Share

Bab 4 - Total 1M

"Sepertinya Ernest pulang," ucap Lillian. Dagunya menunjuk kearah mobil di depan mereka.

Kening Harvey berkerut. "Itu bukan mobil Ernest. Ini sudah malam, aku tak suka ada orang asing datang ke rumahmu."

"Bisa saja itu mobil barunya. Dia baru saja menggunakan kartu kreditku dalam jumlah besar... --" Lillian terdiam dan menggigit lidahnya sendiri yang terlalu jujur.

Harvey mengurungkan niat keluar untuk membuka pintukan pintu bagi Lillian. Laki - laki itu menutup kembali pintu mobil dan menatap tajam Lillian. "Kamu memberikan kartu kreditmu pada Ernest dan membiarkan dia berbelanja dengan sesuka hati?" tegurnya keras.

"Oh, ehm, Ernest yang akan membayar tagihannya. Ehm, iya. Itu pasti. Jangan berlebihan, Harvey. Kami adalah suami istri. Uangnya adalah uangku. Dan uangku adalah uangnya. Bukankan seperti itu?" cicit Lillian tanpa berani melihat kearah Harvey. Hatinya mengutuki dirinya sendiri yang selalu keceplosan di depan Harvey.

"Uang suami adalah uang istri. Tapi uang wanita milik wanita itu sendiri. Itu prinsipku!" tegas Harvey. Merasa kalau semua tagihan itu nantinya akan dilimpahkan ke Lillian, Harvey benar - benar marah.

Lillian menunduk, tak sanggup melawan aura Harvey yang begitu kuat. Tapi Ernest adalah suaminya, bukan Harvey. "Lalu kamu lebih suka aku melawan Ernest, bertengkar dan dipukuli? Tolong jangan ikut campur kali ini," mohonnya dengan amat sangat.

Harvey seperti di tampar kenyataan. Bagi Lillian saat ini, Ernest adalah suaminya. Sudah kewajiban Lillian untuk membela suaminya. Harvey menghembuskan napas panjang, dadanya terasa sakit saat mengingat kalau Lillian akan menghabiskan malam ini bersama adiknya. "Terserah kamu saja. Aku ingatkan padamu sekali lagi. Jangan biarkan Ernest terus mempersulit dirimu."

Lillian bernapas lega lalu bergegas keluar mobil sebelum Harvey berubah pikiran. Dia segera mempercepat langkah. Apa benar Ernest datang? Dia tidak membawa kunci rumah. Bagaimana suaminya bisa masuk?

Dia mendekat ke pagar dan menarik napas terkejut. Keadaan pagar sedikit bengkok karena dibuka paksa, gemboknya sudah tidak ada. Lillian menoleh namun terlambat. Mobil yang ditumpangi Harvey sudah bergerak menjauh. Mau berteriak memanggil Harvey, tapi untuk apa? Tadi dia sendiri yang minta kakak iparnya itu untuk tidak ikut campur.

Kepalang tanggung, Lillian memaksa kakinya untuk melangkah masuk ke dalam rumah. Bisa saja Ernest sedang mabuk dan merusak. Hal ini sudah sering tejadi sebelumnya.

Lillian membelalakkan mata saat menginjakkan kaki di ruang tamu. Kondisi rumah berantakan dengan beberapa barang dilemparkan begitu saja di lantai. Ada suara orang sedang berbicara dengan sengit dan melakukan sesuatu di kamar tidur. Dia memberanikan diri berjalan masuk dan matanya terbuka semakin lebar.

Kondisi kamar berantakan, pintu lemari terbuka dan pakaiannya berserakan di lantai, laci - laci terbuka, beberapa koleksi patung keramik juga tergeletak di lantai dalam kondisi pecah. Disana ada tiga orang laki - laki tidak dikenal. Yang pasti mereka sedang mencari sesuatu, tidak mungkin rampok berani meninggalkan mobil di depan pagar.

Merasakan kehadiran seseorang, tiba - tiba saja mereka berhenti bergerak lalu menatap Lillian dengan tajam. Lillian menelan ludah dengan susah payah, ingin rasanya berbalik badan dan lari mencari Harvey. Tapi, tubuhnya terasa kaku.

"Siapa anda?" tanya pria berpakaian serba hitam dan bertubuh besar yang mendekati Lillian dengan wajah garang.

Lillian mengernyitkan kening. Jangan - jangan mereka salah rumah, kalau benar maka dia akan menuntut ganti rugi atas semua ini. "Saya pemilik rumah ini. Siapa kalian? Beraninya masuk dan mengacau di rumahku." ketus Lillian setelah keberaniannya muncul.

"Kami datang untuk mencari Ernest Luther."

"Untuk apa?"

"Dia berhutang banyak pada kami saat di Las Vegas."

"Hu-hutang?" tanya Lillian tak percaya dengan apa yang didengarnya. Tadi pagi notifikasi kartu kredit, sekarang hutang di Las Vegas. Apa saja yang dilakukan oleh Ernest diluar sana?

"Apa hubungan anda dengan Ernest?" selidik laki - laki itu.

"Aku --- " Lillian berhenti sejenak dan berdehem, mendadak lidah terasa kelu saat mengucapkan kata - kata berikutnya. "Istrinya."

"Wow!" Penagih itu bersiul dan menatap Lillian dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan cara yang tidak sopan. "Siapa sangka si pengecut Ernest punya istri secantik ini." ujarnya sambil mengeluarkan  secarik kertas dari saku celananya dan menyerahkannya pada Lillian.

"Kalau anda memang istrinya, itu artinya anda juga bertanggung jawab atas pelunasan hutangnya. Dia meminjam pada kami sebesar lima ratus juta rupiah dan tiba - tiba menghilang saat jatuh tempo. Untung saja kami berhasil menemukan rumah ini." geram laki - laki itu.

"Li-lima ratus juta?" Kepala Lillian terasa berputar cepat. Otaknya bekerja keras antara ingin memastikan kebenaran hutang Ernes dan mengkalkulasi jumlah tabungan, asset dan perusahaan kecil yang dimiliki oleh Ernest, memilah - milah yang mana yang akan dilepas demi melunasi hutang suaminya.

"Apa buktinya kalau Ernest berhutang pada kalian? Kapan dia meminjam? Bisa saja kalian mengarang - ngarang." tanya Lillian berusaha setegar mungkin. Jauh di lubuk hatinya berharap kalau Ernest tidak seburuk yang mereka katakan.

"Buktinya ada di tangan anda. Baca saja sendiri. Disana tertera jumlah, waktu dan juga tanda pengenalnya."

Lillian membaca tulisan pada kertas tersebut. Nama dan tanda pengenalnya benar, dia langsung mengumpati suaminya dalam hati. Totalnya ada satu milyar hutang Ernest, termasuk cicilan mobil barunya. Itu yang dia tahu, lalu bagaimana dengan yang masih disembunyikan? 

Matanya kembali menelusuri jumlah cicilan yang akan dibayar setiap bulannya, beserta bunga harian. Disitu tertulis Ernest belum pernah mencicilnya sama sekali, sepertinya Ernest belum bisa menghentikan kebiasaannya berjudi.

Lillian menarik napas panjang saat menyadari kertas yang dipegang bergetar. Jantungnya berdetak kencang dan dia juga bisa merasakan keringat mengalir di pelipisnya. Lillian tidak tahu dirinya sedang marah atau panik. Yang jelas saat ini dirinya kecewa, sepanjang ingatannya Ernest bahkan tidak pernah memberinya uang nafkah. Mereka punya pendapatan masing - masing dan menggunakannya secara bebas.

"Aku akan mencari cara untuk melunasinya. Beri aku waktu untuk berpikir. Jujur saja, beberapa waktu ini aku kesulitan menghubungi suamiku. Dan kalian datang dengan tiba - tiba membuat berantakan rumahku." ucap Lillian dengan suara bergetar.

"Kami sudah memberi waktu yang cukup pada Ernest, tapi dia tidak ada niat baik. Apa kamu kira kami mau memberi kesempatan padamu juga untuk kabur?" hardik pria itu.

Lillian menutup mata dan menarik napas panjang untuk menenangkan diri.

"Aku tidak tahu menahu soal hutang ini. Dan alu butuh waktu untuk mencari dana. Lima ratus juta sangat besar bagiku." ujar Lillian lagi memberi penjelasan.

Penagih hutang berjalan mendekat, Lillian mundur selangkah. Laki - laki itu malah mempersempit jarak supaya bisa mengintimidasi wanita yang lebih lemah darinya. Lillian berusaha tetap tenang meski jantungnya berdebar keras. Matanya menatap dingin lelaki di hadapannya dengan posisi kepala sedikit mendongak.

"Kamu bisa mencicilnya dengan aset berhargamu. Wajahmu yang cantik dan tubuh yang molek pasti Boss kami dengan senang hati menerima 'penawaranmu'. Kamu bisa menemaninya setiap malam dan aku yakin hutangmu akan lunas dengan mudah." bisiknya sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Lillian. Jarak mereka begitu dekat sampai - sampai Lillian bisa mencium bau napasnya yang tak sedap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status