiga jika aku ikut dengannya, aku akan berakhir dijual menjadi budak. Tidak mau. Takkan kubiarkan itu terjadi. Aku berlari sekencang mungkin, semua peralatan menyemirku kutinggalkan begitu saja, tak apa yang penting aku bisa kabur terlebih dahulu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status