"Apa maksudnya, Suster. Ini sudah sakit sekali bagaimana bisa masih belum," erangku menahan rasa sakit yang kembali datang. "Sabar yaa, Bu." Perawat itu membantuku tidur miring kembali dan mengusap-usap pinggangku.Nyaman terasa saat tangan lembut itu mengusap pinggangku. Tak lama kemudian, Perawat itu kembali berjalan keluar kamar, aku berteriak memanggilnya. "Suster mau kemana, jangan pergi. Aku udah gak tahan lagi," pekikku kencang. "Mas, sakit Mas. Aku nggak mau lagi kalau kayak gini. Aku mau operasi saja." Aku berkata sembari menatap ke arah Mas Abi yang masih berdiri di samping ranjang. Wajahnya tampak khawatir melihatku. Pria itu kembali duduk di atas kursi yang berada di samping ranjangku."Iya udah, ayo gimana baiknya," sahutnya seraya meriah tanganku lagi. Tak lama berselang, masuk lagi dua orang perawat ke dalam kamarku."Mari Bu, ke ruang tindakan," ucap salah satu dari perawat tersebut. "Saya udah gak bisa bangun lagi, Sus." Rasanya aku memang sudah tidak sanggup b
Rumah sudah mulai sepi kembali, tinggal Mama dan Papa, juga kedua teman yang selalu ada untukku, Kaira dan Lili.Hari ini kami mengadakan acara aqiqah untuk anak ke tiga kami. Bayi laki-laki yang kami beri nama Khairul Azzam itu, saat ini sudah berusia dua minggu. Kami sengaja melakukan acara aqiqah setelah dua minggu kelahirannya agar keadaanku sudah pulih saat kami mengadakan acara tersebut. Bahkan Kaira dan Lili juga tidak aku izinkan untuk datang menengok saat aku masih dalam keadaan belum sehat. Hari ini adalah hari pertama mereka datang setelah aku melahirkan. Saat itu aku memang benar-benar ingin istirahat total tanpa ada yang menjenguk, hanya Mama dan Papa yang bolak-balik datang ke rumah kami. Kelahiran kali ini begitu sulit, penuh dengan perjuangan, sehingga aku tidak mau segera ditengok oleh siapapun agar bisa banyak beristirahat. Aku, Kaira, dan Lili, saat ini sedang berada di teras rumah. Tadi setelah acara memang keduanya sengaja tidak pulang dan ingin ngobrol dengank
Mobil yang dikendarai Mas Abi bergerak menjauhi rumah kami. Hari ini lelakiku itu mengajakku jalan-jalan tanpa anak-anak bersama kami. Dia ingin mengajakku refreshing, menyenangkan diri, merilekskan tubuh dan otot-otot setelah beberapa waktu yang lalu berjuang melahirkan putra kami. Awalnya aku menolak karena kasian anak-anak, ditambah lagi bayi kami baru dua bulan. Gimana jika nanti rewel kalau ditinggal. Setelah meyakinkan diriku, akhirnya aku mengikuti kemauan Mas Abi. Qia dan Albi pergi ke rumah Omanya. Keduanya di jemput pagi-pagi sekali, sedangkan Azam di rumah dengan pengasuhnya. Aku sudah menyediakan ASIP yang cukup banyak, cukup hingga sore atau bahkan malam nanti. "Kemana kita, Mas?" Tanyaku pada lelaki yang duduk di sampingku.Fokus menyetir kendaraan roda empat yang kami tumpangi. "Bersenang-senang. Mencari hiburan, kamu pasti penat terus berada dirumah. Sejak melahirkan, kamu belum pergi kemanapun." Perkataan Mas Abi memang benar, sejak melahirkan aku menghabiskan ba
"Aku tidak mau bercerai mas!""Tapi aku tidak bisa bersamamu lagi," sahutnya. Lelaki itu, Galih Pratama. Suami yang sudah membersamaiku selama hampir lima tahun sekarang tiba-tiba saja mengajakku untuk mengakhiri hubungan pernikahan kami. "Kenapa mas, apa salahku? aku mengikuti semua keinginamu, tinggal dan bekerja dari rumah, aku juga mengurus ibumu dengan baik, bahkan usaha kita berkembang begitu pesat, aku yang selama ini mendukungmu mas," ujarku dengan perasaan mulai hancur."Ya, kamu wanita yang sangat baik dan penurut. Bahkan tidak ada yang bisa menandingi kebaikanmu dalam mendampingiku. Aku yang sudah berbuat jahat di sini," sahutnya pelan. "Apa maksudmu mas, apa kamu punya wanita lain?" tanyaku dengan suara bergetar. Lelaki dihadapkanku ini tidak mengucapkan sepatah katapun, dia hanya diam membisu dan tertunduk. Melihatnya pikiranku semakin kacau, apakah benar yang aku pikirkan saat ini. "Siapa dia mas, katakan padaku?" Aku bertanya sambil mendekatkan diri padanya."Dania
Pagi-pagi sekali aku sudah membereskan semuanya, membantu ibu yang kemana-mana harus di bantu dan di awasi karena kakinya yang sudah tidak kokoh lagi menopang berat tubuhnya. Malam tadi suamiku tidak pulang, apa dia tinggal dan menginap di tempat Dania? Dadaku bergemuruh jika membayangkan hal tersebut. Setelah menyiapkan makanan untuk ibu, membantunya pergi ke kamar mandi untuk mandi pagi, aku segera membersihkan diriku sendiri dan bersiap untuk pergi ke ruko. Aku harus menemui wanita itu hari ini juga. "Bu, Safa pamit dulu ya. Mau ke ruko, kalau ada apa-apa langsung hubungi Safa saja ya. Ada yang harus di selesaikan," ucapku berpamitan kepada mertuaku. "Hati-hati kalau kemana-mana ya, Bu," pesanku memastikan. "Iya tenang saja, ibu bisa di tinggal kok. Kamu juga perlu sekali-kali keluar rumah jangan ngurusin ibu terus. Kamu juga perlu refreshing," tutur wanita yang sudah melahirkan mas Galih itu. Setelah kucium tangannya dan berpamitan, segera ku ayunkan langkahku menuju pintu k
"Tidak bisakah kamu meninggalkan wanita itu untukku mas," ucapku sambil menyiapkan makanan untuk suamiku.Bagaimanapun juga aku masih berusaha untuk mengembalikan suamiku padaku, apalagi setelah tadi aku bertemu dengan Dania. Aku semakin yakin jika wanita itu tidak hanya tertarik pada suamiku, tapi juga apa yang dimilikinya. Bahkan saat tadi dia pulang, aku tidak menanyakan darimana dia. Semalam tidur dimana, aku menyambutnya bagikan tidak terjadi apa-apa sebelumnya."Tidak usah membohongi diri sendiri, Safa. Kamu tahu jika keputusanku tidak bisa diubah. Bagaimana bisa istri yang sudah di khianati suaminya masih berharap dia kembali, lagi pula Dania sedang hamil. Dia mengharapkan aku selalu bersamanya dan meninggalkan dirimu."Jawaban dari pria yang sedang duduk di hadapanku ini sangat menusuk hatiku, dia benar-benar sudah tidak memedulikan lagi bagaimana perasaanku.""Kamu tidak akan menyesal dengan keputusanmu ini mas? wanita itu hanya tertarik dengan kesuksesanmu, apa kamu yakin d
POV Galih_______Aku sudah terlelap saat ponselku terus berdering, aku pikir siapa yang malam-malam begini menelponku. Saat melihat nama Dania yang tertera di layar, aku segera mengangkat panggilan tersebut. Dia bilang perutnya sakit hingga akhirnya aku segera bergegas ke rumahnya. Aku tidak mempedulikan lagi bagaimana perasaan Safa, toh dia sudah tahu semuanya. Dan bahkan dia juga sudah setuju dengan keinginanku untuk bercerai, tinggal mengurus semuanya ke pengadilan dan kami akan resmi menjadi mantan suami istri.Begitu sampai di rumah yang di tinggali oleh Dania aku segera membuka pintu dengan memakai kunci yang aku miliki. Rumah ini adalah rumah yang aku dan Safa beli di kota ini diawal-awal usaha kami mulai merangkak naik. Daripada dibiarkan kosong karena kami pindah ke rumah yang lebih besar dan nyaman seiring makin suksesnya usaha kami, maka rumah ini di tempati oleh Dania yang saat itu baru datang dari desa untuk bekerja di tempat kami. Tentunya ide itu keluar dari kepala S
Mas Galih begitu sibuk mengurusi perceraian kami, bahkan dia tidak peduli dengan permintaan ibu untuk memikirkannya kembali keputusannya. Sepertinya dia memang sudah tidak peduli lagi padaku, dan akupun juga sudah mulai bisa menguasai diriku sendiri. Bahkan aku dengar wanita itu mau juga merawat ibu mas Galih. Baguslah jika memang begitu, beliau tidak akan hidup disia-siakan oleh anak dan menantu barunya. Mas Galih lah yang mengurus semuanya, dokumen-dokumen yang diperlukan hingga daftar kekayaan yang kami miliki setelah menikah. Yang aku tahu, memang harus melampirkan itu jika kami berniat langsung membagi harta Gono-gini. Jika tidak melampirkan saat mengajukan gugatan cerai, maka kami harus mengurusinya lagi setelah terjadi perceraian. Dokumen yang di siapkan oleh mas Galih berupa, surat nikah asli, Fotokopi surat nikah 2 lembar lengkap dengan materai dan sudah dilegalisir, Fotokopi KTP, Fotokopi KK serta Surat kepemilikan harta. ( sumber : pobela.com.)Kami tidak menyertakan akt