Amira menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Ia menangis dibalik bantal. Pikirannya masih tak percaya kalau suaminya ada main dengan perempuan lain dibelakangnya. Setiap kata-kata yang ia baca tadi, baginya ibarat sebuah pedang yang menghunus tajam dan membuat perih hatinya seperti disayat-sayat.
"Berarti selama ini mas Herman hanya bersandiwara didepanku? setiap kata dan perilaku manisnya hanya untuk menutupi kebohongannya belaka," Pikirannya melayang-layang. Menikmati setiap rasa sakit yang kini tengah ia rasakan.
"Apa salahku? Apa kurangku mas," Amira menangis semakin menjadi jadi."Sejak kapan mas Herman begitu dibelakangku? Lirihnya dalam hati.
"Siapa sebenarnya wanita bernama Adinda itu? apa aku harus menanyakan langsung pada mas Herman, atau aku cari tahu sendiri?" Amira bermonolog. Seribu pertanyaan berputar-putar didalam otaknya. Ada sesak yang tak bisa ia tahan dalam dadanya. Ada rasa
Setelah semua masakannya selesai, Amira kembali ke kamar dan membangunkan suaminya."Mas bangunlah, sudah siang," Amira menggoyangkan sedikit tubuh Herman, yang nampak kelelahan. Ternyata tak susah untuk membangunkannya, karena dengan begitu saja Herman langsung terbangun. "Makasi sayang, aku langsung mandi ya," ucap Herman mencoba meraih kepala Amira, namun seketika Amira menepis dengan cepat tangan suaminya itu. Melihat penolakan halus yang Amira berikan, Herman merasa kikuk, tenggorokannya terasa kering, sehingga ia putuskan langsung menuju kamar mandi. Sedangkan Amira menyiapkan pakaian yang akan Herman pakai.Semarah apapun Amira pada suaminya, ia tetap melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Tiba-tiba matanya kembali melihat ponsel Herman yang tergeletak bebas. Diambilnya ponsel itu, kemudian ia mulai menscroll semua panggilan dan pesan di wa nya. Benar saja, seperti dugaann
Suasana dikamar mereka sekarang seperti didalam neraka. Hawanya terasa sangat panas. Bahkan Ac yang menyala pun tak mampu mendinginkan keadaan. Herman yang masih bersimpuh dihadapan Amira takberkutik sedikitpun. Ia terus duduk dengan badan gemetar. Begitupun dengan Amira, ia tak luluh sama sekali sepertinya pengkhianatan Herman membuat luka yang amat dalam sehingga sangat sulit untuk Amira menerima kenyataan ini. Saat suasana menjadi hening, tiba-tiba ponsel Amira berdering. Amira hanya mendiamkannnya. Ia sama sekali tidak tertarik mengambil ponselnya Pikirannya sedang sangat buruk saat ini. Namun karena ponselnya terus berdering tanpa henti, akhirnya ia pergi meninggalkan Herman yang duduk terpaku didepannya dan mengambil ponsel miliknya. "Iya Martha ada apa?" tanya Amira lemas."Haii kamu kenapa lemes gitu Mira? Kamu gak lagi sakit kan?"Tanya M
"Deggg........" seketika jantung Amira seperti meledak. Tubuhnya mendadak kaku. Matanya membelalak bulat. Sangat tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar dari mulut Martha.Seperti petir disiang bolong yang menyambarnya, suhu tubuhnya panas dingin seketika. Kemudian ia menunduk dan airmata yang ditahannya dari tadi, akhirnya jatuh juga."Apa benar Martha?" dengan suara pelan Amira merespon cerita Martha."Seperti apa perawakannya? tanya Amira lagi. Sebenarnya hatinya sakit mendengar ini, tapi ia ingin mendengar lebih banyak cerita tentang wanita yang sudah menghancurkan rumah tangganya itu. Ditambah lagi, hal yang sangat mengejutkan yang ia dengar barusan, benar-benar memukul jiwanya. Bagaimana bisa suaminya dengan wanita itu, sedangkan ia berpamitan pulang dan meninggalkannya sendirian di klinik? Jika itu memang benar adanya, berarti Herman lebih peduli pada perempuan simpanannya. Hatinya mengingkari semua itu, ia mencoba b
Bik Inah berjalan dengan cepat, karena sudah meninggalkan majikannya cukup lama. Ia selesai membeli makanan untuk Adinda.Adinda yang tak mau memakan makanan dari pihak Rumah sakit menyuruh Bik Inah membeli makanan lain diluar. Adinda baru tersadar dari tidurnya setelah diberi obat penenang tadi malam. Tubuhnya terasa sangat lemas, karena dari kemarin dia tak mau makan sama sekali. Sedikit demi sedikit ia mulai pulih. Memang pengaruh obat yang kemarin dia minum sudah tidak ada, kini tinggal mengembalikan mood Adinda karena Herman yang berniat meninggalkannya. Ia benar-benar tak bisa menerima kenyataan itu. Sehingga dia benar-benar terpuruk dan depresi. Beruntung ada bik Inah yang selalu setia menjaganya. Sampai akhirnya dia dibawa ke rumah sakit dan mendapatkan penanganan seperti sampai sekarang ini. Saat melewati ruang IGD, tak sengaja bik Inah melihat Herman yang sedang duduk termenung sambil membu
Kalau kau datang kesini karena perintah majikanmu, pergilah !! Aku sama sekali tidak berniat sedikitpun untuk menemuinya lagi. Jadi sebelum emosi saya semakin memuncak, sebaiknya anda pergi darisini!"Herman membentak bik Inah. Bik Inah yang ketakutan langsung pergi meninggalkan Herman. Niat dalam hatinya untuk membawa Herman ke hadapan Adinda hilang sudah, nyalinya tak cukup kuat menghadapi sikap Herman. Herman mendudukkan tubuhnya dengan kasar. Kedatangan bik Inah membuatnya semakin kacau. Baginya saat ini hanyalah kesembuhan Amira yang paling utama. Namun ada saja hal yang membuatnya emosi. Ia menjambak kasar rambutnya. kepalanya seperti mau pecah memikirkan semua ini. Dia mencoba berpikir keras, bagaimana agar masalah ini cepat selesai, dan ia bisa fokus pada kesehatan Amira. Akhirnya ia bangkit, kakinya berjalan melangkah menuju ruangan Adinda." Aku harus segera membereskan tikus itu," g
Herman hanya membaca pesan itu, dan tak berniat untuk membalasnya. dimasukkan kembali ponselnha kedalam saku celananya. Dia fokus kembali pada wanita didepannya. Waktu terasa sangat lama bagi Herman, sesaat setelah Amira tak sadarkan diri. Herman teringat akan pekerjaan kantornya, ia segera mengambil ponselnya kembali. "Andi, mungkin beberapa hari ke depan aku tidak masuk kantor, istriku sakit. Tolong handel semua tugasku. Datanglah ke Rumah sakit xx andai ada hal penting yang harus ku tandatangani""Baik pak, akan saya laksanakan semua tugas saya dengan baik, semoga istri bapak lekas sembuh""Hmmm" Herman langsung menutup telponnya. Tiba-tiba ponsel Amira berdering, dilihatnya mama memanggil. Yap, mama hana memanggil Amira, Herman gelagapan, dia bingung apa harus mengangkatnya atau membirkannya. Dia berpikir sejenak, kemudian mengangkat telpon dari mertuanya itu. "Ya mah, ini aku Herman "
Pelukannya semakin kuat, ia takkan menyia-nyiakan istri dan anaknya lagi. Begitulah pikiran Herman saat ini.Setelah dirasa Amira cukup tenang, dilepaskannya pelukannya itu, dicium keningnya hingga beberapa kali, ya mungkin itulah bukti bahwa Herman benar-benar takut kehilangan Amiranya. Amira hanya diam diperlakukan seperti itu oleh suaminya. Tiba- tiba suara perut Amira memecah keheningan diantara mereka berdua, Amira spontan memegangi perutnya. Wajahnya sedikit memerah menahan malu."Kau lapar sayang?ohh iya bagaimana aku bisa lupa, kau tak sadarkan diri hampir 7jam,Herman mengambil makanan di nampan dan bersiap menyuapi Amira. "Buka mulutmu sayang, aa, aa..ia membulatkan mulutnya membentuk O sebagai contoh kepada Amira. Amira yang sangat merasa lapar langsung membuka mulutnya, dan menerima suapan Herman satu persatu, sesekali mereka saling pandang. Entah kenapa ada rasa canggung diantara mereka,
Amira tak berhenti menatap suaminya, ingin rasanya dia memeluknya, tapi situasi tidak mendukung untuk saat ini. Herman yang merasa ada sesuatu yang menywntuhnya akhirnya terbangun. Dikedip-kedipkan matanya berulang. Ia setengah tak percaya dengan apa yang ia lihat. Nampak wajah Amira begitu dekat dengannya. Terlihat mata Amira yang sendu, bibir merahnya yang ranum, kulitnya yang bersih menghiasi pandangannya zaat ia membuka mata. Matanya terbelalak melihat wajah istrinya itu. Ia tersenyum tipis, sedikit namun membuat jantung Amira berdegup dengan cepat. Wajahnya memerah seperti tomat matang. yap Amira merasa malu karena kepergok diam-diam mencium dan memandangi Herman dengan intens. Sontak ia menjauhkan wajahnya dari Herman, namun kalah cepat dengan tangan Herman yang langsung meraih tengkuk Amira dan mendekatkan wajahnya kembali."A aa aapa yang kau lakukan mas ?" tanya Amira gugup. Herman hanya menyeringai puas. " Bukankah aku ya