Share

Part 25

Keenan masuk ke dalam kamarku sambil menyeringai lebar.

"Mau apa kamu ke sini?"

"Belum tidur sayang?"

Aku meneguk ludah dengan susah payah. Seluruh tubuhku langsung gemetar.

"Aku ingin bermain-main denganmu!" Keenan mendekat ke arahku dengan perlahan.

Aku langsung merasa gugup.

Grekk!!!

"Happy birthday to you..."

"Happy birthday to you..."

Di belakang punggung Keenan muncul banyak orang yang bersorak soray sambil meniup trompet dan melemparkan balon-balon ke langit kamar.

Kedua mata ini membulat. Aku terkejut bukan main. Ada mama Reno, Rani, Olivia, Pita?

Ya, ada Pita di sana. Juga Ben, Sevelyn, Cindy, dan Melin. Bagaimana ceritanya mereka bisa ada di Jakarta malam-malam begini?

Jam 00.08.

Mengucapkan ulang tahun. Mereka berjingkrak-jingkrak heboh sambil menyanyikan lagu ulang tahun untukku. Keenan yang berada tepat di depanku terkekeh. Aku sudah berhasil mereka kerjai.

Kemudian muncul dari belakang seorang pria yang membawa kue di tangannya. "Selamat ulang tahun Puspa."

Aku masih mengerjap-ngerjapkan mata. Rasanya sulit sekali dipercaya kalau apa yang aku lihat sekarang adalah kenyataan.

"Nggak nyangka umur kamu sekarang udah 26 tahun." Reno duduk di tepi ranjang kemudian tersenyum ke arahku.

"Potong kuenya dong." Reno kembali melemparkan seulas senyum.

"Kok nggak ada lilinnya?"

"Kita nggak pakai lilin, Sayang."

Rani dan orang-orang yang ada di dalam kamarku bersorak. "Ayo potong! Potong!!"

"Potong kuenya, potong kuenya." Mereka semua bernyanyi.

Aku meringis menahan malu. Sekaligus senang. Campur aduk. Seperti es campur.

Seperti kata Wira Nagara. Andaikan aku jadi kuli bangunan, aku tidak akan mau mencampur pasir dan mesin, karena aku percaya bahwa cinta bisa menyatukan segalanya.

Aku memotong kue itu dengan pisau yang sudah tersedia. Reno dengan usil mengolesi pipiku dengan coklat yang ada di kue tersebut.

Reno terkekeh saat aku mengerucutkan bibir. Suasana mendadak hening, ketika kembali kulanjutkan memotong kue.

"Siapa nih yang mau disuapin lebih dulu?" celetuk Rani mengedipkan sebelah matanya.

Aku bingung. Mau menyuapi Pita dulu atau mamanya Reno yang lebih tua.

"Suapin Reno dulu," teriak Olivia diikuti sorak soray orang-orang yang ada di dalam kamar.

"SUAPIN! SUAPIN! SUAPIN!" teriak mereka semua heboh. Sevelyn dan Melin meniup trompet keras-keras. Sementara Cindy melempar balon-balon.

Ah, iya, aku tidak kepikiran untuk menyuapi Reno terlebih dahulu. Memang benar. Reno adalah orang paling spesial untukku di sini.

Reno tersenyum saat aku mulai mengangkat sepotong kue dan mengarahkan kue tersebut ke mulutnya.

Semua orang yang ada di dalam kamar semakin berteriak histeris. Bahkan Keenan tampak terlonjak-lonjak. Baru tahu kalau dia sekonyol itu.

Reno mengunyah kuenya dengan lahap. Sampai gigitan terakhir. Pria itu berhenti mengunyah. Merogoh mulutnya, mengambil sebuah cincin di sana. Rupanya tertanam cincin di dalam kue tersebut. Untung belum ke telen.

Suasana mendadak hening, ketika Reno membersihkan coklat-coklat yang menutupi kue tersebut. Mengemutnya hingga bersih. Kemudian mengelapinya dengan tissue.

"Pus ...." Reno terdiam.

Aku menahan napas hingga beberapa detik.

"Maukah kau menjadi pendamping hidupku?"

Semuanya terdiam. Sementara aku menelan ludah dengan susah payah.

"Pus?"

Aku melirik ke arah semua orang yang menunggu dengan wajah harap-harap cemas, kemudian kembali menatap Reno. Menyelami manik mata coklatnya. Menciptakan debaran-debaran aneh di dalam dada.

Hingga akhirnya aku menggangguk pelan, dam semua yang ada di dalam kamar langsung berjingkrak-jingkrak ria bak suporter sepakbola.

Aku menyodorkan tangan agar Reno bisa memasukkin cicin itu ke jari manis.

"POTONG KUENYA LAGI!" teriak mereka semua.

"Kok, kalian jadi baik, sih?" tanyaku gemas.

"Jebakan batman," sahut Keenan sambil terkekeh.

"Katanya Olivia calonnya Reno?"

"Settingan kak. Olivia itu sepupu kami." Rani menyela.

"Ishh!" Aku mencubit lengan Reno. "Aku takut deh, kalau jadi istri kamu. Kamu buat jantungan terus."

"Namanya juga agen rahasia. Makanya misterius."

***

Karena Reno adalah seorang Intel agen, maka pernikahan kami akan digelar secara kecil-kecilan. Untuk menanggulangi resiko bocornya identitas Reno. Sebagai agen rahasia, Reno sudah terbiasa hidup dalam penyamaran.

Tepatnya setelah satu bulan Reno melamarku. Aku, Pita, dan pakde budeku yang bertindak sebagai wali diajak ke Jakarta untuk melangsungkan pernikahan.

Dan...

Malam ini.

Malam yang bikin senyum-senyum sendiri.

Aku, Reno bahkan mungkin juga kalian semua yang sedang membaca pasti sedang menahan senyuman.

Ya, malam pertama.

Hmm...

Aku ulangi sekali lagi. Ini adalah malam pertama kami.

Rasanya aku begitu canggung bersama dengan Reno dalam satu kamar. Walaupun dulu kami pernah tidur satu kamar, tapi momen malam ini sangat berbeda.

Kami bebas ngapa-ngapain haha...

Kalau dulu, sih, aku sampai nggak bisa tidur karena dikerjai Reno. Sekarang apakah tetap tidak bisa tidur juga?

Aku sudah berganti baju dengan piama tidur. Sementara Reno sekarang sedang mandi.

Beberapa menit kemudian Reno keluar dengan memakai kaos oblong dan celana pendek. Handuk menyampir di bahunya, dengan keadaan rambut yang setengah basah.

Jantungku berdebar-debar kencang. Saat Reno tersenyum jahil.

"Tegang banget," ucap Reno sambil menyampirkan handuk di sebelah lemari. "Takut langsung aku serang, ya?"

"Apaan, sih?" Wajahku memerah.

"ARGGHH ... AKU HAUS AKAN DARAHMU!!!" Reno tiba-tiba berlari kearahku sambil berteriak seperti monster kesetanan.

"Reno!" pekikku kaget sambil menutupi wajahku dengan kedua tangan.

Reno berhenti berlari tepat di depanku, kemudian terkekeh. "Takut amat."

"Kamu nakut-nakutin tau!" Aku mengerucutkan bibir.

Reno tersenyum, lalu duduk di sebelahku. Aroma maskulin dari tubuhnya langsung menguar di udara. "Nanti mainnya lembut aja."

"Main apa, sih?" Aku geregetan dengan bahasa yang ia ucapkan.

"Main game online."

Aku memukul pundaknya manja.

"Siap belum?"

"Siap apa?"

"Malam pertamalah."

Duh, Reno kau benar-benar membuat jantungku ingin meloncat.

"Kenapa gugup?"

"Enggak." Aku menggeleng malu. Sumpah, rasanya tidak bisa digambarkan lewat kata-kata.

"Jangan-jangan kamu takut ketahuan kalau sudah tidak perawan."

"Aishh, ya enggaklah." Aku mencubit lengannya.

"Kali aja."

"Aku kan udah cerita kalau mas Aldi dulu nggak pernah mau nyentuh aku."

"Masak?"

"Ngeyel!"

"Kali aja kamu lupa."

"Lagian dia nggak tertarik sama cewek gendut. Pas jadi langsing dia baru jelalatan deketin lagi."

"Berarti gendutmu ada berkahnya."

Aku menaikkan sebelah alis.

"Bikin kamu masih tetap ori. Karena menjaga kesucian kamu buat aku." Reno tersenyum senang.

"Aku malah meragukan kamu masih perjaka apa enggak."

"Apa yang membuatmu curiga?"

"Kamu nggak kelihatan gugup sama sekali."

Reno mencubit hidungku. "Namanya laki-laki ngapain gugup. Parah tuduhanmu!"

Wajahku memerah karena dicubit Reno. "Nakal banget, sih?"

"Biarin. Kan, nakalnya cuma sama kamu aja."

"Gombal!"

"Kamu nggak usah khawatir. Aku masih ori kok. Ini hubungan pertamaku dengan perempuan."

"Kelakuan anehmu yang tidak bisa ditebak itu tidak mencerminkan itu."

"Ngeyel!" Reno meniru gaya bicaraku.

"Aku hanya memberi tahu, kalau kamu tidak percaya terserah. Lagipula Tuhan yang menilai semuanya."

Iya, deh.

Kalau Reno berani menyebut nama Tuhan, aku harus percaya.

Reno menatapku lekat. Aku menunduk sambil menggigit bibir.

"Pus."

Masih menundukkan wajah dalam-dalam. Aku terkejut saat Reno mengangkat daguku. Memaksaku menyelemai iris mata teduhnya. Tenggelam dalam syahdunya cinta yang halal.

Kami berdua masih saling tatap. Hingga beberapa detik.

"Boleh aku cium kamu?"

Aku tidak mampu memberi jawaban karena sudah terhipnotis dengan wajah Reno yang mempesona.

Reno mengecup bibirku agak lama. Langsung terasa sengatan listrik yang menyebur ke seluruh tubuhku. Tegang, tapi menyenangkan.

Reno melepas ciumannya, kemudian tersenyum.

"Mainnya di kamar mandi aja, yuk, biar lebih greget."

Reno meraih tubuhku, menggendongnya ala bridal style. Lalu melangkah ke kamar mandi.

Aku langsung mencak-mencak. "Kok aneh-aneh sih!"

"Bodo amat! Istri harus nurut apa kata suami.

"Reno aku nggak mau!" teriakku kesal.

Setelah sampai di kamar mandi, dia menurunkanku. Kemudian tersenyum miris. "Kita mau wudhu."

Reno membuka kran air kemudian wudhu di sebelahku.

"Gila apa nggak mikir solat. Mentang-mentang bahagia udah menikah," cibir Reno selesai wudhu.

Aku masih melongo kayak orang bego. Kemudian menepuk jidat.

Astaghfirullah!

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status