"Dari mana kamu, Arya?" tanya Mas Fahmi pada Arya anak kami. Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore dan Fahmi baru pulang dari sekolah. Padahal biasanya jam setengah tiga sudah sampai di rumah. Memang beberapa hari belakangan ini, Arya sering pulang terlambat. Tapi biasanya ia selalu memberitahu kalau ada kegiatan di sekolah.
"Dari rumah teman, Ayah," sahut Arya. Belum sempat Arya melangkah, Mas Fahmi sudah menghardiknya.
"Duduk!" perintah Mas Fahmi dengan suara yang keras. Aku jadi deg-degan mendengarnya. Jangan sampai terjadi keributan antara Mas Fahmi dan Arya.
Akhir-akhir ini, aku lihat hubungan mereka sedang bermasalah. Entah Mas Fahmi yang terlalu posesif atau memang Arya yang sudah mulai bandel. Maklum seusia Arya, kelas sepuluh SMA, masanya mencari jati diri.
Arya duduk di hadapan kami, dengan menundukkan wajahnya. Sepertinya ia enggan menatap kami.
"Arya, kamu itu sudah besar. Bukan saatnya kamu bermain terus. Kamu harus rajin belajar, kurangi keluyuran. Nilai rapormu harus bagus, biar bisa masuk universitas negeri. Kalau seperti ini terus, kamu mau jadi apa?" kata Mas Fahmi.
Arya hanya terdiam, tidak berani berkata apa-apa.
"Ngapain kamu ke rumah temanmu itu? Siapa nama temanmu?" tanya Mas Fahmi lagi.
"Mengerjakan tugas, Yah. Membuat video untuk lomba film pendek," sahut Arya masih dengan menunduk.
"Kalau diajak berbicara, perhatikan! Jangan menunduk, lihat Ayah dan Ibu," seru Mas Fahmi.
Arya langsung mengangkat kepalanya dan melihat aku dan Mas Fahmi secara bergantian.
"Kenapa nggak di sekolah saja?" cecar Mas Fahmi.
"Mau nyari lokasi yang bagus. Dekat rumah Tedi ada sawah. Jadi cocok untuk syuting video."
"Benar? nggak bohong kan?" selidik Mas Fahmi.
"Benar, Yah. Kalau nggak percaya tanya saja sama Tedi."
"Mungkin kamu sudah sekongkol dengan Tedi."
"Ya tanya teman yang lainnya. Tadi ada Dini, Vita, juga Setyo."
"Ada perempuannya juga? Nggak pacaran kan?" selidik Mas Fahmi.
"Enggak, Yah." Arya sepertinya sudah jengkel menjawab pertanyaan Mas Fahmi.
"Ingat ya Arya. Kamu jangan pacaran dulu. Belum saatnya kamu pacaran. Belajar yang benar, kalau sudah sukses terserah sama kamu."
"Iya, Yah."
"Ingat Arya, kamu itu anak pertama. Kamu harapan Ayah dan Ibu dan bisa menjadi contoh untuk adikmu. Ayah tidak mau kamu terjerumus dalam pergaulan yang tidak baik. Paham?" kata Mas Fahmi.
"Paham, Ayah. Sekarang Arya boleh masuk ke kamar?" tanya Arya.
Mas Fahmi menatap Arya dengan tatapan tajam, kemudian Mas Fahmi mengangguk. Aku pun bernafas lega.
"Mas, jangan terlalu keras dengan Arya. Kasihan dia. Jangan dibebani dengan banyak hal," kataku pada Mas Fahmi, ketika Arya sudah masuk ke dalam kamarnya.
"Ibu jangan selalu membela dia. Nanti malah besar kepala. Anak laki-laki itu harus tangguh. Jangan selalu berada di ketiak ibunya. Apa Ibu mau kalau Arya itu lemah? Beda dengan Adiva, dia perempuan. Kita harus ekstra menjaganya, jangan sampai ia salah pergaulan." Mas Fahmi malah menceramahiku.
Drtt...drtt. Hp Mas Fahmi berbunyi. Mas Fahmi segera keluar dari ruangan dan mengangkat hpnya di luar.
Aku segera menuju ke kamar Arya.
"Arya…. Boleh Ibu masuk?" tanyaku sambil mengetuk pintu kamar Arya.
"Masuk saja, Bu," sahut Arya dari dalam kamar.
Aku segera membuka pintu kamar Arya. Kulihat ia sedang rebahan dengan hp ditangan. Buku-buku berserakan di meja belajarnya.
"Lain kali kali pulang telat, kabari Ibu ya? Biar Ibu dan Ayah tidak bingung mencarimu," ucapku pada Arya.
"Iya, Bu." Arya menjawab sambil bangkit dari rebahan. Ia pun duduk di sebelahku.
"Kamu ada masalah apa dengan Ayah? Ibu lihat akhir-akhir ini, sepertinya kamu sengaja menghindar dari Ayah. Kamu marah dengan Ayah?" tanyaku lagi.
Kutatap wajah Arya, sepertinya ada keraguan atau semacam rasa ragu-ragu.
"Ada apa? Bilang saja sama Ibu," ucapku lagi.
"Nggak apa-apa kok Bu. Nanti kalau Arya sudah siap lahir batin, pasti Arya akan bercerita."
Aku semakin penasaran dengan kata-kata Arya. Tapi kalau memaksanya untuk banyak berbicara, takutnya malah menjadi bumerang bagiku.
"Ya, sudah. Kalau ada masalah apa-apa, bicara dengan Ibu ya? Ibu akan selalu ada untukmu. Ayo bereskan buku-buku yang berserakan itu. Habis itu langsung mandi, sudah sore."
Arya mengangguk. Aku segera keluar dari kamar Arya. Kulihat Mas Fahmi masih menerima telepon, entah dari siapa. Aku menjadi kepo, masa sih dari tadi menelpon belum selesai juga. Akhirnya aku menguping pembicaraan mas Fahmi.
"Iya, besok ya. Jangan sekarang, ada Hanum di rumah. Kalau aku pergi sekarang, apa alasanku pada Hanum?" kata Mas Fahmi.
".........."
"Oke, bye Sayang," sahut Mas Fahmi.
Sayang? Kok panggil sayang? Siapa yang dipanggil sayang? Aku sangat penasaran. Mas Fahmi menutup telpon dan akan masuk ke ruangan.
"Lama banget nelponnya? Memangnya siapa yang nelpon?" tanyaku pada Mas Fahmi.
"Pak Yanuar," sahut Mas Fahmi.
"Bener?" tanyaku lagi.
"Iya, kok curiga gitu sih."
"Masa sama Pak Yanuar manggil sayang?" ucapku lagi.
Wajah Mas Fahmi langsung pucat. Ia kelihatan gugup.
"Sudah, jangan gugup gitu. Pikirkan dulu jawaban yang tepat untukku. Mengarang indah juga boleh," kataku sambil tersenyum. Aku kemudian berjalan menuju ke dapur, hatiku mulai kesal. Ada apa dengan Mas Fahmi? Sepertinya ada yang disembunyikan. Aku mengambil air putih dan segera meminumnya, hatiku terasa berdetak sangat kencang. Menahan emosi.
***
Aku terbangun dari tidurku. Kulihat mas Fahmi tidak ada disampingku. Aku segera bangun dari tempat tidur dan mencari Mas Fahmi. Ketika melewati kamar Arya, pintu agak terbuka.
"Arya, yang kamu lihat itu tidak seperti yang ada dipikiranmu. Jangan menyimpulkan sendiri." Terdengar suara Mas Fahmi berbicara dengan Arya.
Ada apa ya? Aku penasaran sekali, akhirnya aku mendengarkan.
"Nggak usah ikut campur masalah orang tua. Tugas kamu hanya belajar. Kalau sampai ibumu tahu, kamu akan merasakan akibatnya, paham?" ancam Mas Fahmi.
"Iya, Ayah," sahut Arya dengan suara seperti ketakutan.
"Anggap saja kamu tidak pernah melihat kejadian itu. Sekali lagi, kalau sampai terbongkar, Ayah tidak akan segan-segan mengusirmu dari rumah ini."
Aku kaget setengah mati mendengar ucapan Mas Fahmi. Aku segera masuk ke kamar lagi. Takut ketahuan Mas Fahmi. Kubaringkan tubuhku di tempat tidur lagi. Mencoba memejamkan mata. Mata terpejam tapi pikiran kemana-mana. Masih memikirkan ucapan Mas Fahmi tadi. Berarti Arya melihat sesuatu yang membuat ayahnya marah. Tapi apa ya? Atau mungkin Arya melihat Mas Fahmi sedang bersama dengan perempuan? Seperti cerita-cerita di sinetron. Kok aku jadi paranoid sendiri ya? Mungkin terlalu banyak membaca cerita novel online.
Kudengar langkah kaki masuk ke kamar. Pasti itu Mas Fahmi. Hatiku berdebar-debar, kau mencoba untuk bernafas dengan rileks. Mas Fahmi keluar lagi dari kamar, entah apa yang akan dikerjakannya.
Aku mengikuti Mas Fahmi dengan langkah yang pelan. Di ruang keluarga dan ruang tamu tidak ada. Kamar Arya pun pintunya sudah tertutup rapat. Sayup-sayup aku dengar suara Mas Fahmi berbicara dengan pelan. Ternyata Mas Fahmi ada di dapur sedang menelepon.
"Sudah Mas ancam Arya, pasti ia tidak akan cerita dengan Hanum," kata Mas Fahmi.
".........."
"Iya, tenang saja. Hanum itu orangnya bodoh dan lugu. Ia terlalu bucin denganku. Jadi dia nggak akan percaya walaupun nanti Arya buka suara."
"........."
"Tenang, Sayang? Apa pun akan Mas lakukan untukmu."
".........."
"Oke, besok pagi aku jemput."
"........"
"Iya sayang."
Aku sudah tidak sanggup mendengarkan Mas Fahmi berbicara. Segera aku masuk ke kamar. Kurebahkan tubuhku, air mata langsung menetes. Teganya kamu Mas, ngomong kalau aku ini bodoh dan lugu. Memang aku terlalu bucin padamu, tapi aku tetap percaya anakku. Apapun yang akan Arya katakan padaku, terutama berhubungan denganmu, aku akan percaya.
Aku harus melakukan pendekatan pada Arya. Supaya ia mau membuka suara. Aku yakin kalau Arya pasti mengetahui suatu rahasia tentang ayahnya. Mungkin Mas Fahmi sudah mulai main hati, dan Arya mengetahuinya. Makanya Mas Fahmi mengancam Arya.
Aku tidak bisa tidur. Memikirkan masalah yang mungkin akan terjadi. Aku harus berbicara dengan siapa? Berbicara dengan Mbak Hani, sepertinya tidak mungkin. Karena ia juga sedang memiliki masalah dalam rumah tangganya. Pada Bapak dan Ibu juga tidak mungkin. Aku tidak mau membebani mereka dengan masalahku. Mereka tentu juga banyak pikiran, memikirkan masalah Mbak Hani.
Mbak Hani, kakak perempuanku dalam proses cerai. Aku tidak tahu permasalahan sesungguhnya. Kalau menurut ceritanya, suaminya selingkuh dan sering melakukan KDRT. Tapi kami baru mendengar dari salah satu pihak saja, belum mendengar dari pihak suaminya. Ia pulang ke rumah orang tuaku. Nadya, anak tunggalnya masih tinggal bersama Mas Kevin suaminya. Nadya seumuran dengan Arya.
Ah aku pusing memikirkan ini semua. Semoga ada titik terang dari semua ini. Dan berharap ini hanya ketakutan yang berlebihan saja. Jangan sampai kisah hidupku seperti Mbak Hani yang rumah tangganya berada di ujung tanduk.
Terdengar azan subuh berkumandang. Kulihat Mas Fahmi ada di sampingku. Aku tidak tahu kapan ia masuk kamar. Berarti tadi aku sempat terlelap. Kulihat wajah Mas Fahmi. Laki-laki yang sudah hidup bersamaku selama hampir tujuh belas tahun. Laki-laki yang tega mengatakan aku bodoh dan bucin pada seseorang di telepon.
Aku bangun dari tempat tidur, kepalaku sangat pusing. Semua terlihat berputar.
"Mas...Mas...." Aku membangunkan Mas Fahmi. Ia langsung terbangun, dan tiba-tiba pandanganku gelap.
"Bu, aku izin mau menikah lagi. Jangan khawatir, nanti aku pasti akan bersikap adil," kata Mas Fahmi, membuatku bagai disambar petir. "Apa salahku, Mas, sampai kamu mau menikah lagi?" sahutku dengan menangis tersedu-sedu."Kamu nggak salah kok. Aku yang salah, tidak bisa menahan nafsu…."Aku menangis dengan keras, duniaku terasa runtuh. "Bu…Ibu.…" Kudengar suara memanggilku. Aku langsung membuka mataku, ternyata hanya mimpi. Aku langsung menangis."Alhamdulillah, Ibu sudah sadar. Tadi Ibu pingsan," kata Mas Fahmi.Aku mencoba mengingat-ingat apa yang sedang terjadi. Oh, iya tadi aku bangun dari tempat tidur, tahu-tahu langsung gelap. Aku pun menangis lagi."Kenapa menangis? Ada apa?" tanya Mas Fahmi, seperti khawatir denganku."Aku mimpi, Mas mau menikah lagi." Aku berkata dengan sesenggukan. Sempat kulihat wajah Mas Fahmi tampak kaget dan pucat."Ah, itu kan hanya mimpi," ucap Mas Fahmi untuk menghilangkan keterkejutannya."Ayah, ini tehnya," kata Adiva anak keduaku sambil membawa
Hari ini aku ingin menguasai Mas Fahmi. Sejak pulang dari rumah sakit, sampai menjelang zuhur ,aku sengaja tidak tidur. Padahal aku mengantuk sekali, karena minum obat. Takutnya nanti kalau aku tidur, ia malah pergi."Bu, aku mau pergi dulu ya? Sebentar saja," kata Mas Fahmi ketika kami sampai di rumah."Pergi kemana?" tanyaku penuh selidik."Ada urusan sebentar.""Urusan apa?""Urusan kantor.""Mas kan sudah izin nggak masuk kerja, kok masih sibuk ngurusin urusan kantor? Apa tidak ada orang lain yang bisa mengerjakan pekerjaan Mas?" tanyaku dengan kesal."Sebentar saja.""Aku ikut.""Kamu kan masih sakit.""Kalau tahu aku sakit, ya tungguin aku di rumah. Tahu istrinya sakit kok malah mau keluyuran.""Bukan keluyuran, tapi ada urusan.""Pokoknya kalau Mas pergi, aku ikut. Titik."Mak Fahmi terdiam, mukanya tampak kesal sekali. Ia sibuk mengutak-atik hpnya. Aku tahu kalau ia sebenarnya ingin marah denganku. Berhubung aku sedang sakit, jadi ia hanya diam saja."Kenapa sih, Mas, dari tad
"Dek, Kak Arya suka cerita apa sama kamu?" tanyaku pada Adiva.Aku sengaja ke kamar Adiva, alasanku ingin menemaninya belajar."Cerita apa, Bu?" tanya Adiva."Apa sih yang suka kalian bicarakan berdua?" sahutku lagi."Cerita tentang lagu, film juga tentang teman sekolah. Juga sering bercerita tentang masa depan.""Pernah nggak cerita tentang Ayah atau Ibu?""Pernah.""Cerita apa?" "Ayah yang suka marah-marah.""Terus?""Ayah yang selalu sibuk, nggak ada waktu untuk kami lagi. Kalau di rumah sibuk main hp.""Memangnya Ayah sekarang seperti itu, ya?" tanyaku penasaran."Iya. Sekarang Ayah sudah jarang mengajak kita makan diluar. Jarang ngobrol juga. Terlalu sibuk atau pura-pura sibuk ya, Bu?""Kok kamu ngomongnya kayak gitu?""Habis Ayah memang seperti itu sekarang.""Menurutmu, hubungan Ayah dan Mas Arya gimana?""Entahlah Bu. Kayaknya sekarang Mas Arya sering sekali dimarahi oleh Ayah. Padahal hanya masalah sepele. Ayah sekarang sensi, kayak perempuan saja."Ternyata bukan aku saja y
Pulang dari sekolah aku sengaja mampir ke rumah Bapak. Dengan mengendarai motor, aku mampir ke toko kue dan toko buah. Membelikan makanan dan buah kesukaan Bapak dan Ibu.Aku bekerja di sebuah TK, dibawah naungan sebuah yayasan pendidikan. Sebenarnya aku merupakan seorang sarjana pendidikan bahasa Inggris. Aku pernah mengajar di sebuah SMP swasta. Setelah aku hamil anak kedua, yaitu Adiva, aku mengundurkan diri dari SMP tersebut. Karena mengurus dua anak yang terpaut usia dua tahun sangat merepotkan. Aku tidak sanggup membagi waktu antara pekerjaan sekolah dan keluarga. Mas Fahmi mendukung keputusanku.Setelah Adiva berumur dua tahun, aku mulai bosan di rumah. Atas bantuan Opik, aku dipercaya memegang dan mengelola TK yang baru saja didirikan. Dengan kemampuan yang ada, aku berusaha semangat mengajar di TK. Arya termasuk siswa angkatan pertama di TK yang aku kelola. Aku bekerja sambil mengasuh dua anak. Untung saja pihak yayasan tidak mempermasalahkannya. Saat itu hanya ada tiga orang
Azan subuh berkumandang, aku terbangun dari mimpiku. Kulihat Mas Fahmi masih tidur di sebelahku. Segera aku bangun dan bersiap untuk menjalankan kewajiban sebagai umat muslim. Aku menyiapkan sarapan untuk seluruh keluarga. Anak-anak juga sudah bangun. Mereka melakukan aktivitas wajib, yaitu membantuku membersihkan rumah. Arya menyapu dan mengepel lantai. Adiva mencuci pakaian. Kulihat Mas Fahmi juga sudah bangun dari tidurnya. Seperti biasa, setiap pagi aku selalu menyiapkan kopi untuknya. Masih dalam kondisi diam tidak bertegur sapa, aku memberikan segelas kopi di meja. Aku melanjutkan lagi aktivitas pagi ini. Anak-anak sudah selesai melakukan tugasnya, mereka mandi bergantian. Aku pun mandi dan bersiap untuk berangkat kerja. Sarapan pagi kami lalui seperti tadi malam, tanpa ada percakapan. Benar-benar sepi dan sunyi rumah ini. "Bu, kami berangkat, ya?" pamit Adiva. "Iya, hati-hati ya?" jawabku. Arya sudah di atas motor bersiap mengantarkan Adiva sekolah, baru kemudian ia be
Kami semua menoleh ke arah yang ditunjuk Adiva."Benar, itu Bude Hani," kataku pelan. Aku shock melihat Mbak Hani ada di restoran ini, karena ia bersama dengan Kak Rizal. Kak Rizal adalah mantan kekasih Mbak Hani waktu kuliah. Mereka merupakan pasangan yang sangat serasi waktu itu, tapi aku tidak tahu mengapa mereka sampai berpisah. Mbak Hani menikah dengan Mas Kevin dan Kak Rizal menikah dengan perempuan bernama Renita. "Dengan siapa Bude Hani Itu, Bu?" tanya Adiva. "Oh, mungkin temannya." "Kok hanya berdua saja, apa nanti tidak menimbulkan fitnah? Kata Ibu, perempuan yang sudah menikah itu harus menjaga pergaulannya. Apalagi Bude Hani sedang bermasalah rumah tangganya. Nanti malah memperkeruh keadaan." Adiva tetap nyerocos saja. "Sudah, Dek. Nggak usah banyak komentar. Itu bukan urusan kita. Kamu kebanyakan nonton sinetron ikan terbang sih, makanya kamu berpikiran seperti itu." Arya yang tadi diam, akhirnya mengeluarkan pendapatnya. "Iya, benar kata Kak Arya." Mas Fahmi juga
"E...e...mungkin saja. Aku cuma menebak," jawab Mas Fahmi dengan gugup. "Kalau menurut Mas, seandainya ada perempuan bersuami dan laki-laki beristri, makan malam berdua di restoran, apakah mereka hanya teman saja? Adiva yang masih remaja saja sudah bisa berpikir kritis tentang Mbak Hani. Masa Mas yang sudah dewasa tidak bisa berpikir seperti itu? Aku bukannya tidak percaya dengan Mbak Hani. Tapi kondisi rumah tangga Mbak Hani kan sedang di ujung tanduk, nanti Mas Kevin bisa menuduh kalau Mbak Hani yang selingkuh." Aku menjelaskan panjang lebar. "Seandainya Wita seperti Mbak Hani, apa yang akan Mas lakukan?" tanyaku. "Kok merembet ke Wita?" sahut Mas Fahmi. "Aku ingin tahu pendapat Mas, kalau misalnya Mas berada di posisiku. Apa Mas akan diam saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa? Mas tahu? Kalau Mbak Hani mendoakan suamiku direbut pelakor," kataku dengan kesal. Mas Fahmi tampak terkejut. "Masa Mbak Hani berbicara seperti itu?" tanya Mas Fahmi. Aku tunjukkan chat percakapanku
Kulihat jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. [Sakit? Aku sehat-sehat saja. Kami dari sebelum Magrib tadi menunggu Mas Fahmi, sampai sekarang belum pulang juga.] [Oh, kata Mas Fahmi, Mbak Hanum sedang sakit, makanya nggak bisa datang. Anak-anak menunggui ibunya. Mas Fahmi sudah disini setelah Magrib tadi. Makanya aku tanya sama Mbak Hanum, sakit apa.] Apa? Berarti Mas Fahmi sudah ke rumah Ibu? Kenapa ia nggak mengajak kami? Katanya kami diundang makan ke rumah Ibu. Aku jadi kesal dengan Mas Fahmi. Ada apa sebenarnya dengan Mas Fahmi. [Ooo, ternyata Mas Fahmi mendoakan aku sakit. Padahal kami sudah menunggu, sampai anak-anak sangat kesal, ternyata Mas Fahmi sudah kesitu duluan ya? Mungkin Mas Fahmi sengaja nggak mau mengajak kami. Ya sudah, nggak apa-apa.] Wita pun tidak membalas pesanku lagi. Awas kamu, Mas. Aku menjadi sangat kesal dengan Mas Fahmi. Aku berbaring di tempat tidur, sambil bermain ponsel. Aku sangat kesal dengan Mas Fahmi. Apa maksudnya dia seperti itu? Aku