Lillian mengerjapkan matanya beberapa kali. Kata - kata Harvey membuat telinganya gatal dan emosinya melonjak. Laki - laki itu terang - terangan mengatakan akan tidur dengannya padahal mereka adalah saudara ipar. Astaga!
"Kamu sudah gila? Kamu seharusnya tahu kalau yang kita lakukan adalah sebuah kesalahan. Jangan pernah ingin mengulanginya lagi!" semprot Lillian tanpa bisa menyembunyikan rasa kesalnya.Harvey tersenyum lalu menyentil pelan dahi Lillian."Hey, aku rasa bukan aku yang ingin mengulangnya tapi kamu. Aku mengatakan akan tidur bersamamu, bukan bercinta denganmu." Kalimat terakhir sengaja diucapkannya lambat - lambat dengan nada menggoda.
Seketika wajah Lillian memerah, otaknya tanpa sadar mendefinisikan kata tidur dengan hal - hal yang sensual."Oh! Yeah... ehm, maksudmu kamu akan menginap kan? Oke, silahkan." gagapnya, sambil menahan malu. Ini bukan pertama kalinya mereka tidur bersama kan? Catat baik - baik. Tidur, dan hanya tidur. Titik.
Harvey tertawa kencang melihat kelakuan Lillian yang menggemaskan saat sedang salah tingkah. "Sejujurnya aku tidak akan menolak kalau kamu masih menginginkannya." tambahnya sambil mengedipkan sebelah mata.
"Sepertinya aku langsung tidur saja." Lillian menjawab dengan sebal. Dia langsung berdiri, namun Harvey dengan cepat menyambar tangan wanita kesayangannya itu."Oke, oke. Aku tidak akan membahasnya lagi. Ayo makan. Setelah itu aku akan siap mendengarkan ceritamu meski pun semalam suntuk."Hati Lillian seperti dicubit. Harvey punya uang dan jabatan, tapi dirinya tak akan tega memanfaatkan kebaikan laki - laki itu demi kesalahan suaminya. Meski pun Ernest adalah adik Harvey tapi laki - laki itu sudah berkorban cukup banyak untuk adikknya."Tenang saja. Aku bisa mengatasinya. Kalau memang membutuhkan bantuan, kamu adalah orang pertama yang akan aku mintai bantuan. Bagaimana?" tolak Lillian secara halus. "Tapi, Lili... --""Aku mengantuk, Har. Terima kasih makan malamnya," potong Lilian cepat. Sebelum perdebatan menjadi lebih panjang, Lillian cepat - cepat berdiri, masuk ke kamar dan mengunci pintu kamarnya.Harvey menyusul lalu mengetuk pintu beberapa kali. "Lili, setidaknya habiskan dulu makan malammu. Kita bisa bicarakan hal ini besok.""Aku sudah tidur. Dan aku tidak mau membicarakan apa pun denganmu." seru Lillian dari dalam kamar. Dia sedang dalam mode keras kepala.Di balik pintu, Harvey hanya bisa mendengus kesal. Wanita itu bilang sudah tidur tapi bisa menjawabnya dengan suara lantang. Kalau sudah begini, lebih baik dirinya mencari tahu sendiri apa yang dilakukan Ernest diluar sana.Setelah berpikir semalaman, Lillian memutuskan untuk menjual semua barang berharga miliknya, termasuk cincin kawin mereka berdua dan satu set perhiasan hadiah pernikahan dari Harvey. Dan saat ini Lillian sedang menghitung - hitung jumlah tabungan yang tersisa ditambah dengan uang yang akan didapat dengan gajinya bulan depan.Hasilnya? Tentu saja belum bisa menutup tagihan hutang Ernest.Lillian frustasi. Dari mana dia akan mendapatkan tambahan uang? Mau meminjam rekan kerja, pasti akan sangat memalukan. Bukannya mendapat pinjaman, yang ada malah digunjingkan. Ya ampun! Situasi seperti ini benar - benar membuat Lillian ingin marah, menangis dan berteriak di saat bersamaan.Ernest, Ernest, apa yang dilakukan olehnya diluar sana sehingga menumpuk hutang dimana - mana. Lalu apa yang terjadi pada perusahaan Ernest? Apakah sudah tidak menghasilkan? Setelah dipikir - pikir, Lillian jadi ingat kalau sudah lama sekali dirinya tidak tahu menahu soal keuangan perusahaan. "Mrs. Lillian."Lillian mendengar suara bernada dingin menegurnya. Dia mengangkat kepala dan melihat Tuan Xanders, yang merupakan kepala operasional perusahaan tempatnya bekerja, menatap dirinya dengan tajam. "Tuan Moreno menanyakan sesuatu padamu.""Oh, maafkan saya, Sir. Saya sedang melamun," jujur Lillian. Sesaat dia benar - benar lupa kalau sedang berada dalam meeting saat ini. Lillian melirik ke catatannya. Syukurlah, disana tertera beberapa rangkuman penting yang mungkin bisa menolongnya menjawab pertanyaan dari client."Aku hanya bertanya apa anda baik - baik saja, karena aku lihat sepertinya pikiran anda sedang tidak ada di ruangan ini. Apakah kamu punya masukan atas proyek ini?" Tuan Moreno menjelaskan dengan sopan dan tenang.Lillian tertegun. Gawat. Dia sama sekali tidak memperhatikan percakapan mereka. Sejak semalam hingga detik ini, dirinya terus berpikir bagaimana caranya melunasi hutang tanpa memberatkan Harvey. Tadi pagi Harvey memang tidak menyinggung apa pun mengenai para penagih hutang itu. Tapi Lillian tahu kalau diamnya Harvey bukan berarti tidak melakukan apa - apa. "Sekali lagi, maafkan saya, Pak. Saya tidak menyimak pembicaraan anda dengan atasan saya." Lillian menundukkan kepala, tidak berani menatap mata tajam Tuan Xanders."Tidak apa - apa." Client yang baik hati itu tertawa pelan. "Xanders, selama ini Mrs. Lillian selalu bekerja dengan baik. Satu kali membuat kesalahan itu wajar. Kita bisa atur meeting lain waktu. Ini sudah waktunya istirahat siang pantas saja dia tidak fokus. Tolong jangan marah kepadanya."Begitu Tuan Moreno dan asistennya keluar, Tuan Xanders langsung menegur Lillian. Nada bicaranya memang halus tapi sangat tegas. Lillian menunduk pasrah dan kembali meminta maaf, hampir saja mereka kehilangan partner bisnis yang penting.Setelah menerima wejangan dari atasannya, Lillian pergi ke toilet dan mencuci wajahnya. Air dingin membuat perasaannya terasa sedikit lebih ringan. Kepalanya terasa seperti mau meledak karena kelakuan Ernest. Tetapi dia harus bertahan hingga jam kerja selesai.Kali ini keberuntungan sedang berpihak pada Lillian karena Tuan Moreno memaklumi kesalahannya. Tapi tidak ada yang tahu dengan masa mendatang, bisa saja dirinya bertemu dengan client yang sulit. Lillian memutuskan untuk fokus pada pekerjaannya supaya tidak lagi melakukan kesalahan yang bisa saja membuatnya dipecat. Hidup tanpa penghasilan sangatlah tidak enak, apalagi kalau sedang dikejar hutang seperti saat ini.Tuan Xanders sepertinya sengaja memberikan setumpuk laporan sebagai hukuman atas kesalahan Lillian tadi. Laki - laki itu meninggalkan semuanya begitu saja dan berpamitan pulang. Tak ada jalan lain bagi Lillian selain mengerjakan semuanya dengan cepat dan tepat.Satu demi satu pekerjaan selesai. Lillian sedang memeriksa ulang hasil pekerjaannya ketika ponselnya bergetar. Nomor yang muncul adalah nomer tak dikenal. Khawatir kalau si penelepon asing itu adalah penagih hutang, Lillian pun mengabaikannya.Panggilan itu berhenti, Lillian mendesah lega. Perjanjiannya adalah tanggal satu, tapi tetap saja Lillian tidak tenang. Bisa saja mereka mencegatnya di tengah jalan. Tapi biasanya Harvey selalu sudah ada di lobby setiap kali dirinya selesai kerja. Pikiran seperti itu berhasil membuat Lillian lebih tenang dan mulai membereskan mejanya. Setidaknya, orang - orang itu tidak akan berbuat macam - macam kepadanya. Mengenai penjelasan pada Harvey, dia bisa menjelaskannya nanti.Ponsel Lillian kembali bergetar, membuat wanita itu hampir melonjak karena kaget. Dia melihat sebuah notifikasi pesan masuk terpampang di layar. "Selamat malam, ada hal yang sangat penting yang harus saya bicarakan dengan anda. Ini tentang Tuan Ernest. Anda harus mengetahuinya."Sesaat Lillian termenung. Layar ponsel otomatis meredup lalu gelap sementara pemiliknya sedang termangu. Lillian benar - benar tak tahu harus bagaimana merespon pesan itu. Pikiran buruk tentang Ernest semakin merasuki pikirannya. Masalah kartu kredit dan hutang pada rentenir belum juga beres, tapi sepertinya masalah lain akan segera menyusul. Ruwet dan mumet, itulah yang dirasakan oleh Lillian saat ini.Sekali lagi ponsel Lillian bergetar. Kali ini dari Harvey yang memberitahu kalau dirinya sudah siap di lobby. Tak ingin membuat Harvey menunggu, Lillian bergegas menyambar tas tangan miliknya. Dalam sekejap, dia sudah setengah berlari menuju lift untuk turun ke lobby dengan hati yang kacauDi dalam lift, Lillian berusaha mengatur ekspresinya senatural mungkin supaya tidak membangkitkan kecurigaan Harvey. Langkahnya terhenti saat melihat Harvey menunggunya di depan lift sambil tersenyum. Matanya teduh dengan kedua tangannya terentang seperti seorang kekasih yang menanti wanitanya mengham
"Keluyuran kemana saja kamu? Apa gunanya membawa ponsel kalau susah sekali dihubungi?"Tubuh Lillian menegang saat mendengar suara seorang laki - laki, sebuah hardikan yang familiar dari seberang sana. Tanpa sadar matanya refleks menatap Harvey dengan perasaan nelangsa. Seharusnya dia yang bertanya kemana Ernest keluyuran selama ini, bukan malah dibalik seperti sekarang ini. Ernest lebih dulu menuduhnya keluyuran. Memang beberapa jam ini, Lillian tidak menyentuh ponselnya. Tapi apakah semua ini salahnya? Toh selama ini Ernest tidak pernah menghubungi Lillian. Belum sempat Lillian menjawab, perintah berikutnya sudah kembali terdengar, "Bukakan pintu untukku! Lima belas menit lagi aku sampai rumah."Akhirnya perjalanan pulang dilalui Lillian dengan perasaan yang terombang ambing. Setelah sekian lama tanpa kabar, akhirnya Ernest menelepon dengan nomer baru. Seharusnya seorang istri senang saat suaminya memberi kabar akan pulang ke rumah. Tapi pada kenyataannya, Lillian sama sekali tidak
"HENTIKAAAAN!!" pekik Lillian sekuat tenaga. Melihat wajah panik Lillian memenuhi pandangannya, Harvey menghentikan kepalan tangannya di udara. "Kalian berdua kakak beradik! Semua bisa dibicarakan baik - baik. Lihat! Ernest tidak melawan. Apa kamu ingin membunuhnya?" seru Lillian penih emosi. Dia menghampiri Ernest dan membantu laki - laki itu supaya bisa berdiri. Saat ini dia harus memilih untuk mengurus orang yang lebih membutuhkan dirinya. "Ernest, kamu tidak apa - apa?" tanya Lillian sambil menatap tajam kearah Harvey. Harvey bergeming. Dia memperhatikan setiap ekspresi yang bercampur menjadi satu di wajah Lillian. Di wajah wanita itu tidak hanya tergambar rasa panik dan cemas tapi juga marah. Rasa khawatir itu tentu saja untuk Ernest, sedangkan kemarahannya sudah jelas ditujukan kepada dirinya. "Apa kamu marah padaku, Lili?" tanya Harvey pelan. "Menurutmu?" Lillian balik bertanya, kebiasaannya saat dia marah. Dia mengangkat alisnya tinggi - tinggi. "Tapi dia sudah membuatmu
"Done. Thanks," ucap Ernest sambil tersenyum puas. "Ha?" Lillian melongo melihat Ernest dengan santai melemparkan ponsel yang tadi dia rampas ke tempat tidur. Apa yang telah dilakukan oleh Ernest pada ponselnya? Lillian bergegas menyambar benda pipin itu. Belum sempat dirinya memeriksa ponsel, sudut matanya menangkap bayangan Ernest berjalan menuju lemari tempat penyimpanan barang berharganya. Laki - laki itu terlihat sedang memasukkan kode dan membuka brankas mini milik Lillian. Kemudian dengan santai meraup barang - barang berharga didalamnya lalu memasukkan semuanya ke dalam kantong celana. Setelah itu dia menggulung beberapa lembar surat berharga dan memasukkannya ke dalam saku bagian dalam jaketnya. Tubuh Lillian semakin gemetar karena marah. Tapi dia juga takut dipukul. Suasana seperti ini sangat familiar dan biasanya akan berlanjut dengan kekerasan fisik apabila dia tak mau patuh pada Ernest. Lillian putus asa. Dia belum sempat membicarakan soal tagihan debt collector dan cic
Di saat Lillian sedang berseteru dengan Ernest, Harvey memutuskan untuk pergi mengunjungi apartment Richard, satu - satunya teman yang bisa dia percaya saat ini. Pengacara itu bergegas membukakan pintu, dia bengong sesaat begitu menyadari siapa yang datang. "Harvey?" "Hey," sapa Harvey yang terlihat lesu. Dia mendorong Richard agar tidak menghalangi jalan masuk ke dalam apartment. Harvey masuk begitu saja seolah masuk ke dalam rumahnya sendiri. Langkahnya gontai, wajahnya kusut. "Ada apa denganmu?" Richard heran, mereka baru saja bertemu saat makan malam tadi. Dia menutup pintu dan mengikuti langkah Harvey. Harvey menghempaskan tubuhnya di sofa, di depan sebuah ipad yang posisinya berdiri di atas meja. Layarnya dalam kondisi menyala dan menghadap kearah Harvey. "Hey, Har! Harvey!" Suara seorang wanita yang sangat familiar terdengar tak jauh darinya. Nadanya ceria dan bersemangat. Harvey terkejut. Celingukan, dia menoleh ke kanan dan kiri. "Di ipad, Har. Lihat aku!" seru wanita it
"Ya, Sayang?" Suara lembut Ernest seakan bergema di suasana malam yang sepi. Lillian terhenyak. Dia seperti melihat Ernest di masa lalu. Laki - laki ramah dan lembut yang dicintainya. Waktu itu panggilan cinta berhamburan dari mulut manis Ernest, membuat Lillian mabuk kepayang. Siapa sangka, tiba - tiba saja Ernest berubah setelah mereka menikah. Laki - laki itu seperti menunjukkan sifat aslinya. Dia begitu kasar, suka menghambur - hamburkan uang dan ringan tangan. "Oke. Aku datang." Suara Ernest memudarkan lamunan Lillian. "Ern... -" Sebelum sempat Lillian menyelesaikan kalimatnya, Ernest sudah masuk ke dalam mobil dan langsung melajukan kendaraannya, meninggalkan Lillian begitu saja. Seketika pikiran buruk menyelusup di kepala dan hati Lillian bersamaan dengan angin malam yang menghembuskan udara yang dingin. Lillian memeluk dirinya sendiri, sekali lagi memandang mobil yang dikendarai Ernest. Kendaraan beroda empat itu pergi menjauh, lalu menghilang di tikungan. Terlalu kecew
Telapak tangan Harvey mulai menyusup kebalik piama yang dipakai oleh Lillian, mengusap kulit halus yang ada di dalam sana. Perjalanan tangan Harvey begitu lancar hingga mendapati Lillian tidak memakai bra."Hm..., apa kamu mencoba menggodaku, Lili?" bisik Harvey di sela - sela ciumannya."Ha?""Lembut sekali," bisik Harvey semakin melantur. Tangannya dengan santai menyentuh bulatan kembar milik Lillian seakan benda itu miliknya.Lillian memutar matanya kesal. Di saat orang sedang terhanyut oleh suasana, kata - kata Harvey malah mengembalikannya pada sebuah kenyataan bahwa hubungan mereka terlarang."Har, stop! Kamu yang memancingku. Jangan katakan kamu ingin mengulang kesalahan yang sama lagi!" Lillian berusaha membentengi diri meski tidak ada ketegasan dalam nada suaranya. Akhir - akhir ini, Harvey terlihat lebih tampan dimatanya. Setiap kali bersama Harvey, Ernest pasti akan tersingkirkan dari pikirannya."Woops...!"Harvey tiba - tiba mengganti posisi mereka. Dia tertawa saat tubuh
Gara - gara melihat bekas merah di leher Lillian, pagi - pagi Harvey sudah uring - uringan. Harvey berusaha menyibukkan diri dengan menyiapkan sarapan pagi untuk mereka dan menunggu Lillian turun dengan sendirinya. Dia sengaja tidak membangunkan wanita itu karena masih marah. Biar saja sekali - kali Lillian ijin tidak masuk kerja, toh jatah libur tahunan milik Lillian masih banyak. Harvey mengambil laptop, duduk di meja makan dan membukanya, lalu tangannya meraih mouse. Dalam sekejap layar monitor yang terpampang di hadapannya menampilkan nilai - nilai mata uang dunia, update harga logam mulia terkini hingga pergerakan saham pagi ini. Laki - laki itu mengerang kesal saat suara ponsel yang nyaring memecah konsentrasinya. Padahal dirinya mulai hanyut dengan berita - berita yang dibacanya. Telapak tangannya menggapai ponsel yang ada di sebelah laptop, lalu membaca nama yang tertera di layar. "Ya, Mama?" sapa Harvey begitu menempelkan ponsel di telinganya. Suaranya terdengar berat dan t