"Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya
Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri
Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.
BAb 1 "Bagaimana, kamu suka sayang"?? Suara parau Herman membuat Amira menghela nafas gemetar. Perlahan, Amira membuka matanya, dia melihat takjub dirinya dicermin."Waaahh, bukan suka lagi sayang, bahkan aku suka sekali. Terimakasih sayang." Amira membalikkan badannya dan memeluk Herman dengan erat. Dia merasa sangat bahagia, karena sepagi ini Herman sudah memberinya sebuah kejutan manis.Sepulang dari dinas luar kota, Herman membelikan set perhiasan emas dengan permata warna warni yang mengkilat. Herman sengaja memakaikan kalung pada leher Amira. Dia ingin istrinya bahagia dengan kejutannya. Begitulah sikap Herman. Dia sangat romantis dan penyayang. Setiap pulang dari Dinas luarkota nya, dia tak pernah lupa membawa buah tangan untuk istri tercintanya. Dan hari ini, dia membawakan set perhiasan lengkap. Kalung dengan liontin berinisial A yang tak lain adalah Amira, ditambah manik-manik permata yang membuat
BAB 2Tak perlu menunggu lama, pak Parman pun sampai. Herman segera menaiki mobilnya dan langsung melaju cepat. Dalam hatinya, pak Parman merasa bingung sendiri dengan sikap Herman yang tega menduakan Amira yang lugu dan baik."Bukankah tadi dia bilang mau menginap? kenapa sekarang minta dijemput? sangat membingungkan!" gerutunya dalam hati. Tak selang lama, mobilnya sampai didepan rumah Herman. Herman segera mencari keberadaan istrinya. Terlihat Amira sudah tertidur dengan tubuh ditutupi selimut. Terbersit perasaan bersalah dalam hatinya, saat menyaksikan pemandangan didepannya. Amira terlihat sembab dan wajahnya pucat pasi. Matanya terlihat seperti orang yang sudah menangis.Herman tidur disebelah Amira dan memeluk dari belakang tubuh istrinya itu. Sebenarnya, Amira mengetahui kedatangan Herman. Ia sengaja berpura-pura tidur, untuk menghindari pertanyaan yang akan ia dapatkan, kalau Herman melihatnya sudah menangis. "Selamat pagi sayang!!"
"Berbaringlah!" dr Wisma mempersilahkan Amira berbaring untuk memulai pemeriksaan. Ditempelkannya stetoskop ke perut Amira."Herman tak ikut lagi?" Dr Wisma memulai percakapannya."Suamiku sedang sibuk, tadi dia mengantarkanku, tetapi ada ada hal mendadak yang harus ia selesaikan, jadi dia pulang lebih dulu," jawab Amira lemah, membela suaminya. "Sampai kapan kau membohongi diri sendiri Amira?!" batin Wisma kesal.Dr Wisma bukan sekedar Dr langganan Amira. Tetapi, dia juga sahabat Amira saat kuliah dulu. Dia pernah menyimpan perasaan pada Amira, namun Amira lebih memilih Herman dibanding dirinya. Itulah alasan, kenapa sampai saat ini dia belum mau menikah. Dalam hatinya, ia berjanji takan menikah terlebih dahulu sebelum menemukan perempuan yang lebih dari Amira. Sudah ke sekian kali Amira memeriksakan kandungannya, tapi dia tak pernah bertemu langsung dengan Herman. Wisma hanya tahu namanya saja, tanpa
"Masih lama kah urutanmu?!" tanya Herman pada Adinda, sambil terus menatap jam ditangannya. Ia terlihat sangat gelisah.Adinda hanya melirik dan tak menjawab pertanyaan Herman. Diperlihatkannya nomor antrian yang dia pegang. tertulis angka 9, berarti dua orang lagi giliran Adinda masuk ruangan pemeriksaan.Tak selang berapa lama keluarlah wanita hamil urutan 7yang tak lain Marta, kenalan baru Amira. Herman tak hentinya melihat jam ditangannya, sudah satu jam lebih dia disana. Pikirannya melayang tak tentu arah. Duduknya mulai tak nyaman, sesekali dia menggeser tubuhnya kekiri, kemudian ke kanan, berdiri dan duduk lagi.Herman benar-benar sudah tidak betah berada di tempat itu. Ia ingin segera pulang dan meminta maaf pada Amira, karena telah meninggalkannya begitu saja. "Kalau memang tak bisa menemaniku, pergilah. Kau terlihat sangat buruk sekarang!" cetus Adinda membuka percakapan mereka.Herman memandang ke arah Ad
Akhirnya mereka sampai di apartemen pribadi Herman. Herman langsung keluar dari mobilnya dan beranjak masuk ke apartemen. Ruangan pertama yang ia tuju adalah kamarnya. Ia langsung merebahkan tubuhnya, mencoba memejamkan mata menetralisirkan pikiran kacaunya saat ini. "Apa yang harus aku lakukan?" Herman berdesir dalam hatinya. Fikirannya dipenuhi kedua wajah wanita yang saat ini menjadi masalah dalam hidupnya. Sesekali ia berfikir menyesali kelakuannya dulu. Kenapa ia harus bermain api didalam pernikahannya? Kenapa ia harus membawa Adinda masuk dalam permainan ini? Semua penyesalan membuat Herman semakin merasa bersalah karena sudah mengecewakan Amira, menkhianati janji pernikahannya, dan melibatkan Adinda dalam masalah rumit ini. Jam masih menunjukan pukul 03.00 sore. Tidak biasanya Herman bersantai seperti ini. Ia sangat sibuk dengan ribuan pekerjaannya, pertemuan dengan banyak kliennya, dan banyak lag