Share

Perceraian

Mas Galih begitu sibuk mengurusi perceraian kami, bahkan dia tidak peduli dengan permintaan ibu untuk memikirkannya kembali keputusannya. Sepertinya dia memang sudah tidak peduli lagi padaku, dan akupun juga sudah mulai bisa menguasai diriku sendiri.

Bahkan aku dengar wanita itu mau juga merawat ibu mas Galih. Baguslah jika memang begitu, beliau tidak akan hidup disia-siakan oleh anak dan menantu barunya.

Mas Galih lah yang mengurus semuanya, dokumen-dokumen yang diperlukan hingga daftar kekayaan yang kami miliki setelah menikah. Yang aku tahu, memang harus melampirkan itu jika kami berniat langsung membagi harta Gono-gini. Jika tidak melampirkan saat mengajukan gugatan cerai, maka kami harus mengurusinya lagi setelah terjadi perceraian.

Dokumen yang di siapkan oleh mas Galih berupa, surat nikah asli, Fotokopi surat nikah 2 lembar lengkap dengan materai dan sudah dilegalisir, Fotokopi KTP, Fotokopi KK serta Surat kepemilikan harta. ( sumber : pobela.com.)

Kami tidak menyertakan akte kelahiran karena memang belum miliki anak, dan sepertinya salah satu alasan dia terjebak dengan wanita itu adalah karena anak.

"Kamu boleh mengambil rumah ini, dan aku akan mendapatkan ruko. Keduanya bernilai hampir sama," ucap mas Galih pagi ini saat kami sedang sarapan bersama.

Lucu memang, kami sudah akan bercerai tapi kami masih tinggal bersama dan makan bersama, hanya tidur saja kami sudah tidak se-kamar lagi. Aku tidak mau terganggu dengan dering telepon dari istri sirinya itu setiap saat. Jadi aku meminta suamiku tidur di kamar lain. Rumah ini memang cukup luas dan mewah, ada empat kamar didalamnya. Dua dilantai bawah dan dua lagi di lantai atas.

Kamar utama yang ada di bawah biasanya menjadi kamar tidurku dengan mas Galih, sedangkan kamar yang satunya lagi di tempati oleh ibu.

Kami yang hanya tinggal bertiga dirumah ini, membuat suasana rumah cukup sepi. Kamar dan ruang atas aku pakai untuk bekerja membuat pola maupun sketsa, lantai atas sudah seperti kantor bagiku. Hanya satu kamar yang di fungsikan sebagai mana mestinya yaitu untuk tidur.

"Aku mau rumah ini dan juga toko dengan segala isinya," sahutku pendek. "Kamu boleh mengambil ruko dan juga rumah yang ditempati oleh Dania, sisanya kita jual dan bagi dalam bentuk uang" ucapku lagi.

"Bagaimana bisa kamu mau toko juga, untuk apa?" tanyanya seperti tidak setuju.

"Untuk apa katamu mas? ya untuk mencari nafkah aku harus menghidupi diriku sendiri bukan. Apa kamu berniat membuatku tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali setelah menceraikan diriku. Apa itu yang diinginkan oleh istrimu itu, hah?!"

"Tapi darimana kamu akan mengisinya, toko itu lama-lama juga akan habis barangnya jika terjual."

"Tidak usah sok peduli padaku mas! Kamu pikir semua yang kita produksi itu siapa yang membuat idenya, designer? atau klien kita sudah memberikan pola jadi dan siap di potong? mereka hanya memberikan gambaran dan aku yang membuatnya. Apa kamu lupa?"

Lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suamiku itu hanya bisa terdiam. Sepertinya dia lupa jika istrinya ini memiliki kontribusi besar dalam usaha yang kami miliki.

"Rumah dan ruko tiga lantai dengan segala isinya itu tetap tidak seimbang mas, kamu pikir berapa harga peralatan yang tersedia semuanya disana, semua bernilai bukan. Aku tetap akan meminta toko itu maupun rumah ini dan kamu mendapatkan ruko juga rumah yang ditempati oleh Dania!"

"Terserah kamu mau atau tidak, tapi jika tidak mau, maka aku akan mempersulit proses perceraian ini. Kamu yang salah disini mas, kamu menikah tanpa sepengetahuanku, bisa saja aku menuduhmu berselingkuh! Aku tidak peduli yaa jika kita menghabiskan banyak waktu dan uang untuk mengurus perceraian ini. Bahkan kalaupun kita jatuh miskin sekalipun aku tidak peduli. Aku terbiasa hidup susah, tapi tidak tahu dengan gundikmu itu!" ucapku berapi-api.

"Jangan menyebutnya dengan panggil itu," seru mas Galih tidak terima.

"Lalu aku harus menyebutnya apa? pelakor, simpanan?"

"Kami sudah menikah secara sah dimata agama, dia istriku!"

"Iya, istri yang dinikahi setalah menggoda suami orang lain. Apa itu namanya kalau bukan pelakor, beda cerita jika kalian jujur sejak awal dan aku tahu semuanya dari awal sebelum kalian menikah!"

"Kamu tidak akan mau jika kami jujur sejak awal."

"Itu kamu tahu, karena tidak semua wanita ingin berbagi. Buktinya Dania saja memintamu untuk menceraikan aku kan. Tapi jika kamu jujur sejak awal, setidaknya ceraikan aku terlebih dahulu, bukan sekarang setelah dia hamil!" pekikku lantang.

Aku sudah tidak peduli lagi jika ibu mertuaku mendengar pertengkaran dan perdebatan kami. Toh beliau sudah tahu semuanya, tidak ada lagi yang perlu di tutup-tutupi sekarang ini.

Pagi ini kami sarapan sambil bertengkar, mungkin setelah berpisah kami akan menjadi musuh ataupun saingan. Aku tidak peduli, aku akan membuktikan jika tetap bisa berdiri tegak dan sukses tanpa dirinya.

*****

Proses perceraian kami pun terjadi tanpa banyak drama, meskipun tetap ada tahapan mediasi dan lain-lain sesuai prosedur, namun kami memang sudah membulatkan tekad untuk berpisah.

Kami mengikuti semua prosedur dan aku juga tidak mempersulit prosesnya karena mas Galih sudah berjanji memberikan rumah dan toko itu padaku.

Semua berjalan lancar dan akhirnya hari ini aku sah tidak bersuami. Status baru yang aku sadang adalah status yang tidak diinginkan oleh semua wanita. Bahkan aku tidak pernah membayangkan akan menyandangnya. Rumah tangga yang aku pikir sangat tenang, usaha yang gemilang, nyatanya tidak membuat rumah tangga kami diterpa badai perpisahan.

Aku mengirup nafas dalam-dalam sebelum akhirnya akan pergi dari halaman pengadilan agama ini. Mengisi rongga dadaku yang tiba-tiba saja terasa sesak seperti kehilangan oksigen.

"Kamu kuat Safa, dia bukan yang terbaik bagimu, jodohmu dengannya hanya sampai disini," ucapku pada diriku sendiri.

Kudekap erat map yang berisi akta cerai milikku. Aku tidak boleh meratapi apa yang sudah terjadi, apapun itu pasti akan ada hikmah yang aku petik suatu saat nanti.

"Apa kamu baik-baik saja?" sebuah suara mengangetkan diriku.

"Tentu, aku sangat baik-baik saja. Kamu tidak usah lagi mempedulikan diriku, mas," sahutku setegas mungkin.

Aku tidak ingin terlihat lemah dimata mantan suamiku itu tidak peduli apa, dia harus melihatku sebagai wanita yang kuat sekuat karang.

"Aku akan kerumah nanti sore menjemput ibu," ujarnya lagi.

Ibu memang masih tinggal bersamaku, mungkin hari ini adalah hari terakhir kami bersama. Seiring perpisahanku dengan putranya maka putus juga hubungannya denganku. Aku hanya berharap jika mertua yang sudah seperti ibuku sendiri itu akan hidup bahagia bersama menantu barunya.

"Oke!" sahutku datar. "Aku pergi dulu," ucapku berpamitan tanpa menoleh lagi padanya.

Dia masa laluku tidak akan aku biarkan diriku ini melihat kebelakang, sekarang ataupun dimasa yang akan datang. Kita lihat mas, siapa yang akan paling bahagia nantinya. Aku tidak akan memburu diriku terpuruk dan menderita saat kamu tinggalkan.

🍁🍁🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status