Share

Bab 6 - Tidur Bersama

Lillian mengerjapkan matanya beberapa kali. Kata - kata Harvey membuat telinganya gatal dan emosinya melonjak. Laki - laki itu terang - terangan mengatakan akan tidur dengannya padahal mereka adalah saudara ipar. Astaga!

"Kamu sudah gila? Kamu seharusnya tahu kalau yang kita lakukan adalah sebuah kesalahan. Jangan pernah ingin mengulanginya lagi!" semprot Lillian tanpa bisa menyembunyikan rasa kesalnya.

Harvey tersenyum lalu menyentil pelan dahi Lillian.

"Hey, aku rasa bukan aku yang ingin mengulangnya tapi kamu. Aku mengatakan akan tidur bersamamu, bukan bercinta denganmu." Kalimat terakhir sengaja diucapkannya lambat - lambat dengan nada menggoda.

Seketika wajah Lillian memerah, otaknya tanpa sadar mendefinisikan kata tidur dengan hal - hal yang sensual.

"Oh! Yeah... ehm, maksudmu kamu akan menginap kan? Oke, silahkan." gagapnya, sambil menahan malu. Ini bukan pertama kalinya mereka tidur bersama kan? Catat baik - baik. Tidur, dan hanya tidur. Titik.

Harvey tertawa kencang melihat kelakuan Lillian yang menggemaskan saat sedang salah tingkah. "Sejujurnya aku tidak akan menolak kalau kamu masih menginginkannya." tambahnya sambil mengedipkan sebelah mata.

"Sepertinya aku langsung tidur saja." Lillian menjawab dengan sebal. Dia langsung berdiri, namun Harvey dengan cepat menyambar tangan wanita kesayangannya itu.

"Oke, oke. Aku tidak akan membahasnya lagi. Ayo makan. Setelah itu aku akan siap mendengarkan ceritamu meski pun semalam suntuk."

Hati Lillian seperti dicubit. Harvey punya uang dan jabatan, tapi dirinya tak akan tega memanfaatkan kebaikan laki - laki itu demi kesalahan suaminya. Meski pun Ernest adalah adik Harvey tapi laki - laki itu sudah berkorban cukup banyak untuk adikknya.

"Tenang saja. Aku bisa mengatasinya. Kalau memang membutuhkan bantuan, kamu adalah orang pertama yang akan aku mintai bantuan. Bagaimana?" tolak Lillian secara halus. 

"Tapi, Lili... --"

"Aku mengantuk, Har. Terima kasih makan malamnya," potong Lilian cepat. Sebelum perdebatan menjadi lebih panjang, Lillian cepat - cepat berdiri, masuk ke kamar dan mengunci pintu kamarnya.

Harvey menyusul lalu mengetuk pintu beberapa kali. "Lili, setidaknya habiskan dulu makan malammu. Kita bisa bicarakan hal ini besok."

"Aku sudah tidur. Dan aku tidak mau membicarakan apa pun denganmu." seru Lillian dari dalam kamar. Dia sedang dalam mode keras kepala.

Di balik pintu, Harvey hanya bisa mendengus kesal. Wanita itu bilang sudah tidur tapi bisa menjawabnya dengan suara lantang. Kalau sudah begini, lebih baik dirinya mencari tahu sendiri apa yang dilakukan Ernest diluar sana.

Setelah berpikir semalaman, Lillian memutuskan untuk menjual semua barang berharga miliknya, termasuk cincin kawin mereka berdua dan satu set perhiasan hadiah pernikahan dari Harvey. Dan saat ini Lillian sedang menghitung - hitung jumlah tabungan yang tersisa ditambah dengan uang yang akan didapat dengan gajinya bulan depan.

Hasilnya? Tentu saja belum bisa menutup tagihan hutang Ernest.

Lillian frustasi. Dari mana dia akan mendapatkan tambahan uang? Mau meminjam rekan kerja, pasti akan sangat memalukan. Bukannya mendapat pinjaman, yang ada malah digunjingkan. Ya ampun! Situasi seperti ini benar - benar membuat Lillian ingin marah, menangis dan berteriak di saat bersamaan.

Ernest, Ernest, apa yang dilakukan olehnya diluar sana sehingga menumpuk hutang dimana - mana. Lalu apa yang terjadi pada perusahaan Ernest? Apakah sudah tidak menghasilkan? Setelah dipikir - pikir, Lillian jadi ingat kalau sudah lama sekali dirinya tidak tahu menahu soal keuangan perusahaan. 

"Mrs. Lillian."

Lillian mendengar suara bernada dingin menegurnya. Dia mengangkat kepala dan melihat Tuan Xanders, yang merupakan kepala operasional perusahaan tempatnya bekerja, menatap dirinya dengan tajam. "Tuan Moreno menanyakan sesuatu padamu."

"Oh, maafkan saya, Sir. Saya sedang melamun," jujur Lillian. Sesaat dia benar - benar lupa kalau sedang berada dalam meeting saat ini. Lillian melirik ke catatannya. Syukurlah, disana tertera beberapa rangkuman penting yang mungkin bisa menolongnya menjawab pertanyaan dari client.

"Aku hanya bertanya apa anda baik - baik saja, karena aku lihat sepertinya pikiran anda sedang tidak ada di ruangan ini. Apakah kamu punya masukan atas proyek ini?" Tuan Moreno menjelaskan dengan sopan dan tenang.

Lillian tertegun. Gawat. Dia sama sekali tidak memperhatikan percakapan mereka. Sejak semalam hingga detik ini, dirinya terus berpikir bagaimana caranya melunasi hutang tanpa memberatkan Harvey. Tadi pagi Harvey memang tidak menyinggung apa pun mengenai para penagih hutang itu. Tapi Lillian tahu kalau diamnya Harvey bukan berarti tidak melakukan apa - apa. 

"Sekali lagi, maafkan saya, Pak. Saya tidak menyimak pembicaraan anda dengan atasan saya." Lillian menundukkan kepala, tidak berani menatap mata tajam Tuan Xanders.

"Tidak apa - apa." Client yang baik hati itu tertawa pelan. "Xanders, selama ini Mrs. Lillian selalu bekerja dengan baik. Satu kali membuat kesalahan itu wajar. Kita bisa atur meeting lain waktu. Ini sudah waktunya istirahat siang pantas saja dia tidak fokus. Tolong jangan marah kepadanya."

Begitu Tuan Moreno dan asistennya keluar, Tuan Xanders langsung menegur Lillian. Nada bicaranya memang halus tapi sangat tegas. Lillian menunduk pasrah dan kembali meminta maaf, hampir saja mereka kehilangan partner bisnis yang penting.

Setelah menerima wejangan dari atasannya, Lillian pergi ke toilet dan mencuci wajahnya. Air dingin membuat perasaannya terasa sedikit lebih ringan. Kepalanya terasa seperti mau meledak karena kelakuan Ernest. Tetapi dia harus bertahan hingga jam kerja selesai.

Kali ini keberuntungan sedang berpihak pada Lillian karena Tuan Moreno memaklumi kesalahannya. Tapi tidak ada yang tahu dengan masa mendatang, bisa saja dirinya bertemu dengan client yang sulit. Lillian memutuskan untuk fokus pada pekerjaannya supaya tidak lagi melakukan kesalahan yang bisa saja membuatnya dipecat. Hidup tanpa penghasilan sangatlah tidak enak, apalagi kalau sedang dikejar hutang seperti saat ini.

Tuan Xanders sepertinya sengaja memberikan setumpuk laporan sebagai hukuman atas kesalahan Lillian tadi. Laki - laki itu meninggalkan semuanya begitu saja dan berpamitan pulang. Tak ada jalan lain bagi Lillian selain mengerjakan semuanya dengan cepat dan tepat.

Satu demi satu pekerjaan selesai. Lillian sedang memeriksa ulang hasil pekerjaannya ketika ponselnya bergetar. Nomor yang muncul adalah nomer tak dikenal. Khawatir kalau si penelepon asing itu adalah penagih hutang, Lillian pun mengabaikannya.

Panggilan itu berhenti, Lillian mendesah lega. Perjanjiannya adalah tanggal satu, tapi tetap saja Lillian tidak tenang. Bisa saja mereka mencegatnya di tengah jalan. Tapi biasanya Harvey selalu sudah ada di lobby setiap kali dirinya selesai kerja. Pikiran seperti itu berhasil membuat Lillian lebih tenang dan mulai membereskan mejanya. Setidaknya, orang - orang itu tidak akan berbuat macam - macam kepadanya. Mengenai penjelasan pada Harvey, dia bisa menjelaskannya nanti.

Ponsel Lillian kembali bergetar, membuat wanita itu hampir melonjak karena kaget. Dia melihat sebuah notifikasi pesan masuk terpampang di layar. 

"Selamat malam, ada hal yang sangat penting yang harus saya bicarakan dengan anda. Ini tentang Tuan Ernest. Anda harus mengetahuinya."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status